Share

2. Obat Tidur

Dengan santai, Emily kembali mendekatkan ponsel ke telinga. Louis sedang menghujaninya dengan beragam pertanyaan dari seberang sana.

“Emily, apa yang terjadi? Apakah seseorang menyerangmu? Kau baik-baik saja? Emily? Jangan membuatku semakin khawatir.”

Bukannya merasa bersalah, Emily malah mendesah lelah. “Aku baik-baik saja, Louis.”

Louis mendengus. “Jangan membohongiku! Aku jelas-jelas mendengar keributan tadi.”

“Itu hanya seorang wanita tua yang mendadak hilang keseimbangan. Mungkin dia tidak begitu sehat. Yang jelas, tidak terjadi apa-apa padaku. Orang-orang di sini bahkan tidak mengenalku. Kau tidak perlu khawatir, Louis. Apakah kau lupa? Aku bisa bela diri. Aku bisa mengalahkan musuh."

"Kalau hanya satu," sambung Louis. "Bagaimana kalau dua atau lebih? Kau pikir dirimu Supergirl yang bisa mengalahkan mereka? Belum lagi kalau lawanmu kuat dan lebih besar. Kau tidak aman di sana seorang diri."

Emily mendengus. "Kau meremehkan aku. Kau ingat bagaimana aku mengalahkan Russel saat latihan terakhir?"

"Itu karena dia mengalah padamu. Dia adik yang manis. Dia ingin membuatmu senang dan takut membuatmu terluka."

"Aku juga berhasil mengalahkan Orion."

Louis mendesah remeh. "Dia adalah sepupu yang manis sekaligus pengawalmu. Wajar kalau dia mengalah. Lagi pula, Paman dan Bibi pasti akan memarahinya kalau sampai dia membantingmu."

Emily tanpa sadar memasang tampang cemberut. "Kau selalu saja menganggapku lemah."

"Kau memang lemah, apalagi kaki-kaki kurusmu itu. Aku bahkan tidak tahu sudah berapa kali kau jatuh atau tersandung tahun ini. Karena itu, cepat pulang!"

Emily meninggikan dagu seolah Louis berada di sisi lain dari meja bundar itu. "Aku tidak mau."

"Kalau begitu, katakan di mana lokasimu. Aku akan segera mengirim pengawal untuk menjagamu."

Sebelah alis Emily bergerak turun. "Untuk menyeretku pulang, maksudmu?"

"Tidak. Aku serius. Keselamatanmu adalah prioritasku. Aku tidak mau mengurus Savior tanpa bantuanmu. Russel belum bisa diandalkan."

Emily menggeleng tipis. "Aku tidak butuh pengawal. Aku kabur ke sini untuk mencari ketenangan. Aku tidak akan merasa bebas kalau ada mereka."

"Aku tidak butuh persetujuanmu. Melindungimu adalah tugasku. Jadi katakan. Apakah Perancis? Kau adalah orang yang produktif. Kau pasti punya misi lain di samping menghindar dari pers. Kau sedang mencari inspirasi untuk desain terbarumu?"

Emily membeku. Matanya berkedip-kedip melihat buku sketsa yang ia selipkan ke dalam tas.

"Jangan sok tahu. Kau bisa berakhir mengirim pengawal ke tempat yang salah," ujarnya kaku.

"Apakah T City? Kau pergi mencari Cayden? Tapi kurasa itu tidak mungkin. Kau pasti gengsi menemuinya lebih dulu. Lalu, apakah kau pergi mencari Sky? Kau selalu curhat padanya setiap kali ada masalah. Tapi dia sudah lama tidak berkabar. Di mana dia sekarang? Kalian tidak diam-diam mengatur pertemuan tanpa mengajakku, kan?"

Alis Emily kembali bertemu. "Kubilang jangan sok tahu. Ah, kau ini menyebalkan sekali."

Tanpa basa-basi lagi, ia menutup telepon. Ia taruh ponsel di atas meja, lalu meneguk habis sisa cokelat hangatnya.

"Saudara kembar macam apa Louis? Dia seharusnya mengerti perasaanku, bukannya malah membuatku jengkel." Emily mengelap mulut dan membanting serbet. "Merusak mood saja!"

Kemudian, ia bereskan barang-barangnya di meja. Di sela-sela omelannya, ia mulai menguap.

"Memangnya siapa yang berani menyerangku di sini? Orang-orang bahkan tidak tahu siapa aku. Lagi pula, di sini ramai. Siapa yang berani menculikku?"

Tiba-tiba, Emily menguap lagi. Matanya sampai terpejam. Saat itulah, ia mulai sadar bahwa rasa kantuknya tak wajar.

"Kenapa aku tiba-tiba mengantuk? Apakah ini efek jetlag? Tapi aku sudah istirahat seharian kemarin," gumamnya sembari memeriksa jam. Malam masih panjang.

Sekali lagi, Emily menguap. Kelopak matanya semakin turun, kepalanya semakin berat. “Apa yang salah denganku?”

Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada cangkir yang telah ia kosongkan. Dalam sekejap, firasat buruk memenuhi hatinya.

"Mungkinkah ... wanita tua tadi memasukkan obat tidur ke dalam minumanku?"

Dengan tatapan ngeri, Emily memandang sekeliling. Semua orang mendadak terkesan mencurigakan baginya. Tanpa membuang waktu lagi, ia beranjak meninggalkan kafe. Sayangnya, baru beberapa langkah ia berjalan, hujan mulai turun membasahi bumi.

"Oh, tidak."

Sambil melindungi kepala dengan tas, Emily berusaha berjalan lebih cepat. Sayangnya, gaun kuning yang ia kenakan membatasi langkahnya. Ia harus menariknya dengan sebelah tangan agar kakinya dapat bergerak lebih leluasa.

"Kenapa aku memilih kostum ini tadi? Aku seharusnya mengenakan outfit simpel saja. Itu jauh lebih berguna di situasi genting seperti ini," batinnya kepada diri sendiri.

Tiba-tiba, Emily merasa seseorang membuntutinya. Ia menoleh ke belakang. Seorang pria bertopi dengan jaket hitam ternyata sedang berjalan cepat ke arahnya.

"Gawat!" umpat Emily dalam hati. Dengan mata yang ia paksakan lebar, ia melihat hotel di ujung jalan.

"Ayo, Emily. Sedikit lagi. Jangan sampai ucapan Louis menjadi nyata. Itu bencana besar."

Malangnya, pria bertopi itu semakin dekat. Jantung Emily berdetak semakin tak karuan. Apalagi gaunnya yang basah mulai terasa berat, sama dengan kelopak matanya yang terbuai untuk menutup lebih lama.

Parahnya lagi, efek obat telah meluas. Tubuhnya mulai terasa lemas. Jaraknya dengan si orang asing dengan mudahnya terpangkas. Lima meter, empat meter, tiga meter. Bulu kuduk Emily meremang.

“Haruskah aku berteriak saja? Tapi siapa yang akan menolongku? Yang ada, aku justru menimbulkan kehebohan baru.”

Sembari menggeleng cepat, Emily membuka tas. Belum sempat ia mengambil semprotan merica, sebuah kilatan cahaya tiba-tiba datang dari depan. Spontan saja, Emily memekik. Entah karena trotoar yang licin atau kakinya yang terlalu lemah, ia jatuh terduduk di dekat kaki sang pria.

“Akh! Ahh ....”

Emily meringis. Pinggangnya terasa sakit. Saat itulah, seorang pria membungkuk, menyodorkan mic yang telah dibungkus plastik.

“Nona, benarkah Anda Emily Harper? Apa yang sedang Anda lakukan di Paris? Apakah Anda sedang melarikan diri?”

Di antara buaian kantuk dan rintik hujan, Emily berkedip-kedip. Wajah pria itu kabur, tertutupi bayang-bayang payung. Hanya kameranya saja yang tampak jelas, tergantung di leher dengan tali berwarna kuning.

Tidak mendapat jawaban dari Emily, sang pria beralih ke arah si penguntit. Ia sedang tertunduk sambil merapatkan topi.

“Bagaimana dengan Anda, Tuan? Apakah Anda orang yang dikirim untuk menjemput Nona Harper pulang? Atau mungkin, Anda orang suruhan Brandon Young yang ditugaskan untuk menjaga Nona?”

Pria bertopi itu tidak menjawab. Sambil terus memegang ujung topi, ia melirik ke kanan dan ke kiri. Kakinya bergerak mundur sedikit.

“Kalau begitu, saya harap Anda tidak keberatan jika saya mengambil foto Anda. Ini akan menjadi liputan eksklusif.”

Blitz kembali menyala. Merasa silau, pria misterius itu menutupi wajah dengan sebelah lengan. Selang satu dengusan, ia akhirnya mundur dan berbalik pergi.

“Tuan? Anda mau ke mana? Wawancara kita belum selesai. Saya bahkan belum memulai. Saya punya banyak pertanyaan untuk Anda. Tuan?”

Pria bertopi itu mulai berlari. Melihat itu, si pemegang kamera tersenyum kecil. “Saya rasa Anda sudah aman, Nona,” tuturnya sembari memastikan si penguntit benar-benar pergi.

Emily berusaha untuk bersuara. Akan tetapi, ia sudah tidak punya tenaga. Ia bahkan tidak mampu mempertahankan posisi. Dua detik kemudian, ia tidak tahu lagi apa yang terjadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status