"Bunda," rengek Daffa. "Anak Bunda, ke halaman yuk! Bermain sebentar sambil menunggu kedatangan Ayah," ajak Fitri dengan semangat. "Kakak Syifa, sekalian ajak Hilda ya!" imbuhnya. Fitri berdiri dan menggandeng kedua anaknya. Saat sampai di ruang keluarga Syifa melepaskan diri, mendekati adiknya. "Bunda duluan saja, kakak yang ajak Hilda ke depan," kata Syifa sambil menatap bundanya dengan berbinar. Fitri mengangguk, tubuhnya sudah di tarik dengan semangat oleh Daffa. Langkah kaki anak dan bunda itu berhenti di dekat permainan prosotan, "Kak Daffa, bunda nunggu di sini, kalau main ini. Bunda takut naik," "Kita ke yang itu saja ya, Bun. Ayunan," Daffa mengurungkan niatnya naik prosotan. "Boleh-boleh," Fitri mengangguk dengan antusias. "Bunda yang warna apa?" tanya Daffa polos. "Kak Daffa yang milih, Bunda yang mana saja bisa kok," sahut Fitri gemes. "Tidak bisa begitu, Bunda Sayang. Bunda adalah wanita yang akan Daffa selalu hormati, lindungi InsyaAllah. Jadi, Bunda harus mend
"Kalau bicara yang jelas, Abang," Fitri sudah tidak sabar dengan jawaban yang di sampaikan suamunya. Dia menatap lekat ke arah cermin yang memantulkan wajah suaminya."Sini, biar Abang yang sisirin, Sayang," Akram merebut sisir yang di pegang istrinya."Abang, tidak perlu memberi teka teki. Istrimu akan menerima apapun itu, tidak peduli hasil yang Abang dapat. Yang terpenting bagiku Abang sudah berusaha," Fitri menebak jika suaminya berat mengatakan kebenarannya. Akram tersenyum simpul sambil menyisiri rambut Fitri yang panjang. Dia sangat nyaman jika berdekatan dengan belahan jiwanya. "Sayang, tunggu sebentar. Abang cari sesuatu dulu," ucap Akram ambigu. Dahi Fitri berkerut, memandangi arah kemanapun langkah Akram."Mencari apa, Bang?" akhirnya Fitri bersuara tak tahan melihat pria itu terus berjalan mengitari antara kursi, lemari, ranjang dan nakes."Sayang! Tas Abang di letakan dimana?" Akram berbalik menghadap istrinya."Abang cari tas? Sebentar, aku ingat-ingat dulu," dahi Fitr
"Sayang, lekas kamu telepon sahabatmu!" Akram merasa reaksi Fitri menandakan lupa. "Abang, serius banget. Aku sudah telepon Arin tadi siang," ucap Fitri sangat tenang seperti tidak terjadi apa-apa, semua mata teruju padanya. Farid melemparinya bantal sofa yang ada di dekatnya. "Kak! Kenapa?" tanya Fitri kesal, mimiknya sudah maju entah berapa centi. Sembari memungut bantal dan melemparkan kembali kepada kakaknya. "Tidak lucu, Dek! Semua sudah resah dengan reaksimu!" gerutu Farid, tatapannya tidak lepas dari adiknya. "Tadi itu aku teringat sesuatu, bukan karena kaget belum memberi kabar sahabatku. Arin bilang, Ayahnya baru pulang dari luar kota pagi jadi, kita kesananya menjelang makan siang. Jam 10 atau 11an gitu," papar Fitri. Semua mata tampak lega dengan penjelasan Fitri, Papa meresapi minum kopi buatan mama. Aromanya menyeruak "Pa, kelihatannya kopinya enak banget," "Kebiasaan, mau minta kan? Bikin sendiri saja, sekalian suamimu di buatkan!" decak Papa, Fitri paling suka n
"Iya, Sayang. Abang mengerti, ibu rumah tanggapun capek di rumah. Abang minta maaf, sudah mengorek lukamu. Tapi, Abang janji tidak akan mengulangi lagi. Meskipun Abang menikah lagi pada kenyataannya tangki cinta Abang sudah penuh dengan cintamu," ucap Akram lembut sambil meraih tangan istrinya untuk di genggam. Kali ini Fitri tidak menolak."Hati Abang hanya berisi namamu, Sayang," Akram membawa tangan Fitri di dadanya pandangan lurus ke jalanan."Gombal!""Mana ada, Sayang. Abang mengatakan sejujurnya," Akram menoleh dan tersenyum sangat menawan.Fitri membalas senyum terbaiknya. Hati Fitri juga terpaut begitu dalam, sekalipun Akram pernah menyakitinya namun lautan maafnya begitu luas untuk suaminya. "Terimakasih, kamu sudah mengorbankan karirmu dan dengan ikhlas mengurusku dan anak-anak," ucap Akram tulus.Istri yang bahagia bisa memperlancar rejeki suami. Bahkan ada yang bilang bahwa 'Happy wife, happy life'. Artinya, keluarga yang bahagia dimulai dari istri yang bahagia. Kali ini
Fitri sangat tahu jika hal petama yang tidak disukai seorang laki-laki yaitu ketika sang istri sok tahu dan ingin mengajari suaminya.Ada perasaan sesal, suasana mendadak canggung. Mobil memasuki gerbang utama kawasan Perumahan Elit."Rumah nomor berapa, Sayang?" tanya Akram datar. "Nomor Lima, Bang," jawab Fitri. Akram mengangguk tanpa menoleh."Bang, maaf," cicit Fitri.Akram menoleh dan tersenyum pada istrinya yang begitu peka, mengelus pucuk jilbab sambil memperlambat laju mobil, "Itu kan, yang ber cat abu-abu?" "Heem," jawab Fitri dengan membalas senyum suaminya.Mobil kedua orang tuanya mengikuti dari belakang, mobil masuk gerbang rumah. mereka membuka kaca jendela dan mengenalkan diri kepada scurity yang berjaga. Setelah di persilahkan, Akram menginjak gas perlahan untuk memarkirkan kendaraan di halaman yang luas. "Sayang, dulu kamu sering ke sini?" tanya Akram sambil membuka seat balt."Iya, Bang. Kami teman akrab, teman nongkrong. Maklum sama-sama jomblo," Fitri terkekeh.
Arin hanya mampu mengangguk sebagai bentuk jawaban, ia tersipu malu. Hilda yang duduk di pangkuannya mendongak, menatapnya bingung. Tangan Arin mengelus kepala balita yang ia pangku. "Alhamdulillah," sahut semuanya serentak. Andai bukan suasana seperti ini Fitri sudah meledek Arin. Fitri sudah mengeratkan giginya agar tidak terbahak. Kedua keluarga sudah mencapai kesepakatan, perikahan akan di langsungkan sebulan lagi. Acara dilanjutkan dengan obrolan ringan untuk mempererat hubungan kedua keluarga. "Kak, jaga tatapannya!" tegur Mama saat hendak berpamitan, wanita paruh baya itu menjewer telinga anaknya. "Pa, pernikahannya dimajukan saja jangan terlalu lama," pinta Farid masih dalam posisi duduk. Semua mata tertuju pada laki-laki yang sejak tadi menahan gejolak ingin protes atas kesepakatan kedua orang tua itu. "Hem ... dari tadi diam, Papa kira kamu tidak punya pendapat," kata Papa, awalnya hendak berdiri kini kembali duduk. "Sebulan lagi Farid ada kunjungan ke Kalimantan surve
Fitri bermain ponsel, membiarkan Indah berbicara dengan Sinta. Seolah Fitri dan Indah tidak saling mengenal."Sayang, kenalkan sama Mama. Siapa temanmu ini?" ucap Mama memecah keheningan.Indah gugup, sebelumnya dia masih memanggil Mama Fitri dengan sebutan tante, justru beliau mengarahkan Indah untuk menyebutnya Mama."Iya, Ma. Ini teman Indah sewaktu SMA namanya Sinta, bisa di bilang teman yang selalu menemani Indah bahkan mengatur segala keputusan Indah. Dia sopir, aku penumpangnya," cerocos Indah tak bisa di hentikan, dadanya sudah bergemuruh ingin sekali mengungkap siapa wanita di hadapannya."Indah, aku tidak begitu?" protes Sinta."Kenapa, Sin? Bukankah benar, kamu sangat berarti dalam hidupku. Berkat kamu aku bisa menjalani lika liku kehidupan yang begitu istimewa. Beruntung Allah memberi bahu yang kuat, sehingga aku bisa bertahan," sahut Indah sambil tersenyum, senyum yang menggambarkan kekecewaan begitu dalam. "Kamu menyalahkanku, Indah. Aku hanya ingin kamu bahagia, terbeb
"Kamu memanggilku, Sin?" tanya Aldo heran setelah menoleh. "Sudah balik lagi ke mereka," mama menyahut. Dan Aldo balik kanan lagi untuk menuju kursi bersama keluarga Bosnya. Mama dan Fitri menahan senyum, geli dengan perempuan yang baru di jumpai begitu lucu kelakuannya."Mba Sinta mau minum apa? Biar aku panggilkan pelayan," tanya Fitri tak tahan jika hanya berdiam diri. Di belakang tempat duduk mereka terdapat banyak stand makanan dan minuman. "Aku tidak haus, Mba," jawab Sinta."Yakin? Padahal rasa penasaran yang tinggi membuat kita cepat haus dan lapar loh, apalagi sejak tadi terus bicara," ejek Fitri dengan halus. "Emm ... boleh lah. Tenggorokan sudah kering," jawab Sinta tak tau malu. Fitri memanggil pelayan yang berjaga kebetulan melihat ke arah Fitri. Sinta memilih minuman yang ia kehendaki, 1 gelas lemon tea di bawa oleh pelayan dan di letakan di depan Sinta. "Mari, Tante. Saya minum," Sinta basa basi dengan Mama Fitri. "Mama, sudah habis Lulu mau ikut Bunda," rengek L