Glek!
Azura tertegun saat melihat seekor burung camar asing di depannya.
“A-a-ada du-dua?” tanya Azura terbata.
‘Satu burung saja menyebalkan, lalu bagaimana aku menghadapi dua burung sekaligus?’ tanya Azura di dalam hati.
“Hei Camari, kau mengangetkan saja,” ujar Camaro.
“Hah? Camari? Tu-tunggu, kalian kembar?” tanya Azura.
“Bisa dibilang begitu,” gumam Camaro.
“Senang bertemu denganmu, Azura.” Kata Camari sambil tersenyum tipis kepada Azura.
“Ya, senang bertemu denganmu juga,” sahut Azura.
‘Aku harap Camari tidak begitu menyebalkan seperti Camaro,’ kata Azura di dalam hati.
“Camari, mengapa kau tidak memberitahuku dulu sebelum datang ke sini?” tanya Camaro.
“Aku ingin membuat kejutan saja hihi.” Jawab Camari sambil menutup mulut dengan sayap putihnya.
“Oh begitu,” gumam Camaro.
Azura menyilangkan kakinya sambil memperhatikan dua burung camar yang asik berbincang. Perlahan-lahan, darah yang menetes dari hidungnya terhenti. Lemas di tubuh dia juga semakin menghilang.
“Azura, apa saja yang telah kau pelajari bersama Camaro?” tanya Camari dengan lembut.
Baru saja Azura membuka mulutnya, tetapi Camaro dengan cepat menyanggah. “Belajar apa, baru satu sihir saja dia sudah hampir kehabisan mana.”
“Hei Camaro, kau juga tidak mengajariku bagaimana mengontrol mana dan power sihir!” sahut Azura dengan sedikit emosi.
“Loh, mengapa kau menyalahkan aku? Jelas-jelas kau yang sombong! Kau bertingkah seakan lebih hebat dariku,” ujar Camaro.
“Kau ini, dasar burung gemuk!” cibir Azura.
“Huh, dasar perempuan menyebalkan!” tandas Camaro.
Suasana pun seketika hening. Azura dan Camaro saling membelakangi.
“Sudah, sudah. Kalian jangan bertengkar seperti itu,” kata Camari.
Azura dan Camaro hanya terdiam dengan ekspresi kesal.
“Hah.”
Camari menghela napasnya sejenak.
“Aku rasa yang salah adalah kau, Camaro,” ujar Camari.
“Heh? Mengapa aku yang salah?” sahut Camaro.
“Kau mengajarkan Azura suatu sihir, tanpa memberitahu cara mengontrol power dan mana. Lagi pula, Azura juga belum mengetahui bagaimana pemulihan mana,” jelas Camari.
“Dasar, semua perempuan sama saja,” gerutu Camaro.
“Pemulihan mana? Bagaimana caranya?” tanya Azura dengan penuh penasaran.
Camari tersenyum tipis. “Mungkin sebelumnya kau tahu, kalau mana adalah energi murni. Sebenarnya, alam sekitar juga memiliki mana, tetapi mana itu masih bersifat liar. Ketika cadangan mana-mu hampir menipis, tubuh dengan sendirinya mengonversi mana di sekitar dan menyerapnya.”
“Jadi tanpa sihir apapun, tubuhku bisa memulihkan mana-nya?” Azura kembali bertanya dengan antusias.
“Benar,” jawab Camari.
“Kalau begitu, tidak masalah dong jika aku memakai sihir dengan power yang tinggi dan menggunakan mana yang besar? Lagi pula, mana bisa meregenerasi dengan sendirinya,” kata Azura.
Plak!
“Tidak seperti itu, dasar Azura bodoh!” Cibir Camaro sambil memukul kepala Azura.
“Aw, sakit! Dasar burung gemuk!” umpat Azura.
“Meskipun mana bisa meregenerasi dengan sendirinya, tetapi itu perlu waktu. Memang setiap tempat memiliki mana, tetapi kuantitasnya berbeda. Bagi penyihir dasar, penyerapan mana bisa dilakukan dengan pernapasan. Akan tetapi, bagi penyihir tingkat tinggi, konversi mana bisa melalui kulit,” jelas Camari.
“Untuk bisa sampai di tingkat tinggi, kau harus melakukan latihan ekstra,” sahut Camaro.
“Benar, penyerapan mana tingkat tinggi juga memerlukan mantra sihir,” timpal Camari.
‘Hm, sepertinya aku mulai memahami dunia ini,’ kata Azura di dalam hati.
“Satu hal lagi, setiap makhluk hidup memiliki kapasitas mana yang berbeda. Ada yang penyimpanannya sedikit, sedang ataupun besar,” ujar Camaro.
“Aku rasa cukup penjelasan mengenai mana. Sekarang, apakah kau mau berlatih denganku?” tanya Camari.
Azura terdiam menatap Camari dengan ragu.
“Tenang saja, Camari itu lembut kok. Tidak seperti aku,” kata Camaro.
“Kau memang buruk, kan,” cibir Azura.
“Kurang ajar!” teriak Camaro.
“Hehe, sepertinya kalian akrab ya,” ujar Camari.
“Mana ada!” Teriak Azura dan Camaro secara serempak.
Camari hanya tertawa kecil melihat tingkah laku Camaro dan Azura.
“Kau akan mengajarkanku apa? Sihir penyerangan tingkat dasar?” tanya Azura.
“Tidak. Aku tidak ahli dalam menyerang,” jawab Camari.
“Lalu?” Azura memiringkan kepalanya, berharap jawaban yang memuaskan dari Camari.
“Aku akan mengajarkanmu satu sihir yang membuat matamu mampu melihat mana di sekitar,” jelas Camari.
Azura menganggukkan kepalanya. Dia mulai paham dengan perbedaan kekuatan kedua burung camar di dekatnya itu.
“Ya sudah, kalau begitu kalian berlatihlah. Aku akan melihatnya dari jauh, agar kalian bisa berkonsentrasi.” Kata Camaro sambil terbang menjauh.
“Aku di sebelah sini ya.” Kata Camari sambil berdiri di sebelah kiri Azura.
“Baiklah,” ucap Azura.
Camari mulai mengajarkan Azura gerakan sihir dengan pembawaannya yang lembut.
“Pertama, letakkan tangan kirimu di dekat jantung!” seru Camari.
Azura hanya menganggukkan kepala sambil memeragakan gerakan Camari.
“Lalu, pusatkan pikiran untuk melacak mana!”
“Iya, sudah.”
“Terakhir, baca mantra sihir. Apa kau siap?” tanya Camari.
“Ya.” Kata Azura sambil menganggukkan kepala.
“Wahai Dewa penyelamat alam semesta, berikanlah kami sedikit kekuatanmu. Searchiezes opz mana, blue side eye.” Ucap Camari dan Azura secara serempak.
Seketika mata kiri Azura dapat melihat aliran warna yang mengelilinginya.
‘Itu apa?’ tanya Azura di dalam hati.
“Apa kau melihat sesuatu?” tanya Camari.
“Ya, aku melihat sesuatu yang warna-warni di sekitar,” jawab Azura.
“Benarkah? Syukurlah kau dengan cepat menguasainya,” ucap Camari.
“Apakah yang aku lihat itu adalah mana?” tanya Azura dengan sangat penasaran.
“Iya betul. Warna yang kau lihat itu adalah mana liar yang berada di sekitar sini,” jelas Camari.
“Woah, banyak sekali,” ucap Azura.
“Ya, memang di sini terdapat banyak mana. Maka dari itu, pemulihan mana-mu setelah menggunakan sihir penyerangan terbilang cukup cepat.”
“Lalu, mengapa aku hanya dapat melihat mana dengan satu mata?” tanya Azura.
“Ketika kau melihat mana, maka objek di sekitarmu akan berwarna abu-abu. Jika kau menggunakan dua mata ma-,” perkataan Camari dengan cepat langsung terpotong.
“Maka aku bisa saja lengah dengan musuh?” Tanya Azura yang berhasil memotong perkataan Camari.
“Ya, betul sekali.”
Azura mengedipkan mata kirinya, lalu penglihatannya kembali normal.
“Untuk memutus sihir blue side eye, apa hanya mengedipkan mata saja?” tanya Azura.
“Hm, bisa iya dan bisa tidak sih,” jawab Camari.
“Loh?” bingung Azura.
“Pada dasarnya sihir itu, sesuai kemauan hati. Tanpa kau kedipkan matamu, tapi hatimu ingin memutuskan sihir itu, maka terputuslah sihirnya,” jelas Camari dengan santai.
“Baik, aku mengerti,” gumam Azura.
“Oh iya, aku hampir saja lupa. Selanjutnya, aku akan mengajarkanmu mengontrol power dan mana,” ucap Camari.
Azura hanya terdiam sambil memperhatikan Camari.
“Ketika kau ingin mengeluarkan sihir, kau juga harus bisa merasakan mana yang mengalir di tubuhmu. Hal itu juga berkaitan dengan power sihir yang dihasilkan. Pakailah mana itu sesuai kekuatan sihir yang kau mau. Sekarang, coba kau pejamkan matamu!” seru Camari.
“Baik.” Kata Azura sambil memejamkan matanya.
“Lalu, coba kau hasilkan sihir yang diajarkan oleh Camaro tadi, tapi dengan pengontrolan mana!”
Azura menganggukkan kepalanya. Perlahan ia merasakan mana yang mengalir bersama aliran darahnya.
“Wahai Dewa penyelamat alam semesta, berikanlah kami sedikit kekuatanmu. Elemenzeus white light ball.” Ucap Azura seraya membuka mata dan mengarahkan kedua tangan ke pohon di depannya.
Syu!
Bola cahaya putih melesat cepat ke arah pohon.
***
Duar! Sebuah ledakan kecil terjadi. Sihir Azura berhasil mengenai satu pohon besar di depannya tanpa menumbangkan pohon tersebut. “Hah.” Azura menghela napasnya sejenak. ‘Tubuhku tidak lemas seperti tadi,’ kata Azura di dalam hati. “Hebat! Kau hebat Azura! Kau sudah bisa mengendalikan mana dan power sihirmu,” ujar Camari. “Itu semua karena kau, Camari.” Sahut Azura sambil tersenyum lebar. Camari menggelengkan kepalanya. “Tidak, itu semua karena kerja keras dan kemampuanmu.” Bruk! Azura seketika memeluk Camari. “Ah Camari, kau begitu lembut dan baik hati. Berbeda sekali dengan burung jantan yang super menyebalkan itu,” ucap Azura. “Hehe, terima kasih pujiannya,” seloroh Camari. “Woy Azura buruk rupa! Aku masih bisa mendengar kata-katamu ya!” teriak Camaro dari ketinggian. “Berisik kau burung gemuk!” Cibir Azura sambil melepaskan pelukannya. Aum! Tiba-tiba terdengar suara hewan yang familiar bagi Azura. “Camari, apa kau dengar sesuatu?” tanya Azura. Camari menganggukkan
Camaro berjalan mendekati Azura. “Mau apa kau? Aku pukul nih!” Ancam Azura sambil mengangkat sebuah batu besar. “Aku minta maaf.” Kata Camaro sambil mengulurkan sayap kanannya. “Cih, tidak mau!” Tolak Azura sambil memalingkan wajah. “Hah.” Camaro menghela napas berat. “Azura, maafkanlah Camaro! Kau harus mendengarkan alasannya dulu. Aku yakin Camaro tidak berniat jahat kepadamu,” bujuk Camari. Azura melirik Camaro dengan sinis. “Ayo dong Azura, berdamai ya! Aku mohon!” Camari membujuk Azura dengan lembut. “Hah, baiklah. Kali ini aku akan memaafkanmu.” Ucap Azura sambil membalas uluran sayap Camaro. Camaro pun tersenyum tipis. “Tapi kau harus jelaskan apa tujuanmu melakukan itu!” Seru Azura sambil melepaskan sayap Camaro. “Baik, aku akan menjelaskannya kepadamu.” Ujar Camaro sambil duduk di depan Azura. Meskipun Azura sudah memaafkan Camaro, tetapi matanya masih sinis menatap Camaro. “Aku pernah mendengar bahwa ketika manusia merasa terdesak, maka ia akan mengeluarkan sel
“Elemenzeus fire ball.” Teriak Azura sambil menyerang Camaro yang terbang di ketinggian.Syuu! Syuu!Camaro dengan lincah berhasil menghindari serangan Azura.“Ha ha, kau masih belum bisa mengenaiku,” cibir Camaro.“Cih, bodo ah. Terserah kau saja!” Umpat Azura sambil terduduk dan bersandar di batang pohon besar.“Istirahat saja dulu,” ujar Camari.“Iya memang, melelahkan sekali,” sahut Azura.“Hei Azura, berhentilah bermalas-malasan!” Seru Camaro sambil terbang mendekati Azura.‘Apa sih, dasar burung camar menyebalkan.’ Umpat Azura di dalam hati sambil menatap tajam Camaro.“Sudahlah Camaro, biarkan Azura beristirahat dulu,” kata Camari.“Heleh, kemampuan masih lemah begitu kok malah sering beristirahat,” gerutu Camaro.“Tolong! Tolong!”Tiba-tiba Azura mendengar teriakan seseorang dari kejauhan.“Hei Azura, ada apa?” tanya Camari dengan ekspresi khawatir.“Kalian dengar tidak?” tanya balik Azura.“Dengar apa? Tidak ada suara apa-apa,” jawab Camaro.“Aku mendengar ada teriakan minta
“Jadi, mau kau apakan pria itu?” tanya Camaro.Azura menatap Camaro dengan tajam. “Apa maksudmu?”“Ya, apa rencanamu mengenai pria itu? Jika dia sadar, kau mau bagaimana?”“Hah.” Azura menghela napasnya seraya menyandarkan tubuh di batang pohon besar.“Mungkin aku akan mengantarnya untuk keluar dari sini,” jawab Azura.“Memangnya kau tahu jalan keluarnya?” tanya Camari.“Tentu saja tidak. Tapi aku bisa bertanya dengan kalian, bukan?”“Kami tidak bisa menampakkan diri ke depan pria itu,” jelas Camari.“Kenapa memangnya?” Azura mengangkat alisnya dengan penuh tanda tanya.“A-a-ah i-it-.” Camari berusaha menjawab pertanyaan Azura, tetapi Camaro dengan cepat menyanggahnya.“Karena aku terlalu tampan dan jenius untuk dilihat oleh pasang mata manusia asing ho ho.”Azura
‘Setelah pohon ceri merah, ambil arah timur…,’ pikir Azura di dalam hati. “Hei Azura! Lihat!” Seru Elenio sambil menunjuk gapura kuno di depan. “Gapura…,” lirih Azura. “Yeay! Akhirnya kita bisa keluar dari hutan ini." Kata Elenio sambil meloncat penuh semangat.Azura terdiam dan hanya berkata di dalam hati. 'Aku kira keluar dari hutan ini membutuhkan perjalanan yang lama.'"Hup, Hah. Aku kira, aku tidak bisa merasakan udara di luar hutan lagi." Ujar Elenio sambil sesekali menghirup udara segar di sekelilingnya.Azura menoleh dan menatap Elenio dengan datar. “Memangnya kau pikir benaran akan mati?” “Tidak, bukan begitu." Sahut Elenio sambil menggelengkan kepala dengan cepat. "Lalu?" Azura memiringkan kepalanya penuh penasaran. "Saat aku dengan kelompokku waktu itu, kami sulit sekali menemukan jalan keluar. Konon, masyarakat mengenal Hutan Florestia itu adalah hutan kramat,” jelas Elenio.“Ha ha.” Azura lantas tertawa setelah mendengar perkataan Elenio yang menohok. “Kau menertawa
Syut! Syut! “Whoa, ternyata kau juga hebat dalam menggunakan pedang!” Puji Elenio sambil memperhatikan Azura dengan mata yang membulat sempurna. “Heh? Ah tidak, tidak. Aku belum pernah belajar seni bela diri pedang. Barusan yang kau lihat itu hanya sedikit adegan pertarungan yang aku baca dari komik kesukaanku,” sahut Azura. “Loh, komik? Apa itu?” Tanya Elenio sambil memiringkan kepalanya dengan penuh penasaran. “Komik it-.” Seketika seorang pria kekar menyanggah perkataan Azura. “Komik itu sejenis buku, tetapi ada gambarnya. Ya, semacam koran gitu, tetapi berisi cerita fiksi.” “Wah! Lion! Lama tidak berjumpa,” sapa Elenio dengan penuh semangat. “Halo Pangeran, bagaimana kabarmu? Kemana saja kau? Sepertinya kau membawa teman baru lagi?” tanya pria kekar bernama Lion tersebut. “He he iya, perkenalkan dia Azura,” ujar Elenio. “Azura Amalthea.” Ujar Azura sambil membungkukkan tubuh selama beberapa saat. “Ah iya, saya Lion, pemilik toko peralatan senjata ini. Senang bertemu denga
Azura terduduk di sebuah sofa abu-abu sambil memperhatikan sekelilingnya.‘Mengapa aku bisa ada di sini? Tugasku adalah menemukan guru sihir, bukan terlibat konflik kerajaan,’ kata Azura di dalam hati.“Selamat sore, Nona.” Sapa seorang pria berpakaian hitam yang lengkap dengan berbagai atribut khas kerajaan.“S-so-sore.” Ucap Azura seraya berdiri dan membungkukkan tubuhnya selama beberapa saat.“He he, senang bertemu denganmu. Silahkan duduk!” seru pria itu.Azura hanya menganggukkan kepalanya dan kembali duduk di kursi abu-abu.“Hah.” Sejenak pria itu menghela napasnya, lalu bersilang kaki dan terduduk santai.‘Siapa dia sebenarnya? Kalau dilihat-lihat dia mirip sekali dengan Elen,’ pikir Azura di dalam hati.“Ah ya. Maaf aku sampai lupa. Perkenalkan, aku Elzenath Damon.” Kata pria itu sambil tersenyum tipis.“Damon…,” lirih Azura.“Ha ha, iya itu nama ayahku. Apakah aku terlihat tidak mirip dengannya?” Pria bernama Elzenath itu bertanya sambil tertawa kecil.Azura dengan cepat meng
Seketika suasana hening. Sinar jingga menyusup masuk dan membiaskan tubuh Azura dan Elzenath.“Yah, kalau begitu, aku akan memanggil Elenio,” ujar Elzenath.Azura hanya menganggukkan kepalanya perlahan.“Aias, tolong bawa Elenio masuk!” teriak Elzenath.Brak.Elenio dengan cepat masuk ke dalam ruangan.“Hei Aias, berhenti memegangku!” seru Elenio.“Maaf Pangeran Zenath, saya telah membawa Pangeran Elenio,” ucap Aias.Elzenath menganggukkan kepalanya, lalu mengangkat kedua alisnya dan menunjuk pintu ruangan tanpa berkata apa pun.“Baik Pangeran.” Aias seolah mengerti isyarat yang diberikan oleh Elzenath. Pria berambut pirang itu pun keluar dari ruangan.“Duduk!” seru Elzenath.“Seenaknya sekali kau memerintahku.” Umpat Elenio sambil hendak duduk di sebelah Elzenath.Duk!Elzenath tiba-tiba menendang bokong Elenio.“Heh?” Azura tercengang melihat kelakuan kakak beradik di depannya.“Zenath bodoh! Apa yang kau lakukan? Mengapa kau menendangk-.”Elzenath dengan santainya langsung memotong