“Sebelum kau menggunakan sihir, kau harus tahu dua hal, yaitu mana dan power,” ucap Camaro.
“Hm hm.” Azura menganggukkan kepala sambil menyantap semangkok mi yang terhidang di batok kelapa.
“Ketika kau menggunakan sihir, kau harus pertimbangkan seberapa besar power sihir itu dan seberapa banyak mana yang dipakai,” ujar Camaro.
“Slurp.” Azura hanya menganggukkan kepala sambil menyeruput kuah mi.
Gubrak!
Tiba-tiba sebuah tendangan mengarah kepada Azura, hingga membuatnya terjungkal.
“Hei Camaro, apa yang kau lakukan?” tanya Azura dengan penuh emosi.
“Kau! Mengapa kau hanya sibuk makan? Padahal aku sedang memberi pelajaran kepadamu!” jawab Camaro.
“Y-ya, aku lapar,” sahut Azura.
“Lapar, lapar. Seharusnya kau pikir, ketika aku menjelaskan, berhenti dulu makannya!” seru Camaro.
“Hah.”
Azura menghela napasnya. Dia kemudian duduk dan menatap Camaro dengan serius.
“Baiklah, kali ini aku akan memperhatikanmu,” ucap Azura.
Camaro hanya terdiam menatap Azura dengan mata membulat sempurna.
‘Sepertinya dia memang kesal kepadaku,’ kata Azura di dalam hati.
“Ya, maafkan aku,” gumam Azura.
“Apa? Kau berkata apa? Aku tidak mendengar,” sahut Camaro.
“Maafkan aku!” teriak Azura.
“Aku tidak akan memaafkanmu,” kata Camaro.
“Heh? Mengapa kau tidak memaafkan aku? Mengapa kau begitu sombong?”
“Aku tidak sombong, hanya saja aku tidak suka caramu minta maaf.”
“Baiklah, kau mau aku minta maaf seperti apa?” Azura berusaha mengalah kepada Camaro.
“Hihi, kau harus bilang, paduka Camaro yang tampan, tolong maafkan aku.” Gumam Camaro sambil menutup mulut dengan sayapnya.
“Heleh, aku tidak mau!” tolak Azura.
“Ya sudah kalau tidak mau, aku tidak akan mengajarkanmu sihir lagi!” balas Camaro.
Suasana seketika hening.
‘Hm, kalau aku tidak minta maaf kepada burung gemuk itu, dia tidak akan mengajarkanku sihir. Kalau dia tidak mengajarkanku sihir, aku tidak bisa melawan pasukan iblis,’ pikir Azura di dalam hati.
Azura melirik Camaro yang masih marah dan membelakanginya.
‘Aku rasa tidak ada salahnya untuk meminta maaf sesuai apa yang dia mau,’ kata Azura di dalam hati.
“Hei Camaro…,” lirih Azura.
“Tidak usah memanggil namaku!” seru Camaro.
“Wahai paduka Camaro yang tampan, aku Azura Amalthea, ingin meminta maaf kepadamu,” kata Azura.
“Tidak mau, kalimatmu masih salah,” sahut Camaro.
Azura menepuk kepalanya dengan penuh kekesalan.
‘Ya ampun, dasar burung menyebalkan,’ umpat Azura di dalam hati.
Azura menarik napasnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.
‘Baik, akan aku coba lagi,’ kata Azura di dalam hati.
“Wahai paduka Camaro yang tampan, tolong maafkan aku. Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama,” ujar Azura.
‘Awas saja kalau dia masih belum memaafkanku,’ geram Azura di dalam hati.
“Baiklah, aku akan memaafkanmu.” Ucap Camaro sambil berjalan mendekati Azura.
“Nah gitu dong. Kau jangan marah terus. Nanti bulumu cepat rontok,” ujar Azura.
“Sudah, jangan merayuku. Sekarang kita bahas sihir kembali. Jadi, apakah kau sudah paham apa yang aku jelaskan tadi?” tanya Camaro.
“Sudah. Jadi, saat aku menggunakan sihir, aku harus mempertimbangkan seberapa besar power sihir itu dan seberapa banyak mana yang akan terpakai,” jawab Azura.
“Benar. Kau cukup pintar,” puji Camaro.
‘Muehehe, aku memang pintar,’ kata Azura dengan sombong di dalam hati.
“Sekarang bangunlah!” seru Camaro.
Azura pun bangkit dan berdiri.
“Aku akan mengajarkanmu sihir penyerangan tingkat dasar yang pertama. Aku menyebutnya, white light ball,” kata Camaro.
“White light ball,” gumam Azura.
“Hal pertama yang harus kau lakukan adalah memfokuskan pandangan ke musuh, lalu pikirkan sihir yang ingin kau hasilkan. Terakhir, baca mantra sihir,” jelas Camaro.
‘Sepertinya mudah,’ kata Azura di dalam hati.
“Wahai Dewa penyelamat alam semesta, berikanlah kami sedikit kekuatanmu. Elemenzeus white light ball,” Seloroh Camaro sambil mengarahkan sayap putihnya ke pohon besar di depan.
Syu!
Sebuah bola cahaya putih melesat cepat mengenai pohon itu.
Duar!
Ledakan pun terjadi. Batang pohon itu seketika menghitam.
“Lumayan…,” lirih Azura.
“Apa? Kau bilang lumayan? Kau merendahkanku?” tanya Camaro dengan emosi.
“Ya tidak merendahkan juga sih. Kau memang berhasil membuat batang pohon itu hangus, tetapi pohonnya tidak tumbang,” jawab Azura.
“Aku memang tidak berniat menumbangkan pohonnya tahu!” teriak Camaro.
“Oh begitu ya,” gumam Azura.
“Hah, kau benar-benar menyebalkan,” umpat Camaro.
“Untunglah kau menyadarinya.” Ucap Azura sambil mengupil.
“Hei! Kau bisa serius tidak sih?” Camaro semakin naik darah menghadapi Azura.
“Baiklah, aku akan mencoba apa yang kau ajarkan,” kata Azura.
“Memang seharusnya begitu,” sahut Camaro.
Azura menatap tajam pohon di depannya dan berusaha memfokuskan pikirannya.
‘Pikirkan bola cahaya putih,’ kata Azura di dalam hati.
“Wahai Dewa penyelamat alam semesta, berikanlah kami sedikit kekuatanmu. Elemenzeus white light ball.” Kata Azura sambil mengarahkan kedua tangan ke pohon besar di depannya.
Syu!
Satu bola cahaya putih melesat dengan sangat cepat.
Brak! Brak! Brak! Brak! Brak! Gubrak!
Sihir itu menumbangkan lima pohon besar sekaligus, lalu membakar hangus hingga tidak tersisa.
Syu! Duar!
Setelah menyerang pohon, sihir itu berbelok ke langit dan terjadilah ledakan besar yang membuyarkan awan putih.
Bruk!
Azura seketika terduduk lemas.
“Hei Azura, hidungmu!” teriak Camaro dengan panik.
Terlihat tetesan darah dari kedua lubang hidung Azura.
“Heh?” Bingung Azura sambil menyeka darah yang menetes.
“Ah gawat, gawat! Hidungmu mimisan! Mengapa kau menghasilkan sihir dengan power sebesar itu?” tanya Camaro yang masih terlihat panik.
“Memangnya itu besar ya?” tanya Azura.
“Bodoh! Dasar Azura bodoh! Lihat di sana! Kau membakar habis pohonnya.” Kata Camaro sambil menunjuk ke arah pohon yang telah terbakar hangus.
“Bukannya bagus? Aku bisa menghasilkan sihir yang lebih baik darimu,” ucap Azura.
Plak!
Dengan penuh emosi, Camaro memukul kepala Azura.
“Aw, sakit! Mengapa kau memukulku?” tanya Azura.
“Bodoh! Kau benar-benar bodoh! Aku sudah bilang, ketika kau menggunakan sihir, perhatikan power dan mana,” jawab Camaro.
Azura terdiam sejenak.
‘Power dan mana?’ tanya Azura di dalam hati.
“Hei Azura, sadarlah!” Seru Camaro sambil menggoyang-goyangkan tubuh Azura.
“Hei Camaro, berhentilah! Aku tidak pingsan,” sahut Azura.
Camaro menatap kedua mata Azura dengan tajam.
“Camaro, jangan menatapku seperti itu!” seru Azura.
“Wajahmu terlihat pucat,” ucap Camaro.
‘Kalau di pikir-pikir, aku memang merasa sangat lemas,’ kata Azura di dalam hati.
“Hah.”
Camaro menghela napas berat dan berjalan menjauhi Azura.
“Hei Azura, apa kau tahu mengapa sekarang kau pucat dan mimisan?” tanya Camaro.
Azura hanya menggelengkan kepalanya.
“Itu semua karena mana-mu hampir terkuras habis,” kata Camaro.
“Habis? Sebentar, memangnya mana yang kau maksud itu seperti apa?” bingung Azura.
“Baiklah, aku coba jelaskan. Mana itu merupakan sumber kekuatan murni yang dimiliki setiap makhluk hidup. Mana berpusat di jantung dan ikut mengalir ber-,” perkataan Camaro seketika terhenti saat munculnya kilatan hijau misterius.
“Heh? Apa itu?” tanya Azura dengan mata yang gemetar.
“Hai.” Sapa seekor burung camar putih dengan pita merah muda sambil tersenyum manis.
***
Glek!Azura tertegun saat melihat seekor burung camar asing di depannya.“A-a-ada du-dua?” tanya Azura terbata.‘Satu burung saja menyebalkan, lalu bagaimana aku menghadapi dua burung sekaligus?’ tanya Azura di dalam hati.“Hei Camari, kau mengangetkan saja,” ujar Camaro.“Hah? Camari? Tu-tunggu, kalian kembar?” tanya Azura.“Bisa dibilang begitu,” gumam Camaro.“Senang bertemu denganmu, Azura.” Kata Camari sambil tersenyum tipis kepada Azura.“Ya, senang bertemu denganmu juga,” sahut Azura.‘Aku harap Camari tidak begitu menyebalkan seperti Camaro,’ kata Azura di dalam hati.“Camari, mengapa kau tidak memberitahuku dulu sebelum datang ke sini?” tanya Camaro.“Aku ingin membuat kejutan saja hihi.” Jawab Camari sambil menutup mulut dengan sayap putihnya.“Oh begitu,” gumam Camaro.Azura menyilangkan kakinya sambil memperhatikan dua burung camar yang asik berbincang. Perlahan-lahan, darah yang menetes dari hidungnya terhenti. Lemas di tubuh dia juga semakin menghilang.“Azura, apa saja
Duar! Sebuah ledakan kecil terjadi. Sihir Azura berhasil mengenai satu pohon besar di depannya tanpa menumbangkan pohon tersebut. “Hah.” Azura menghela napasnya sejenak. ‘Tubuhku tidak lemas seperti tadi,’ kata Azura di dalam hati. “Hebat! Kau hebat Azura! Kau sudah bisa mengendalikan mana dan power sihirmu,” ujar Camari. “Itu semua karena kau, Camari.” Sahut Azura sambil tersenyum lebar. Camari menggelengkan kepalanya. “Tidak, itu semua karena kerja keras dan kemampuanmu.” Bruk! Azura seketika memeluk Camari. “Ah Camari, kau begitu lembut dan baik hati. Berbeda sekali dengan burung jantan yang super menyebalkan itu,” ucap Azura. “Hehe, terima kasih pujiannya,” seloroh Camari. “Woy Azura buruk rupa! Aku masih bisa mendengar kata-katamu ya!” teriak Camaro dari ketinggian. “Berisik kau burung gemuk!” Cibir Azura sambil melepaskan pelukannya. Aum! Tiba-tiba terdengar suara hewan yang familiar bagi Azura. “Camari, apa kau dengar sesuatu?” tanya Azura. Camari menganggukkan
Camaro berjalan mendekati Azura. “Mau apa kau? Aku pukul nih!” Ancam Azura sambil mengangkat sebuah batu besar. “Aku minta maaf.” Kata Camaro sambil mengulurkan sayap kanannya. “Cih, tidak mau!” Tolak Azura sambil memalingkan wajah. “Hah.” Camaro menghela napas berat. “Azura, maafkanlah Camaro! Kau harus mendengarkan alasannya dulu. Aku yakin Camaro tidak berniat jahat kepadamu,” bujuk Camari. Azura melirik Camaro dengan sinis. “Ayo dong Azura, berdamai ya! Aku mohon!” Camari membujuk Azura dengan lembut. “Hah, baiklah. Kali ini aku akan memaafkanmu.” Ucap Azura sambil membalas uluran sayap Camaro. Camaro pun tersenyum tipis. “Tapi kau harus jelaskan apa tujuanmu melakukan itu!” Seru Azura sambil melepaskan sayap Camaro. “Baik, aku akan menjelaskannya kepadamu.” Ujar Camaro sambil duduk di depan Azura. Meskipun Azura sudah memaafkan Camaro, tetapi matanya masih sinis menatap Camaro. “Aku pernah mendengar bahwa ketika manusia merasa terdesak, maka ia akan mengeluarkan sel
“Elemenzeus fire ball.” Teriak Azura sambil menyerang Camaro yang terbang di ketinggian.Syuu! Syuu!Camaro dengan lincah berhasil menghindari serangan Azura.“Ha ha, kau masih belum bisa mengenaiku,” cibir Camaro.“Cih, bodo ah. Terserah kau saja!” Umpat Azura sambil terduduk dan bersandar di batang pohon besar.“Istirahat saja dulu,” ujar Camari.“Iya memang, melelahkan sekali,” sahut Azura.“Hei Azura, berhentilah bermalas-malasan!” Seru Camaro sambil terbang mendekati Azura.‘Apa sih, dasar burung camar menyebalkan.’ Umpat Azura di dalam hati sambil menatap tajam Camaro.“Sudahlah Camaro, biarkan Azura beristirahat dulu,” kata Camari.“Heleh, kemampuan masih lemah begitu kok malah sering beristirahat,” gerutu Camaro.“Tolong! Tolong!”Tiba-tiba Azura mendengar teriakan seseorang dari kejauhan.“Hei Azura, ada apa?” tanya Camari dengan ekspresi khawatir.“Kalian dengar tidak?” tanya balik Azura.“Dengar apa? Tidak ada suara apa-apa,” jawab Camaro.“Aku mendengar ada teriakan minta
“Jadi, mau kau apakan pria itu?” tanya Camaro.Azura menatap Camaro dengan tajam. “Apa maksudmu?”“Ya, apa rencanamu mengenai pria itu? Jika dia sadar, kau mau bagaimana?”“Hah.” Azura menghela napasnya seraya menyandarkan tubuh di batang pohon besar.“Mungkin aku akan mengantarnya untuk keluar dari sini,” jawab Azura.“Memangnya kau tahu jalan keluarnya?” tanya Camari.“Tentu saja tidak. Tapi aku bisa bertanya dengan kalian, bukan?”“Kami tidak bisa menampakkan diri ke depan pria itu,” jelas Camari.“Kenapa memangnya?” Azura mengangkat alisnya dengan penuh tanda tanya.“A-a-ah i-it-.” Camari berusaha menjawab pertanyaan Azura, tetapi Camaro dengan cepat menyanggahnya.“Karena aku terlalu tampan dan jenius untuk dilihat oleh pasang mata manusia asing ho ho.”Azura
‘Setelah pohon ceri merah, ambil arah timur…,’ pikir Azura di dalam hati. “Hei Azura! Lihat!” Seru Elenio sambil menunjuk gapura kuno di depan. “Gapura…,” lirih Azura. “Yeay! Akhirnya kita bisa keluar dari hutan ini." Kata Elenio sambil meloncat penuh semangat.Azura terdiam dan hanya berkata di dalam hati. 'Aku kira keluar dari hutan ini membutuhkan perjalanan yang lama.'"Hup, Hah. Aku kira, aku tidak bisa merasakan udara di luar hutan lagi." Ujar Elenio sambil sesekali menghirup udara segar di sekelilingnya.Azura menoleh dan menatap Elenio dengan datar. “Memangnya kau pikir benaran akan mati?” “Tidak, bukan begitu." Sahut Elenio sambil menggelengkan kepala dengan cepat. "Lalu?" Azura memiringkan kepalanya penuh penasaran. "Saat aku dengan kelompokku waktu itu, kami sulit sekali menemukan jalan keluar. Konon, masyarakat mengenal Hutan Florestia itu adalah hutan kramat,” jelas Elenio.“Ha ha.” Azura lantas tertawa setelah mendengar perkataan Elenio yang menohok. “Kau menertawa
Syut! Syut! “Whoa, ternyata kau juga hebat dalam menggunakan pedang!” Puji Elenio sambil memperhatikan Azura dengan mata yang membulat sempurna. “Heh? Ah tidak, tidak. Aku belum pernah belajar seni bela diri pedang. Barusan yang kau lihat itu hanya sedikit adegan pertarungan yang aku baca dari komik kesukaanku,” sahut Azura. “Loh, komik? Apa itu?” Tanya Elenio sambil memiringkan kepalanya dengan penuh penasaran. “Komik it-.” Seketika seorang pria kekar menyanggah perkataan Azura. “Komik itu sejenis buku, tetapi ada gambarnya. Ya, semacam koran gitu, tetapi berisi cerita fiksi.” “Wah! Lion! Lama tidak berjumpa,” sapa Elenio dengan penuh semangat. “Halo Pangeran, bagaimana kabarmu? Kemana saja kau? Sepertinya kau membawa teman baru lagi?” tanya pria kekar bernama Lion tersebut. “He he iya, perkenalkan dia Azura,” ujar Elenio. “Azura Amalthea.” Ujar Azura sambil membungkukkan tubuh selama beberapa saat. “Ah iya, saya Lion, pemilik toko peralatan senjata ini. Senang bertemu denga
Azura terduduk di sebuah sofa abu-abu sambil memperhatikan sekelilingnya.‘Mengapa aku bisa ada di sini? Tugasku adalah menemukan guru sihir, bukan terlibat konflik kerajaan,’ kata Azura di dalam hati.“Selamat sore, Nona.” Sapa seorang pria berpakaian hitam yang lengkap dengan berbagai atribut khas kerajaan.“S-so-sore.” Ucap Azura seraya berdiri dan membungkukkan tubuhnya selama beberapa saat.“He he, senang bertemu denganmu. Silahkan duduk!” seru pria itu.Azura hanya menganggukkan kepalanya dan kembali duduk di kursi abu-abu.“Hah.” Sejenak pria itu menghela napasnya, lalu bersilang kaki dan terduduk santai.‘Siapa dia sebenarnya? Kalau dilihat-lihat dia mirip sekali dengan Elen,’ pikir Azura di dalam hati.“Ah ya. Maaf aku sampai lupa. Perkenalkan, aku Elzenath Damon.” Kata pria itu sambil tersenyum tipis.“Damon…,” lirih Azura.“Ha ha, iya itu nama ayahku. Apakah aku terlihat tidak mirip dengannya?” Pria bernama Elzenath itu bertanya sambil tertawa kecil.Azura dengan cepat meng