Share

Bab 2. White Light Ball

“Sebelum kau menggunakan sihir, kau harus tahu dua hal, yaitu mana dan power,” ucap Camaro.

“Hm hm.” Azura menganggukkan kepala sambil menyantap semangkok mi yang terhidang di batok kelapa.

“Ketika kau menggunakan sihir, kau harus pertimbangkan seberapa besar power sihir itu dan seberapa banyak mana yang dipakai,” ujar Camaro.

“Slurp.” Azura hanya menganggukkan kepala sambil menyeruput kuah mi.

Gubrak!

Tiba-tiba sebuah tendangan mengarah kepada Azura, hingga membuatnya terjungkal.

“Hei Camaro, apa yang kau lakukan?” tanya Azura dengan penuh emosi.

“Kau! Mengapa kau hanya sibuk makan? Padahal aku sedang memberi pelajaran kepadamu!” jawab Camaro.

“Y-ya, aku lapar,” sahut Azura.

“Lapar, lapar. Seharusnya kau pikir, ketika aku menjelaskan, berhenti dulu makannya!” seru Camaro.

“Hah.”

Azura menghela napasnya. Dia kemudian duduk dan menatap Camaro dengan serius.

“Baiklah, kali ini aku akan memperhatikanmu,” ucap Azura.

Camaro hanya terdiam menatap Azura dengan mata membulat sempurna.

‘Sepertinya dia memang kesal kepadaku,’ kata Azura di dalam hati.

“Ya, maafkan aku,” gumam Azura.

“Apa? Kau berkata apa? Aku tidak mendengar,” sahut Camaro.

“Maafkan aku!” teriak Azura.

“Aku tidak akan memaafkanmu,” kata Camaro.

“Heh? Mengapa kau tidak memaafkan aku? Mengapa kau begitu sombong?”

“Aku tidak sombong, hanya saja aku tidak suka caramu minta maaf.”

“Baiklah, kau mau aku minta maaf seperti apa?” Azura berusaha mengalah kepada Camaro.

“Hihi, kau harus bilang, paduka Camaro yang tampan, tolong maafkan aku.” Gumam Camaro sambil menutup mulut dengan sayapnya.

“Heleh, aku tidak mau!” tolak Azura.

“Ya sudah kalau tidak mau, aku tidak akan mengajarkanmu sihir lagi!” balas Camaro.

Suasana seketika hening.

‘Hm, kalau aku tidak minta maaf kepada burung gemuk itu, dia tidak akan mengajarkanku sihir. Kalau dia tidak mengajarkanku sihir, aku tidak bisa melawan pasukan iblis,’ pikir Azura di dalam hati.

Azura melirik Camaro yang masih marah dan membelakanginya.

‘Aku rasa tidak ada salahnya untuk meminta maaf sesuai apa yang dia mau,’ kata Azura di dalam hati.

“Hei Camaro…,” lirih Azura.

“Tidak usah memanggil namaku!” seru Camaro.

“Wahai paduka Camaro yang tampan, aku Azura Amalthea, ingin meminta maaf kepadamu,” kata Azura.

“Tidak mau, kalimatmu masih salah,” sahut Camaro.

Azura menepuk kepalanya dengan penuh kekesalan.

‘Ya ampun, dasar burung menyebalkan,’ umpat Azura di dalam hati.

Azura menarik napasnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.

‘Baik, akan aku coba lagi,’ kata Azura di dalam hati.

“Wahai paduka Camaro yang tampan, tolong maafkan aku. Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama,” ujar Azura.

‘Awas saja kalau dia masih belum memaafkanku,’ geram Azura di dalam hati.

“Baiklah, aku akan memaafkanmu.” Ucap Camaro sambil berjalan mendekati Azura.

“Nah gitu dong. Kau jangan marah terus. Nanti bulumu cepat rontok,” ujar Azura.

“Sudah, jangan merayuku. Sekarang kita bahas sihir kembali. Jadi, apakah kau sudah paham apa yang aku jelaskan tadi?” tanya Camaro.

“Sudah. Jadi, saat aku menggunakan sihir, aku harus mempertimbangkan seberapa besar power sihir itu dan seberapa banyak mana yang akan terpakai,” jawab Azura.

“Benar. Kau cukup pintar,” puji Camaro.

‘Muehehe, aku memang pintar,’ kata Azura dengan sombong di dalam hati.

“Sekarang bangunlah!” seru Camaro.

Azura pun bangkit dan berdiri.

“Aku akan mengajarkanmu sihir penyerangan tingkat dasar yang pertama. Aku menyebutnya, white light ball,” kata Camaro.

White light ball,” gumam Azura.

“Hal pertama yang harus kau lakukan adalah memfokuskan pandangan ke musuh, lalu pikirkan sihir yang ingin kau hasilkan. Terakhir, baca mantra sihir,” jelas Camaro.

‘Sepertinya mudah,’ kata Azura di dalam hati.

“Wahai Dewa penyelamat alam semesta, berikanlah kami sedikit kekuatanmu. Elemenzeus white light ball,” Seloroh Camaro sambil mengarahkan sayap putihnya ke pohon besar di depan.

Syu!

Sebuah bola cahaya putih melesat cepat mengenai pohon itu.

Duar!

Ledakan pun terjadi. Batang pohon itu seketika menghitam.

“Lumayan…,” lirih Azura.

“Apa? Kau bilang lumayan? Kau merendahkanku?” tanya Camaro dengan emosi.

“Ya tidak merendahkan juga sih. Kau memang berhasil membuat batang pohon itu hangus, tetapi pohonnya tidak tumbang,” jawab Azura.

“Aku memang tidak berniat menumbangkan pohonnya tahu!” teriak Camaro.

“Oh begitu ya,” gumam Azura.

“Hah, kau benar-benar menyebalkan,” umpat Camaro.

“Untunglah kau menyadarinya.” Ucap Azura sambil mengupil.

“Hei! Kau bisa serius tidak sih?” Camaro semakin naik darah menghadapi Azura.

“Baiklah, aku akan mencoba apa yang kau ajarkan,” kata Azura.

“Memang seharusnya begitu,” sahut Camaro.

Azura menatap tajam pohon di depannya dan berusaha memfokuskan pikirannya.

‘Pikirkan bola cahaya putih,’ kata Azura di dalam hati.

“Wahai Dewa penyelamat alam semesta, berikanlah kami sedikit kekuatanmu. Elemenzeus white light ball.” Kata Azura sambil mengarahkan kedua tangan ke pohon besar di depannya.

Syu!

Satu bola cahaya putih melesat dengan sangat cepat.

Brak! Brak! Brak! Brak! Brak! Gubrak!

Sihir itu menumbangkan lima pohon besar sekaligus, lalu membakar hangus hingga tidak tersisa.

Syu! Duar!

Setelah menyerang pohon, sihir itu berbelok ke langit dan terjadilah ledakan besar yang membuyarkan awan putih.

Bruk!

Azura seketika terduduk lemas.

“Hei Azura, hidungmu!” teriak Camaro dengan panik.

Terlihat tetesan darah dari kedua lubang hidung Azura.

“Heh?” Bingung Azura sambil menyeka darah yang menetes.

“Ah gawat, gawat! Hidungmu mimisan! Mengapa kau menghasilkan sihir dengan power sebesar itu?” tanya Camaro yang masih terlihat panik.

“Memangnya itu besar ya?” tanya Azura.

“Bodoh! Dasar Azura bodoh! Lihat di sana! Kau membakar habis pohonnya.” Kata Camaro sambil menunjuk ke arah pohon yang telah terbakar hangus.

“Bukannya bagus? Aku bisa menghasilkan sihir yang lebih baik darimu,” ucap Azura.

Plak!

Dengan penuh emosi, Camaro memukul kepala Azura.

“Aw, sakit! Mengapa kau memukulku?” tanya Azura.

“Bodoh! Kau benar-benar bodoh! Aku sudah bilang, ketika kau menggunakan sihir, perhatikan power dan mana,” jawab Camaro.

Azura terdiam sejenak.

Power dan mana?’ tanya Azura di dalam hati.

“Hei Azura, sadarlah!” Seru Camaro sambil menggoyang-goyangkan tubuh Azura.

“Hei Camaro, berhentilah! Aku tidak pingsan,” sahut Azura.

Camaro menatap kedua mata Azura dengan tajam.

“Camaro, jangan menatapku seperti itu!” seru Azura.

“Wajahmu terlihat pucat,” ucap Camaro.

‘Kalau di pikir-pikir, aku memang merasa sangat lemas,’ kata Azura di dalam hati.

“Hah.”

Camaro menghela napas berat dan berjalan menjauhi Azura.

“Hei Azura, apa kau tahu mengapa sekarang kau pucat dan mimisan?” tanya Camaro.

Azura hanya menggelengkan kepalanya.

“Itu semua karena mana-mu hampir terkuras habis,” kata Camaro.

“Habis? Sebentar, memangnya mana yang kau maksud itu seperti apa?” bingung Azura.

“Baiklah, aku coba jelaskan. Mana itu merupakan sumber kekuatan murni yang dimiliki setiap makhluk hidup. Mana berpusat di jantung dan ikut mengalir ber-,” perkataan Camaro seketika terhenti saat munculnya kilatan hijau misterius.

“Heh? Apa itu?” tanya Azura dengan mata yang gemetar.

“Hai.” Sapa seekor burung camar putih dengan pita merah muda sambil tersenyum manis.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status