Azura berjalan di bawah lampu kota. Udara dingin menyeruak menembus jaket hitam gadis berambut sebahu itu.
“Hah, kalau bukan stok makanan habis, aku tidak akan keluar apartemen seperti ini,” gumam Azura.
Tring.
Dering ponsel seketika memecah kesunyian malam.
[“Halo, Bu.”] Salam Azura dengan hangat setelah mengangkat telepon.
[“Kau ini! Sampai kapan kau akan menghabiskan uangku? Bukankah seharusnya kau bekerja? Berhentilah menjadi beban keluarga!”] Telinga Azura seketika berdenging mendengar suara lantang dari balik telepon.
“Hah.”
Sejenak, Azura menghela napas sambil menjauhkan ponsel dari telinganya.
[“Hei kau! Kau tidak bisu, kan? Jawablah!”]
[“Iya, Bu. Tolong maafkan aku.”]
[“Maaf, maaf. Kau pikir aku ini apa? Pokoknya aku tidak ingin mendengar alasan lagi! Cepatlah mencari pekerjaan atau kau akan menjadi gembel di jalanan!”]
[“Iya Bu, a-.”]
Tut, tut, tut. Belum sempat ia menjawab, panggilan telepon tersebut telah terputus. Azura memijit keningnya seraya menghembuskan napas berat.
“Menambah pikiranku saja.” Umpatnya sambil kembali melanjutkan perjalanan yang sempat terhenti.
***
Suara bising kendaraan terdengar nyaring ketika Azura memasuki minimarket yang berada di sisi timur taman kota.
“Selamat datang di Indoapril,” sapa seorang kasir minimarket yang berdiri dekat pintu masuk.
Tanpa menghiraukan sapaan dari kasir minimarket, ia langsung berjalan menuju rak yang berisi tumpukan mi instan.
‘Kira-kira aku pilih mi instan yang mana ya?’ Tanya Azura di dalam hati sambil melihat varian mi di depannya.
Setelah berbagai pertimbangan, Azura akhirnya mengambil sepuluh bungkus mi instan dengan harga termurah. Dia memasukkan semua mi ke dalam keranjang sebelum bergegas menuju kasir.
‘Aku tidak menyangka jika mengantri sepanjang ini.’ Keluh Azura di dalam hati melihat barisan kepala di depannya.
Saat mengantri, tatapannya tiba-tiba saja teralihkan pada sebuah tayangan televisi yang tergantung di dekat meja kasir.
“Permisa, para peneliti meramalkan bahwa sebentar lagi akan turun sebuah komet yang sangat langka. Sebagian besar masyarakat berkumpul di tengah lapangan dan sangat antusias dengan fenomena tersebut,” ucap seorang reporter pembawa acara berita itu.
“Komet….” lirih Azura.
“Hei Mba, sedang apa kau? Kalau mau melamun jangan di sini! Cepatlah! Saya buru-buru!” seru wanita paruh baya di belakang Azura.
“A-a-ah, maaf,” sahutnya tergagap setelah sadar dari lamunan.
Azura segera membayar mi instan itu, lalu bergegas keluar dari minimarket.
“Hah, berinteraksi dengan orang lain memang membuat lelah,” gerutu Azura setelah keluar dari minimarket. Akan tetapi, hatinya merasa ringan saat melihat mie di dalam plastik genggamannya.
Cling.
Tiba-tiba cahaya terang muncul membelah langit malam.
“Woah…, ternyata benar kata reporter berita itu." Lirih Azura dengan mata bergetar menatap langit di atasnya.
Bersamaan dengan jatuhnya komet, pandangannya seketika teralihkan oleh sebuah portal yang muncul di depannya.
“Eh? Apa itu? Seperti portal di dalam komik." Seloroh Azura mencoba mengulurkan tangan ke arah portal.
“Pencopet! Pencopet! Tolong kejar pria itu!” Suara ribut dari dalam minimarket berhasil memecah pikiran Azura. Gadis itu lantas menoleh ke belakang dan melihat seorang pria berbaju hitam berlari kencang kearahnya.
“Eh eh, hei tu-tunggu! Be-berhenti!” Azura berusaha menghentikan sang pria, tetapi sia-sia. Dia akhirnya tertabrak, lalu terpental masuk ke dalam portal misterius.
***
Gubrak!
Azura terjatuh menabrak sebuah pohon besar.
“Aduh, sakit.” Dia meringis sambil memegang kepala. Terlihat tetesan darah yang keluar dari dahinya.
“Sial sekali pencopet itu. Awas saja kalau bertemu lagi, akan aku pukul sekeras mungkin.” Gerutu Azura sambil mengepalkan tangan, lalu bangkit dan menyeka debu di tubuhnya.
Tiba-tiba suara gemercik air bergema memasuki telinganya bersama dengan gemeresik daun.
‘Air?’ Azura mulai tersadar akan suatu hal.
“Eh, aku ada di mana?” Tanya Azura sambil menatap sekelilingnya yang dipenuhi oleh pepohonan rimbun. Cahaya matahari jatuh dari sela daun, membiaskan wajahnya yang kusut dengan ekspresi tercengang.
Setelah beberapa saat, Azura pun termenung sejenak.
‘Tenang Azura, kau harus tenang. Pasti ini hanya mimpi,’ ucapnya di dalam hati.
“A-ah, iya. Mi instanku! Kalau ini mimpi, pasti mi instan itu juga tidak ikut be-,” belum sempat Azura melanjutkan perkataannya, tiba-tiba terdengar sahutan misterius di dekatnya.
“Mi instanmu jatuh di sana.”
Azura tanpa ragu berlari menghampiri mi instannya yang berjarak sepuluh kaki dari tempatnya berdiri.
“Ah, mi berhargaku,” kata Azura dengan nada sendu.
“Kau suka mi ya?” tanya suara misterius.
“Ya, aku sangat suka mi.” Jawab Azura dengan santai sambil terus memungut mi instannya satu-persatu.
Tiba-tiba Azura tersadar bahwa sejak tadi ia tidak melihat seorangpun di sekitarnya.
“Hei tunggu, suara siapa itu?” Lirih Azura sambil mematung.
“Itu suaraku,” jawab suara misterius.
Glek!
Azura tertegun. Bulu kuduknya berdiri dan seketika suasana di hutan itu terasa mencekam.
‘Itu bukan hantu, kan?’ tanya Azura di dalam hatinya.
Perlahan-lahan, ia memberanikan diri untuk menoleh ke belakang.
“Hai!” Seekor burung camar putih menyapa Azura dengan senyuman yang manis.
“Aa-ah, ka-ka-kau, bi-bisa bicara?” tanya Azura dengan terbata. Tanpa sadar ia bergerak mundur menjauhi burung tersebut.
Dengan ekspresi yang polos, burung camar itu berjalan mendekati Azura.
“Tu-tunggu!” seru Azura.
“Kau takut denganku?” Tanya burung camar sambil menghentikan langkahnya.
“Ya jelas aku takut. Sejak kapan seekor burung bisa berbicara?” tanya balik Azura dengan nada yang tinggi.
“Haha, kau sangat keterbelakang ya.” Ledek burung camar itu sambil menutupi mulutnya dengan sayap.
“He-hei! Kau menghinaku?” Azura mulai kesal dengan respon si burung camar.
“Tenang, tenang. Aku tidak akan berbuat jahat kepadamu. Perkenalkan, namaku Camaro.” Kata burung itu sambil mengulurkan sayap kanannya yang dipenuhi bulu putih bersih.
“Camaro?”
“Hm hm, Ca-ma-ro, namaku Camaro!” tegas sang burung camar.
Azura perlahan-lahan membalas uluran sayap Camaro.
“A-Azura,” ucapnya dengan gemetar.
“Azura! Nama yang cantik. Camaro menyukaimu. Selamat datang di Hutan Florestia,” seloroh Camaro.
Sejenak Azura terdiam, memperhatikan gerak-gerik burung camar aneh di depannya.
‘Seekor burung bisa bicara? Apakah aku sudah gila? Ah tidak-tidak, sepertinya aku memang sudah mati. Tunggu, aku mati karena ditabrak pencopet?’ tanya Azura di dalam hati.
“Ah, memalukan sekali!” Teriak Azura sambil menjambak rambutnya.
“Kau kenapa? Kau malu bertemu denganku?” tanya Camaro dengan polos.
“Bu-bukan.” Jawab Azura sambil menggelengkan kepala.
‘Aku harus cari tahu tentang dunia ini. Aku pasti masih hidup,’ tegasnya di dalam hati.
“Hei, Camaro. Hutan Florestia itu di mana?” tanya Azura kepada si burung camar.
“Hutan Florestia itu di Negara Tirakia. Hutan Florestia adalah tempat tinggalku,” jawab Camaro.
Azura seketika menepuk kepalanya.
‘Bodoh! Tidak seharusnya aku bertanya dengan burung misterius ini. Bagaimanapun dia hanya seekor burung,’ keluh Azura dengan sesal di dalam hati.
“Baiklah, lalu apakah kau tahu mengapa aku bisa datang ke sini?” Azura kembali melontarkan pertanyaan kepada Camaro.
“Tahu. Kau datang ke sini, karena Dewa yang membawamu.”
“Dewa?” Azura sangat kaget dengan jawaban si burung camar tersebut.
“Ya, ya, Dewa. Kau adalah pahlawan pilihan Dewa untuk melawan pasukan iblis yang menganggu keseimbangan dunia ini.” Jawab Camaro sambil menganggukkan kepalanya, membuat ia merasa skeptis.
“Hah? Kau serius? Kau pasti sedang bercanda, kan?” Azura berusaha memastikan jawaban dari Camaro.
“Tentu saja aku serius. Lagi pula tidak ada untungnya aku berbohong.”
“Lalu, mengapa Dewa memilihku?” Azura menuntut jawaban.
“Ya mana aku tahu.”
“Ya sudah, tolong bilang ke Dewa, kalau aku menolak untuk menjadi pahlawan,” kata Azura dengan tegas.
“Haha, mana bisa. Kau ditakdirkan untuk menjadi pahlawan dan melawan pasukan iblis. Kau tidak bisa lari dari takdirmu,” seloroh Camaro yang terlihat tidak peduli.
Bruk!
Seketika Azura terlentang lemas dengan tatapan yang kosong.
‘Jadi, dihadapi atau lari, aku tetap harus melawan pasukan iblis?’ tanya Azura di dalam hati.
“Hei Azura, kau kenapa?” Tanya Camaro sambil menggoyang-goyangkan tubuh Azura yang tidak berdaya.
‘Setelah menjadi beban keluarga, aku harus menanggung beban satu dunia.’ Keluh Azura sambil menangis di dalam hati.
***
“Sebelum kau menggunakan sihir, kau harus tahu dua hal, yaitu mana dan power,” ucap Camaro. “Hm hm.” Azura menganggukkan kepala sambil menyantap semangkok mi yang terhidang di batok kelapa. “Ketika kau menggunakan sihir, kau harus pertimbangkan seberapa besar power sihir itu dan seberapa banyak mana yang dipakai,” ujar Camaro. “Slurp.” Azura hanya menganggukkan kepala sambil menyeruput kuah mi. Gubrak! Tiba-tiba sebuah tendangan mengarah kepada Azura, hingga membuatnya terjungkal. “Hei Camaro, apa yang kau lakukan?” tanya Azura dengan penuh emosi. “Kau! Mengapa kau hanya sibuk makan? Padahal aku sedang memberi pelajaran kepadamu!” jawab Camaro. “Y-ya, aku lapar,” sahut Azura. “Lapar, lapar. Seharusnya kau pikir, ketika aku menjelaskan, berhenti dulu makannya!” seru Camaro. “Hah.” Azura menghela napasnya. Dia kemudian duduk dan menatap Camaro dengan serius. “Baiklah, kali ini aku akan memperhatikanmu,” ucap Azura. Camaro hanya terdiam menatap Azura dengan mata membulat sem
Glek!Azura tertegun saat melihat seekor burung camar asing di depannya.“A-a-ada du-dua?” tanya Azura terbata.‘Satu burung saja menyebalkan, lalu bagaimana aku menghadapi dua burung sekaligus?’ tanya Azura di dalam hati.“Hei Camari, kau mengangetkan saja,” ujar Camaro.“Hah? Camari? Tu-tunggu, kalian kembar?” tanya Azura.“Bisa dibilang begitu,” gumam Camaro.“Senang bertemu denganmu, Azura.” Kata Camari sambil tersenyum tipis kepada Azura.“Ya, senang bertemu denganmu juga,” sahut Azura.‘Aku harap Camari tidak begitu menyebalkan seperti Camaro,’ kata Azura di dalam hati.“Camari, mengapa kau tidak memberitahuku dulu sebelum datang ke sini?” tanya Camaro.“Aku ingin membuat kejutan saja hihi.” Jawab Camari sambil menutup mulut dengan sayap putihnya.“Oh begitu,” gumam Camaro.Azura menyilangkan kakinya sambil memperhatikan dua burung camar yang asik berbincang. Perlahan-lahan, darah yang menetes dari hidungnya terhenti. Lemas di tubuh dia juga semakin menghilang.“Azura, apa saja
Duar! Sebuah ledakan kecil terjadi. Sihir Azura berhasil mengenai satu pohon besar di depannya tanpa menumbangkan pohon tersebut. “Hah.” Azura menghela napasnya sejenak. ‘Tubuhku tidak lemas seperti tadi,’ kata Azura di dalam hati. “Hebat! Kau hebat Azura! Kau sudah bisa mengendalikan mana dan power sihirmu,” ujar Camari. “Itu semua karena kau, Camari.” Sahut Azura sambil tersenyum lebar. Camari menggelengkan kepalanya. “Tidak, itu semua karena kerja keras dan kemampuanmu.” Bruk! Azura seketika memeluk Camari. “Ah Camari, kau begitu lembut dan baik hati. Berbeda sekali dengan burung jantan yang super menyebalkan itu,” ucap Azura. “Hehe, terima kasih pujiannya,” seloroh Camari. “Woy Azura buruk rupa! Aku masih bisa mendengar kata-katamu ya!” teriak Camaro dari ketinggian. “Berisik kau burung gemuk!” Cibir Azura sambil melepaskan pelukannya. Aum! Tiba-tiba terdengar suara hewan yang familiar bagi Azura. “Camari, apa kau dengar sesuatu?” tanya Azura. Camari menganggukkan
Camaro berjalan mendekati Azura. “Mau apa kau? Aku pukul nih!” Ancam Azura sambil mengangkat sebuah batu besar. “Aku minta maaf.” Kata Camaro sambil mengulurkan sayap kanannya. “Cih, tidak mau!” Tolak Azura sambil memalingkan wajah. “Hah.” Camaro menghela napas berat. “Azura, maafkanlah Camaro! Kau harus mendengarkan alasannya dulu. Aku yakin Camaro tidak berniat jahat kepadamu,” bujuk Camari. Azura melirik Camaro dengan sinis. “Ayo dong Azura, berdamai ya! Aku mohon!” Camari membujuk Azura dengan lembut. “Hah, baiklah. Kali ini aku akan memaafkanmu.” Ucap Azura sambil membalas uluran sayap Camaro. Camaro pun tersenyum tipis. “Tapi kau harus jelaskan apa tujuanmu melakukan itu!” Seru Azura sambil melepaskan sayap Camaro. “Baik, aku akan menjelaskannya kepadamu.” Ujar Camaro sambil duduk di depan Azura. Meskipun Azura sudah memaafkan Camaro, tetapi matanya masih sinis menatap Camaro. “Aku pernah mendengar bahwa ketika manusia merasa terdesak, maka ia akan mengeluarkan sel
“Elemenzeus fire ball.” Teriak Azura sambil menyerang Camaro yang terbang di ketinggian.Syuu! Syuu!Camaro dengan lincah berhasil menghindari serangan Azura.“Ha ha, kau masih belum bisa mengenaiku,” cibir Camaro.“Cih, bodo ah. Terserah kau saja!” Umpat Azura sambil terduduk dan bersandar di batang pohon besar.“Istirahat saja dulu,” ujar Camari.“Iya memang, melelahkan sekali,” sahut Azura.“Hei Azura, berhentilah bermalas-malasan!” Seru Camaro sambil terbang mendekati Azura.‘Apa sih, dasar burung camar menyebalkan.’ Umpat Azura di dalam hati sambil menatap tajam Camaro.“Sudahlah Camaro, biarkan Azura beristirahat dulu,” kata Camari.“Heleh, kemampuan masih lemah begitu kok malah sering beristirahat,” gerutu Camaro.“Tolong! Tolong!”Tiba-tiba Azura mendengar teriakan seseorang dari kejauhan.“Hei Azura, ada apa?” tanya Camari dengan ekspresi khawatir.“Kalian dengar tidak?” tanya balik Azura.“Dengar apa? Tidak ada suara apa-apa,” jawab Camaro.“Aku mendengar ada teriakan minta
“Jadi, mau kau apakan pria itu?” tanya Camaro.Azura menatap Camaro dengan tajam. “Apa maksudmu?”“Ya, apa rencanamu mengenai pria itu? Jika dia sadar, kau mau bagaimana?”“Hah.” Azura menghela napasnya seraya menyandarkan tubuh di batang pohon besar.“Mungkin aku akan mengantarnya untuk keluar dari sini,” jawab Azura.“Memangnya kau tahu jalan keluarnya?” tanya Camari.“Tentu saja tidak. Tapi aku bisa bertanya dengan kalian, bukan?”“Kami tidak bisa menampakkan diri ke depan pria itu,” jelas Camari.“Kenapa memangnya?” Azura mengangkat alisnya dengan penuh tanda tanya.“A-a-ah i-it-.” Camari berusaha menjawab pertanyaan Azura, tetapi Camaro dengan cepat menyanggahnya.“Karena aku terlalu tampan dan jenius untuk dilihat oleh pasang mata manusia asing ho ho.”Azura
‘Setelah pohon ceri merah, ambil arah timur…,’ pikir Azura di dalam hati. “Hei Azura! Lihat!” Seru Elenio sambil menunjuk gapura kuno di depan. “Gapura…,” lirih Azura. “Yeay! Akhirnya kita bisa keluar dari hutan ini." Kata Elenio sambil meloncat penuh semangat.Azura terdiam dan hanya berkata di dalam hati. 'Aku kira keluar dari hutan ini membutuhkan perjalanan yang lama.'"Hup, Hah. Aku kira, aku tidak bisa merasakan udara di luar hutan lagi." Ujar Elenio sambil sesekali menghirup udara segar di sekelilingnya.Azura menoleh dan menatap Elenio dengan datar. “Memangnya kau pikir benaran akan mati?” “Tidak, bukan begitu." Sahut Elenio sambil menggelengkan kepala dengan cepat. "Lalu?" Azura memiringkan kepalanya penuh penasaran. "Saat aku dengan kelompokku waktu itu, kami sulit sekali menemukan jalan keluar. Konon, masyarakat mengenal Hutan Florestia itu adalah hutan kramat,” jelas Elenio.“Ha ha.” Azura lantas tertawa setelah mendengar perkataan Elenio yang menohok. “Kau menertawa
Syut! Syut! “Whoa, ternyata kau juga hebat dalam menggunakan pedang!” Puji Elenio sambil memperhatikan Azura dengan mata yang membulat sempurna. “Heh? Ah tidak, tidak. Aku belum pernah belajar seni bela diri pedang. Barusan yang kau lihat itu hanya sedikit adegan pertarungan yang aku baca dari komik kesukaanku,” sahut Azura. “Loh, komik? Apa itu?” Tanya Elenio sambil memiringkan kepalanya dengan penuh penasaran. “Komik it-.” Seketika seorang pria kekar menyanggah perkataan Azura. “Komik itu sejenis buku, tetapi ada gambarnya. Ya, semacam koran gitu, tetapi berisi cerita fiksi.” “Wah! Lion! Lama tidak berjumpa,” sapa Elenio dengan penuh semangat. “Halo Pangeran, bagaimana kabarmu? Kemana saja kau? Sepertinya kau membawa teman baru lagi?” tanya pria kekar bernama Lion tersebut. “He he iya, perkenalkan dia Azura,” ujar Elenio. “Azura Amalthea.” Ujar Azura sambil membungkukkan tubuh selama beberapa saat. “Ah iya, saya Lion, pemilik toko peralatan senjata ini. Senang bertemu denga