"Hah, aku lemas sekali." Lirih Azura seraya berjalan dengan lunglai."Maaf, kita tidak bisa masak daging," ucap Laurel.Azura menunjuk Laurel sambil berkata. "Ini semua gara-gara kau!""Hah?" Laurel pun menyanggah dengan mulut yang lebar."Iya! Gara-gara kamu! Kamu sih masak dagingnya lama, jadi keburu ada iblis," ujar Azura."Heleh, bukankah ini semua gara-gara kau?!" Laurel seketika menghentikan langkahnya."Kok aku?!" Azura yang tidak mau kalah, langsung berbalik tanya dengan mata yang membulat sempurna."Iya kamu! Coba saja jika kamu tidak marah-marah dan ngambek selayaknya bocah, kita mungkin sudah membakar daging dan menikmatinya sebelum para iblis itu datang." Decak Laurel sambil bertolak pinggang seperti seorang ayah yang memarahi putrinya."Apa?! Kau ini sebenarnya laki-laki atau perempuan sih?! Seenaknya sekali menilai seseorang!""Aku? Menilai? Aku menilai kamu? Hei, aku bukan menilai, tapi aku berbi-."Belum sempat Laurel melanjutkan perkataannya, tiba-tiba sesuatu menimpa
Azura berjalan menyusuri lorong menara sihir yang cukup gelap.'Aku seperti berjalan di film horor,' decak Azura di dalam hati.Syuu. Cletak.Hembusan angin yang kencang, berhasil membuka paksa jendela usang di sisi lorong."Tanpa permisi." Gumam Azura sambil melihat jauh ke luar jendela.Prak. Prak.Langkah kaki perlahan mendekati Azura."Elizabeth, apa kabar?" tanya Azura."Saya sungguh terpukau. Kau menyadari kehadiranku dengan cepat."Azura tersenyum tipis, lalu ia pun berbalik dan menatap Elizabeth."Bukankah kita teman?" seloroh Azura.Elizabeth tersenyum kecil, lalu ia memejamkan matanya beberapa saat."Kau belum menjawab pertanyaanku loh." Ucap Azura sambil berdekap tangan."Kabarku baik. Bagaimana denganmu?" Tanya Elizabeth sambil menatap nanar mata Azura."Aku baik. Meskipun beberapa kali berada di ambang kematian." Jawab Azura sambil menatap pemandangan di luar jendela."Syukurlah jika begitu," ujar Elizabeth.Puk. Puk."Jika kau mati, mungkin Guru akan depresi." Sambung El
"Memangnya kenapa aku tidak boleh ikut dalam misi itu?" Tanya Azura sambil menatap Pangeran Elzenath dengan tajam."Hola, semua!" Sapa Laurel dari kejauhan yang berhasil memecah suasana."Cih," desis Pangeran Elzenath."Kalian sedang bicara apa? Sepertinya asik sekali?" Tanya Laurel sambil merangkul pundak Pangeran Elzenath."Kau ini, datang di saat yang tidak tepat!" Decak Pangeran Elzenath sambil mengepalkan kedua tangannya."Loh, emang iya?""Pake nanya lagi!" bentak Pangeran Elzenath."Hue he he, maaf ya. Aku tidak tahu." Sahut Laurel sambil tertawa kecil."Kenapa kalian bekerja sama untuk mencegahku menjalankan misi dari Guru La Gramarye?" tanya Azura dengan tegas."Ho ho ho, misi apa? Memang si Kakek tua itu memberikanmu misi apa sih? Aku saja ti-.""Diam!" potong Azura.Laurel langsung terdiam."Aku tidak ingin basa-basi. Aku butuh kepastian! Mengapa kalian bekerja sama mencegahku menjalankan misi itu? Apa kalian memandangku dengan lemah? Apa menurut kalian, aku tidak mampu men
"Sudah lama ya kita tidak duduk berdua seperti ini," ucap Azura."Yah kau saja yang terlalu sibuk." Sahut Elenio, lengkap dengan senyum sinisnya."Aku ada tugas misi, mau bagaimana lagi.""Tapi kau hebat, Azura," puji Elenio.Azura lantas menoleh dan menatap Elenio. "Hebat kenapa? Kau bicara apa, Elen?""Iya, kau sangat hebat tau!" Tutur Elenio sambil menganggukkan kepalanya."Mana ada," gumam Azura."Kau hebat, Azura. Aku mohon kau jangan menyangkal itu.""Sekarang, coba jelaskan, aku hebat karena apa?""Banyak hal yang kau lalui. Kau juga hebat bisa mengalahkan banyak iblis," jawab Elenio."Hah." Azura menghela napasnya sejenak.Syuuu.Pepohonan bergoyang diterpa semilir angin."Aku berkali-kali hampir mati. Perutku saja sampai bolong," ucap Azura."Bo-b-b-bolong?!" Elenio terkaget setelah mendengar perkataan Azura.Azura menganggukkan kepalanya dengan cepat. "Iya bolong, perlu aku tunjukkan?""Mana? Aku mau lihat!""Tidak boleh!" larang Azura."Cih, tadi kau menawarkan.""Aku perem
Azura berjalan di bawah lampu kota. Udara dingin menyeruak menembus jaket hitam gadis berambut sebahu itu.“Hah, kalau bukan stok makanan habis, aku tidak akan keluar apartemen seperti ini,” gumam Azura.Tring.Dering ponsel seketika memecah kesunyian malam.[“Halo, Bu.”] Salam Azura dengan hangat setelah mengangkat telepon.[“Kau ini! Sampai kapan kau akan menghabiskan uangku? Bukankah seharusnya kau bekerja? Berhentilah menjadi beban keluarga!”] Telinga Azura seketika berdenging mendengar suara lantang dari balik telepon.“Hah.”Sejenak, Azura menghela napas sambil menjauhkan ponsel dari telinganya.[“Hei kau! Kau tidak bisu, kan? Jawablah!”][“Iya, Bu. Tolong maafkan aku.”][“Maaf, maaf. Kau pikir aku ini apa? Pokoknya aku tidak ingin mendengar alasan lagi! Cepatlah mencari pekerjaan atau kau akan menjadi gembel di jalanan!”][“Iya Bu, a-.”]Tut, tut, tut. Belum sempat ia menjawab, panggilan telepon tersebut telah terputus. Azura memijit keningnya seraya menghembuskan napas berat.
“Sebelum kau menggunakan sihir, kau harus tahu dua hal, yaitu mana dan power,” ucap Camaro. “Hm hm.” Azura menganggukkan kepala sambil menyantap semangkok mi yang terhidang di batok kelapa. “Ketika kau menggunakan sihir, kau harus pertimbangkan seberapa besar power sihir itu dan seberapa banyak mana yang dipakai,” ujar Camaro. “Slurp.” Azura hanya menganggukkan kepala sambil menyeruput kuah mi. Gubrak! Tiba-tiba sebuah tendangan mengarah kepada Azura, hingga membuatnya terjungkal. “Hei Camaro, apa yang kau lakukan?” tanya Azura dengan penuh emosi. “Kau! Mengapa kau hanya sibuk makan? Padahal aku sedang memberi pelajaran kepadamu!” jawab Camaro. “Y-ya, aku lapar,” sahut Azura. “Lapar, lapar. Seharusnya kau pikir, ketika aku menjelaskan, berhenti dulu makannya!” seru Camaro. “Hah.” Azura menghela napasnya. Dia kemudian duduk dan menatap Camaro dengan serius. “Baiklah, kali ini aku akan memperhatikanmu,” ucap Azura. Camaro hanya terdiam menatap Azura dengan mata membulat sem
Glek!Azura tertegun saat melihat seekor burung camar asing di depannya.“A-a-ada du-dua?” tanya Azura terbata.‘Satu burung saja menyebalkan, lalu bagaimana aku menghadapi dua burung sekaligus?’ tanya Azura di dalam hati.“Hei Camari, kau mengangetkan saja,” ujar Camaro.“Hah? Camari? Tu-tunggu, kalian kembar?” tanya Azura.“Bisa dibilang begitu,” gumam Camaro.“Senang bertemu denganmu, Azura.” Kata Camari sambil tersenyum tipis kepada Azura.“Ya, senang bertemu denganmu juga,” sahut Azura.‘Aku harap Camari tidak begitu menyebalkan seperti Camaro,’ kata Azura di dalam hati.“Camari, mengapa kau tidak memberitahuku dulu sebelum datang ke sini?” tanya Camaro.“Aku ingin membuat kejutan saja hihi.” Jawab Camari sambil menutup mulut dengan sayap putihnya.“Oh begitu,” gumam Camaro.Azura menyilangkan kakinya sambil memperhatikan dua burung camar yang asik berbincang. Perlahan-lahan, darah yang menetes dari hidungnya terhenti. Lemas di tubuh dia juga semakin menghilang.“Azura, apa saja
Duar! Sebuah ledakan kecil terjadi. Sihir Azura berhasil mengenai satu pohon besar di depannya tanpa menumbangkan pohon tersebut. “Hah.” Azura menghela napasnya sejenak. ‘Tubuhku tidak lemas seperti tadi,’ kata Azura di dalam hati. “Hebat! Kau hebat Azura! Kau sudah bisa mengendalikan mana dan power sihirmu,” ujar Camari. “Itu semua karena kau, Camari.” Sahut Azura sambil tersenyum lebar. Camari menggelengkan kepalanya. “Tidak, itu semua karena kerja keras dan kemampuanmu.” Bruk! Azura seketika memeluk Camari. “Ah Camari, kau begitu lembut dan baik hati. Berbeda sekali dengan burung jantan yang super menyebalkan itu,” ucap Azura. “Hehe, terima kasih pujiannya,” seloroh Camari. “Woy Azura buruk rupa! Aku masih bisa mendengar kata-katamu ya!” teriak Camaro dari ketinggian. “Berisik kau burung gemuk!” Cibir Azura sambil melepaskan pelukannya. Aum! Tiba-tiba terdengar suara hewan yang familiar bagi Azura. “Camari, apa kau dengar sesuatu?” tanya Azura. Camari menganggukkan