Lintang menggeleng. Ia masih memegang lengan Satya kuat-kuat. Perutnya kembali bergejolak, tetapi tidak ada satu pun yang keluar dari mulut.“Salah makan?”“Nggak, Mas. Cuma nggak tahan sama bau sungainya saja.” Ia menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan.“Ya, sudah, ayo pergi. Kamu juga aneh-aneh. Ngapain pakai ke sini kalau nggak tahan bau busuk kayak gini.” Satya menarik tangan Lintang menjauhi bibir sungai lalu mengajak Lintang ke salah satu warung nasi liwet.“Kamu kecapekan, Lin. Kebanyakan begadang.” Satya menatap Lintang yang terlihat agak pucat. Mereka tengah berada di sebuah warung nasi liwet karena Lintang meminta minuman hangat. “Waktunya tidur buat tidur, jangan malah mantengin laptop.” Lintang meringis. Kalau sudah mengomel, Satya susah dihentikan. Bahkan Bulik Marni saja kalah karena perempuan yang merawatnya sejak kecil itu tidak pernah merepet. “Ngejar jadwal wisuda, Mas. Sayang kalau nggak bisa ikutan wisuda Agustus. Nanti kalau keburu ke Belanda, tert
Satya memainkan bolpoin di tangan. Bangkit dari keterpurukan tidak pernah mudah. Satya tahu itu. Ia hanya butuh stok sabar lebih panjang agar bisa melewati masa-masa sulit ini. “Lakukan saja terus. Nggak ada yang sia-sia dari sebuah usaha, kan?” ujarnya kemudian.Evan membenarkan ucapan Satya. Dipandanginya Satya lekat-lekat. Di depannya, Satya seperti Dewa Janus dalam mitologi Yunani. Ia bisa tampil memukau dengan kecerdasan dan analisis yang tajam. Di sisi lain, ketika penyakit iseng dan kekanakannya kambuh, ia terlihat sangat konyol dan absurd. Langit perlahan berubah warna ketika Satya mengakhiri pembicaraan dengan Evan. Sunyi menyelimuti pabrik. Tinggal mereka berdua, satpam, dan Laras yang tersisa. “Kamu nggak bareng Evan saja, Ras. Bentar lagi gelap.” Satya menatap Laras yang baru saja keluar dari ruang kerjanya dengan langkah tergesa. “Saya bawa motor, kok, Pak.” Laras meringis. “Ya tinggal saja motornya. Besok bawa pulang kalau nggak lembur.” “Besok gimana saya berangkat
Perempuan berwajah tegas itu memandang Satya lekat-lekat. Ia bisa menangkap raut khawatir sekaligus kesal di wajah Satya. “Tapi, lupakan dulu soal itu,” ucapnya kemudian. “Posisi saya sekarang ada di pihak Anda. Maka saya akan membantu Anda keluar dari masalah ini sesuai aturan yang ditetapkan pemerintah.” Prof. Kathrina menyodorkan bundel berisi salinan undang-undang lingkungan hidup dan menjelaskan kesalahan apa saja yang sudah dilakukan Hadikusumo Group. Setelah itu, Prof. Kathrina memutar layar monitor sehingga mereka bertiga bisa melihat gambar yang tersaji di sana. “Anda lihat gambar ini?” Bolpoin di tangan Prof. Kathrina menunjuk bagan instalasi pengolah limbah. “Hanya ini solusi Anda lepas dari gugatan mereka.” Kedua mata Satya mengikuti pergerakan bolpoin. Lalu, tatapannya terkunci pada gambar di layar monitor. Selama beberapa detik ia terdiam sementara sel-sel kelabu di kepala berusaha sekuat tenaga mencerna kotak-kotak dan keterangan di bawahnya. “Anda harus membangun
Ucapan Satya terbukti. Pijatannya membuat Lintang nyaman dan rileks. Perlahan matanya terpejam. Ia sempat terjaga sebentar ketika pijatan suaminya terhenti dan tubuh Satya sudah berada di sampingnya sembari melengkungkan bibir.Lintang membalas senyum sang suami. Kedua mata mereka bertemu pandang. Lintang selalu menyukai pendar pada bola mata Satya. Lalu, dibiarkannya lelaki itu mengecup lembut kening dan pipinya. Ia pun terlelap dalam pelukan Satya.Lelah dan banyak pikiran membuat Satya juga tertidur. Meski tidak lama karena alarm ponselnya berbunyi dan menariknya untuk segera membuka kelopak mata. Bibirnya membentuk bulan sabit kala melihat Lintang yang tidur dengan wajah damai.Satya menyibak rambut-rambut halus yang menutupi paras manis Lintang lalu mengecup dahinya. Perlahan digesernya kepala sang istri dari atas lengannya. Sebentar lagi waktu asar dan ia harus segera kembali ke Yogyakarta. Perlahan Satya beringsut dan turun dari ranjang. Diambilnya handuk lalu membersihkan dir
Satya menekuri draft gugatan Konsorsium Peduli Lingkungan Kota Solo. Deretan huruf di atas kertas itu seperti barisan semut merah yang siap mengerubungi dan menggigit tangannya. Lelaki itu menarik napas dalam, memasukkan sebanyak mungkin oksigen ke dalam paru-paru, lalu mengembuskannya perlahan. Baru kali ini ia meluangkan waktu untuk membacanya. Istilah-istilah hukum yang bertaburan di naskah itu membuat dahinya berkerut dan saraf-saraf otaknya seperti tersengat listrik tegangan tinggi. Aroma Arabica Gayo yang meruah dari cangkir-cangkir di atas meja tidak sanggup meredam kecamuk batinnya. “Jadi, kita akan mendengar tuntutan jaksa pada sidang hari pertama?” Satya mengonfirmasi agenda yang tertera pada surat panggilan untuk mengikuti persidangan. “Dan saya langsung duduk di kursi terdakwa?” Ada yang nyeri di hati ketika kalimat itu meluncur dari bibirnya. Terdakwa, pesakitan, dua kata yang membuat Satya seperti terlempar ke sudut jalan seperti sampah tak berguna. Ia semakin menggele
Satya menarik tangannya seraya menatap heran Lintang. “Ini ronde paling enak, lho. Masa kamu nggak mau ngabisin?”Gelengan Lintang menjawab pertanyaan Satya. Bukan ia tidak suka, melainkan perutnya tidak bisa diajak kompromi. Daripada apa yang sudah masuk harus keluar lagi, lebih baik ia berhenti makan. “Aku sudah kenyang. Mas Satya saja yang ngabisin.” “Lah, belum juga separuh?” Satya menggaruk kepala. “Siapa tahu bayinya masih pengen. Ntar dia ngiler gimana?”Lintang tersenyum geli. “Buat Papa saja katanya.”“Nggak percaya. Pasti dia masih pengen.” Satya meletakkan mangkuk di meja lalu mendekatkan kepala ke perut Lintang. “Kamu masih pengen, kan, dek?”“Pokoknya Mas Satya saja yang ngabisin.” Lintang mulai merajuk.Satya mengangkat kepalanya lalu menggeleng. Setiap kali Lintang meminta makanan tertentu, istrinya hanya makan beberapa suap dan setelahnya ia yang harus menghabiskan. “Kalau kayak gini terus, bisa-bisa yang hamil kamu, yang melar badannya aku.” Ambyar sudah dietnya se
Hening sejenak. Pandangan kedua lelaki itu saling bertemu. “Aku tidak tahu,” ujar Satya menyandarkan tubuh di kursi. Matanya menatap langit-langit ruang makan seolah penawar gundah yang meraja ada di sana. Evan mengganjur napas. Suasana pagi yang hangat mendadak sendu. Ia menyesal telah memulai pembicaraan tentang persidangan hari ini. Seharusnya ia memilih topik pembicaraan lain agar tidak memperburuk suasana hati Satya. “Sudah setengah delapan. Ayo berangkat.” Satya bangkit dan beranjak masuk ke kamar. “Beneran aku nggak boleh ikut?” Lintang menatap Satya lamat-lamat ketika suaminya berada di dalam kamar untuk mengambil tas kerja. “Aku akan baik-baik saja. Aku sudah pernah mengikuti persidangan seperti ini.” Lintang berusaha meluluhkan hati Satya. Selarik senyum terbit di wajah Satya. “Aku belum mengubah keputusan.” Ia memangkas jarak dan duduk di tepi ranjang. “Doamu sudah cukup menyertaiku.”Sekian detik keduanya disergap sunyi, sibuk dengan kecamuk pikiran masing-masing. Sa
“Berdasarkan bukti-bukti yang ada, Saudara Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melanggar Undang-Undang nomor 23 tahun 2007 dan melakukan kejahatan lingkungan berat.” Mulut Satya terbuka lalu tertutup. “Kejahatan lingkungan berat”, kalimat itu seperti tusukan ribuan jarum, berdengung di kepala seperti dengungan ribuan lebah.“Oleh karena itu, kami meminta majelis hakim yang terhormat menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama sepuluh tahun, wajib membangun instalasi pengolah limbah yang memadai sehingga menghasilkan limbah yang memenuhi standar baku mutu dan aman bagi lingkungan, serta membayar denda sebesar lima milyar rupiah.” Embusan napas berat Satya mengapung di udara. Bayangan tubuhnya meringkuk di balik jeruji besi berkelebat cepat di rongga mata. Hatinya serasa diremas hingga lumat kala menyadari tidak akan melihat anaknya lahir dan tumbuh besar. Sepuluh tahun, bukan waktu yang singkat untuk dijalani sebagai pesakitan. Sanggupkah ia