Diara kemudian mengedarkan pandangan. Pertokoan yang belum begitu tinggi, dengan ciri khas bangunan peninggalan zaman penjajahan, dilihatnya. Polusi udara belum seburuk di tahun 2024.
"Sayang.. kau baik-baik saja?" Diara mengerutkan dahi. Memasang ekspresi jijik. "Ugh, aku tidak terbiasa dengan panggilan itu. Bisa kau panggil namaku saja?" Tomi menatap Diara bingung. "Kau, sungguh tidak apa-apa?" Diara mendesah singkat. "Berapa kali harus aku katakan—aku baik-baik saja." "Tapi, kau paling benci jika di panggil nama saja." "Oh, sungguh?" Diara tetap memasang wajah jijik. Tomi mengangguk. "Ayo kita cepat pergi dari sini. Sebelum, mereka datang kembali." Tomi meraih tangan Diara, yang kemudian ditolak mentah-mentah oleh Diara. "Ki-kita jalan sendiri-sendiri saja." "Kau, sungguh aneh sore ini." Keduanya pun berjalan berjauhan. Diara ada di belakang Tomi. "Kau, tidak lapar?" tanya Tomi, sedikit menengok pada Diara. Dengan kedua tangan, yang di masukkan pad saku celananya. "Tidak." Seketika, gemuruh perut Diara terdengar. Tomi terkekeh. "Perutmu berkata lain, Sayang. Ayo kita makan dulu." "HEI! Sudah aku katakan—jangan panggil aku seperti itu!" "Lalu? Aku harus memanggilmu dengan sebutan apa?" "Panggil saja namaku." "Aah, tidak menarik." Tomi menghentikan langkah. Berbalik, menghadap Diara. "Baiklah. Aku akan memanggilmu dengan sebutan ini saja." "Apa?" "Kekasihku." Diara mendesah kesal. "Cepat jalan. Kalau tidak, aku buat hidungmu berdarah!" Tomi meringis. Menunjukkan sederet giginya yang kecil. ** Mereka tiba di salah satu pusat perbelanjaan terkenal di masanya. Berdiri di sebuah tempat makan, yang menyediakan makanan cepat saji dengan berlogo M. Dengan ikon badut berbaju kuning merah. "Kau, pasti bahagia, kan?" tanya Tomi, tersenyum bangga. Berkacak pinggang. Sementara, Diara melongo. "Kita akan makan di sini?" Tomi mengangguk. "Kau, pasti belum pernah makan di sini, kan?" Kini giliran Diara yang meringis. "Hehe. Sudah sering." "Hah? Dengan siapa kau kemari?! Katakan! Siapa laki-laki itu?!" Tomi melotot ke arah Diara, yang akhirnya membuat pukulan mendarat di kepalanya. "Jangan berisik! Ayo cepat masuk." Diara berjalan terlebih dahulu. Sementara Tomi mengusap-usap kepala belakangnya. "Gadis itu, aneh sekali hari ini." ** "Kau, cari tempat duduk saja. Biar aku yang mengantre. Kau, mau apa? Di sini.. yang paling hits itu-" "Burger keju. Dan, kola. Jangan lupa, kentang goreng." Tomi bernapas cepat. Mengerucutkan bibirnya kesal. "Kau, sungguh sudah pernah ke sini rupanya! Padahal, ini baru saja di buka beberapa bulan yang lalu." Diara mendesah kesal. "Bisa tidak? Kau, berhenti menggerutu? Huh? Aku sudah lapar sekali!" Tomi pergi, tanpa menjawab. Dengan hentakan kaki yang kesal, tentunya. Diara menggelengkan kepala, melihat tingkahnya. "Kasihan sekali, yang menjadi kekasihnya di masa depan." Lantas, Diara mengedarkan pandangan. Dan, menemukan kursi kosong, di dekat jendela. Tepat, lurus dari tempatnya berdiri. Saat Diara baru melangkahkan kaki—seseorang berjaket hitam, tak sengaja menyenggol dirinya. "Aduh." Diara hampir terjatuh, jika saja keseimbangan tubuhnya tidak di pertahankan. Tubuhnya hanya terbungkuk saja. Sehingga, dapat melihat sepasang sneaker yang di kenakan oleh seseorang itu. "Maaf," kata seseorang itu, yang ternyata laki-laki. Namun, wajahnya tak terlihat. Karena, tertutup tudung jaket. "Oh, iya. Tidak apa-apa." Diara kembali berjalan. Dan, duduk di kursi yang sudah di pilihnya tadi. Sekitar 20 menit kemudian, Tomi datang membawa nampan yang berisi 2 burger, 2 kola, dan 2 kentang goreng. Tomi meletakkan nampannya, di atas meja. "Beruntung sekali, kau. Sering menikmati makanan mahal seperti ini." Diara mengambil burgernya. Membuka bungkusnya. "Memang, berapa harga burger di tahun ini?" "2.000 rupiah." Bola mata Diara membeku. Menatap Tomi. "Kenapa? Terkejut, kan? Sangat mahal." "Hei, 2.000 rupiah itu adalah harga parkir di toserba di tahunku." "Hah? Toserba mana? Yang besar itu?!" "Ah, di tahun ini belum ada toserba kecil, ya?" Tomi mengernyitkan dahi. "Kau, seperti dari dunia lain saja. Kenapa, sejak tadi kau bilang tahun ini—tahunmu. Memang, kau berasal dari tahun berapa? 2024? Huh?" Diara melebarkan matanya. "Bagaimana kau tahu?" Tomi mendengus. "Kau, sudah tidak waras, Sayang." "Tomi!" "Oh, aku lupa. Maksudku—Kau Sa—Ke— ah! Kenapa begitu sulit?! Sudahlah, Sayang itu sudah sangat tepat!" "Panggil namaku!" "Katamu, kau benci namamu. Karena itu, aku tidak mau memanggil namamu." Diara mendesah singkat. "Kita makan saja." ** "Ah, kenyang sekali," kata Tomi. "Memang, juara tempat ini." "Jadi, kita kemana sekarang?" tanya Diara. Kembali mengedarkan pandangan, pada jalan raya, yang hampir di dominasi oleh Jeep dan Sedan. "Kemana lagi? Kita pulang, tentu saja." "Kau, bawa kendaraan?" "Tentu saja. Tunggu sebentar." Tomi berjalan semakin mendekat jalan raya. Menatap lurus di kejauhan. Dan, merentangkan tangannya ke samping. Kemudian, melakukan gerakan seperti memanggil seseorang dari kejauhan. Sebuah angkutan umum, yang memiliki kernet berhenti. Diara mendengus. "Jadi, ini kendaraan mu?" gumamnya. "Ayo cepat masuk," ajak Tomi, dengan senyuman. Diara berjalan mendekati angkutan. Sedikit membungkukkan badan. Dan, duduk di deretan paling belakang. Di mana, tepat di depannya adalah seorang ibu-ibu, yang memicing tajam ke arah Diara. Sembari, memperbaiki selendang hijaunya. Diara tersenyum kepadanya. "Anak muda zaman sekarang, pakaiannya pendek sekali. Awas masuk angin!" gerutu Ibu itu. Diara hanya terkekeh kikuk. "Abaikan saja. Mungkin, masa mudanya tidak menyenangkan dulu," kata Tomi. Duduk di sebelah Diara. Selanjutnya, dalam perjalanan di angkutan umum, mereka banyak diam. Tak bersuara. Satu persatu, penumpang turun di tempat tujuannya. Menyisakan Diara dan Tomi. "Pak, pohon besar di depan berhenti, ya?" kata Tomi, pada kernet. Sepersekian detik kemudian, angkutan menghentikan lajunya. Tomi turun terlebih dulu. Diara menyusul. Angkutan pun kembali melaju. Meninggalkan asapnya yang mengepul di belakang. "Sudah sampai," kata Tomi. "Huh? Sampai di mana?" "Kepalamu terbentur sesuatu? Kenapa, kau tidak ingat rumahmu?" "Rumahku?" Tomi mendesah singkat. Berjalan mendekati Diara. Menutup jarak di antara mereka. Memegang kepala Diara dengan kedua tangannya. Dan, menengokkan kepala Diara ke sebelah kiri. "Itu rumahmu." Diara melihat rumah berpagar hitam, dengan banyak pohon dan bunga di depannya. "Aah, i-iya. Hehe." "Cepat masuk. Hari mulai gelap." Tomi mundur selangkah. "Lalu, bagaimana kau akan pulang? Apa masih ada angkutan umum yang lewat?" Tomi tersenyum. "Ternyata, kau masih mengkhawatirkan kekasihmu ini." "Ah, salah bicara aku rupanya." "Hehe. Tenang saja. Aku bisa jalan kaki." "Hah? Jalan kaki? Sungguh? Apa, perlu kita tunggu taksi saja?" Tomi kembali mendekati Diara. Kali ini, ia memegang kedua bahu Diara. "Tidak, Sayang. Uang terakhirku, cukup untuk membayar angkutan umum tadi. Ini sebagai bukti, jika aku sangat mencintaimu." "Aish, kenapa baru bilang?" Diara merogoh kantung celananya. Kemudian, mendesah singkat. Tomi terkekeh. "Kau, mau memberiku uang?" "Tadinya. Tapi, aku tidak punya." "Haha. Kau, unik sekali hari ini. Sudah, cepat masuk. Nanti, ibumu marah lagi." "Aku akan melihatmu pergi dulu." "Ah, begitu?" Diara mengangguk. "Hati-hati di jalan. Jangan lupa tele-" "Ah, benar.. ponsel belum terkenal di tahun ini," kata Diara dalam hati. "Telepon rumahku, ya?" "Baiklah. Aku pergi." Diara mengangguk. Sembari melambaikan tangan. Tomi berbalik badan. Berjalan. Kemudian berbelok ke kiri. Membuka pagar putih, yang ada di balik pohon besar. Diara mengernyitkan dahi. Berlari mendekatinya. "Ini.. rumahmu?" Tomi mengangguk. Diara mendesis kesal. Memukul kepalanya berulang. "Seharusnya, kau bilang dari tadi, bodoh! Aku sudah merasa kasihan padamu." "Aish! Ada apa denganmu?! Kita sudah bertetangga sejak kita SMP!" Diara diam. Menelan ludah gugup. "Maaf, aku lupa." Mungkin lebih tepatnya, Diara memang tidak tahu. "Aku masuk dulu!" pungkas Tomi. Mendorong pagar masuk ke dalam. "Mmm.. Tomi.." "Ada apa lagi?" "Oh, aku tahu mungkin ini terdengar aneh bagimu. Tapi—bisakah kau beritahu siapa namaku?" Tomi mendesah singkat. Mundur selangkah. Menghadap Diara. "Kau, benar-benar bertanya? Atau, hanya memancingku? Agar kita bertengkar?" "Tidak. Sungguh, aku ingin tahu siapa—namaku." Tomi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Mendesah singkat. "Ranti." Diara membeku saat mendengar nama itu. "Ranti?" Tomi mengangguk. "Jadi—kau adalah Ayahku?"Ranti. Nama itu tidak asing bagiku. Apalagi di tahun 1991 ini. Ingatanku terhenti, di satu adegan—di mana Ibu panti asuhan mengatakan, satu-satunya yang aku ketahui dari Ibumu adalah namanya. Ranti. Ya, itu tertulis di surat pendek di kardus tempatku ditemukan. Tidak banyak kalimat yang ditulis Ibuku.Beri nama dia Diara.Hanya itu saja. Well, dari situ aku paham. Betapa tidak berartinya aku untuk Ibuku. Satu-satunya pemberian darinya adalah nama. Bukankah itu tidak berarti? Seharusnya, dia juga memberiku kasih sayang. Kenapa ia membuang ku? Ah, otakku.. kenapa memikirkan kembali masalah tidak penting itu.Kali ini, ada yang lebih penting, yang harus di pikirkan. Jika di tahun 1991 ini aku adalah Ibuku. Dan, pemuda mirip Randy ini adalah kekasihku. Jadi, dia..."Kau—adalah Ayahku?"Kernyitan nampak di dahi Diara.Tomi mendengus. Berkacak pinggang. Berjalan cepat ke arah Diara. Menyentil dahi Diara dengan jari telunjuknya. Membuat Diara sedikit tersentak."Kau, salah makan hari ini. Ap
"Cepat masuk kamar sana," kata Maya, sembari mendorong asap rokok keluar dari mulutnya.Diara masih di tempatnya. Melihat 3 pintu yang ada di ruangan itu. Harus bisa menebak, mana kamar milik Ranti. Jaga-jaga, mungkin saja kalau dia salah kamar, Maya akan tahu, kalau dirinya bukan Ranti.Pintu nomor 1 ada di sebelah kanan Diara. Ada beberapa stiker yang menempel di pintu. Ular kobra. Merek Kaos terkenal di Yogya. Anak kecil bertopi merah dengan unjuk jari tengah. Gadis dengan tulisan Yang cakep, duduk di muka ( Dekat Mas Sopir ). Logo manajemen musik terkenal pada zaman itu.Diara tersenyum penuh percaya diri melihatnya."Pasti yang ini kamarku," katanya dalam hati.Melihat stiker-stiker pada zaman itu, membuatnya yakin. Karena 1 pintu yang lain polos. Tidak ada stiker apapun. Dan, pintu sebelahnya memiliki tirai kerang yang menjuntai ke bawah. Diara berjalan ke arah pintu ber-stiker tersebut. Memegang gagang pintu."Kau, mau tidur di kamarku?" Tanya Maya.Diara menegang. Berbalik ba
"Kau dan Ibumu itu seperti air dan minyak," kata Tomi."Kata Ibuku.. dia sangat bahagia saat mengandung. Dia selalu datang ke rumahku. Dan, membanggakan bagaimana cantiknya dirimu nanti ketika lahir. Terlihat, dia akan menjadi Ibu yang penyayang. Tetapi, semuanya berubah, saat Ayahmu tiba-tiba pergi dan tak pernah pulang ke rumah.""Ayahku pergi?"Tomi mengangguk."Semenjak itu, Ibumu jadi murung dan uring-uringan. Bahkan, ketika kau merengek kelaparan saja, dia abaikan. Beruntung, saat itu Ibuku datang ke rumahmu. Dan, akhirnya menolongmu. Yah, sejak saat itu kita mulai akrab dan secara tidak langsung Ibuku yang membesarkanmu, kan?""Oh? I-iya begitu. Hehe.""Kau selalu saja datang saat perutmu lapar. Dengan wajah sendu. Kusam. Seperti, tidak pernah mandi."**"3 tahun yang lalu? Memang, apa yang sudah terjadi?" Kata Diara dalam hati. Kernyitan bingung muncul begitu saja."Kau tidak ingat, Ranti?" tanya Tomi."Oh.. ten..tu saja aku ingat. Haha."Diara berdeham gugup selanjutnya."Hei
1991 "Apa mungkin, karena ini Tomi di bunuh?" kata Diara dalam hati. "Bisa aku lanjutkan sekarang?" tanya Tomi. "Mungkin, untuk sekarang aku ikuti saja semuanya," ucap Diara dalam hati. Diara hanya mengangguk. Meletakkan bingkai yang dibawanya sejak tadi, di meja. "Rima. Anak kelas 2. IPA. Rambut keriting. Kulit sawo matang. Tinggi 145 senti. Menghilang 7 hari yang lalu. Saat perjalanan pulang sekolah," jelas Tomi. "Orang tuanya sudah melapor?" tanya Diara. "Tentu saja. Polisi masih mencarinya. Penculik itu tidak pernah meninggalkan jejak," kata Haris. "Tidak ada saksi?" Kali ini Sinta yang bertanya. Tomi menggeleng. Diara menggerakkan bola mata perlahan. "Dia menghilang saat pulang sekolah. Itu sekitar pukul 13.00. Di sekitar jam itu kemungkinan jalanan sepi. Tapi, tidak menutup kemungkinan ada pemakai jalan yang lewat," ulas Diara. "Dia selalu pulang sendiri? Pakai motor?" Lanjut Diara. "Tidak. Angkutan umum. Lalu, turun di perempatan. Dan, jalan kaki. Angku
Pria paruh baya berambut putih pomade, agak gemuk. Setelan jas abu tanpa kusut. Sepatu hitam licin sekali warnanya. Melangkah, mendekati Diara. "Hmm.. apa kita pernah bertemu sebelumnya? Wajahmu.. tidak asing bagiku," kata pria paruh baya itu."Yeah. Mungkin, sekitar 20 menit yang lalu."Haris mengernyitkan dahinya."Tatapanmu sangat familiar bagiku. Well, mungkin saja kita pernah bertemu di suatu tempat."Diara menarik sudut bibirnya ke atas. Maju selangkah. Mendekatkan bibirnya ke telinga Haris."Aku.. datang dari masa lalu. Dengan pintu waktu. Bukan UFO," bisik Diara.Kalau kau benar dari masa depan, lalu dimana UFO-mu?Haris termenung sejenak. Kalimat itu muncul di benaknya begitu saja. Diara melangkah mundur."Aku adalah istri sah Hara. Aku tidak mengizinkan dia menikah sekarang.""Diara... Kita bicara di tempat lain, hm?" Hara meraih tangan Diara, yang segera di hempaskan."Tidak. Kita bicara di sini.""Diara, aku-""Kau pilih aku atau Mila?"Hara diam."Kau.. menghilang selam
"Mila! Kau, sudah tak waras?!" tukas Rendi."Kenapa kau jadi seperti ini, Mila?" tambah Selly."Dari awal, sifatnya memang seperti itu. Tak pernah berubah. Sangat licik," kata Diara.Mila mendengus."Tak perlu banyak bicara. Mau terima tawaranku atau tidak?""Kau, tidak perlu bertindak sejauh itu," kata Hara pada Mila."Jangan berpura-pura. Kau sudah merencanakan ini dengannya, kan? Aku benar-benar salah menilai mu! Uang.. bisa merubah sifat dan sikap manusia," kata Diara."Sekarang tahu, kan? Kekuatan uang itu tidak main-main." Mila menyombongkan diri."Kau terima atau tidak? Aku tidak punya banyak waktu!" lanjutnya.Diara diam sejenak."Diara.. kau tidak perlu meladeni dia. Aku dan Selly akan mencari jalan keluarnya," ucap Rendi."Rendi benar. Abaikan saja perkataan jalang itu." Buah simalakama. Jika ia tolak, maka nasib para anggotanya akan menyedihkan. Termasuk dirinya. Namun, jika ia terima hidupnya akan tamat. Mila akan memperlakukannya semena-mena.Diara mendesah panjang. Menu
"Kenapa kau tega? Kau tega melakukan hal itu?!" Bentak gadis berambut coklat panjang."Amanda, Dengarkan aku! Dengarkan penjelasan ku!" Sahut pemuda yang ada di depannya."Dia sahabatku, Bobby! Sahabatku!! Dan, kau? Kau adalah tunangan ku! Kenapa begitu mudahnya kau tidur dengannya?!""Itu sebuah kesalahan, Amanda!"Amanda mendengus. "Kesalahan? Hingga dia hamil, kau sebut itu kesalahan? Lalu, kau akan minta maaf padaku? Dan, berharap aku melupakan semuanya?""Aku akan menyelesaikan masalah ini. Kau jangan khawatir."Bobby membalik badan, berniat untuk pergi."Bagaimana caranya? Kau akan menggugurkan kandungannya? Kau akan membunuh darah dagingmu?""Itu masih janin!" Kata Bobby, seraya menghadap Amanda.Amanda kembali mendengus."Hanya janin? Wah, aku benar-benar tak menyangka.. lelaki yang ingin ku nikahi ternyata lebih busuk dari berton-ton sampah yang berada di tempat pembuangan!""Lalu, apa yang harus aku lakukan?!""Kenapa kau tanyakan itu padaku?!""Kau.. ingin aku bertanggung j
Aku tidak pernah menyangka, cerita yang aku tulis untuk dramaku, akan menjadi sebuah kenyataan. Cerita yang belum sempat aku selesaikan itu, menjadi bumerang bagi diriku sendiri. Benar, kata banyak orang. Jika ucapan adalah doa. Pun aku tak pernah menduga, jika itu semua benar-benar terjadi. Bedanya hanya satu. Mila.. Dia bukan sahabat baikku. Juga bukan teman dekatku. Kami.. Seperti ujung magnet yang sama. Saling bertolak belakang. Mila, yang membuatnya seperti itu. Entah, karena iri padaku. Entah, karena dia suka dengan Hara. Atau memang dia terlahir dengan watak seperti itu. Iri hati.Aku dan Hara sudah saling kenal sejak SMA. Semakin dekat, saat kami memutuskan untuk keluar dari kampus di tengah-tengah semester. Bukan karena bengal, tapi, karena kami tidak memiliki cukup biaya. Aku dan Hara di besarkan oleh panti asuhan yang berbeda. Aku tidak begitu paham, kenapa dia berakhir di panti asuhan. Mungkin karena ibunya, tidak mampu untuk merawatnya. Atau mungkin seperti aku, yang kela