Ranti. Nama itu tidak asing bagiku. Apalagi di tahun 1991 ini. Ingatanku terhenti, di satu adegan—di mana Ibu panti asuhan mengatakan, satu-satunya yang aku ketahui dari Ibumu adalah namanya. Ranti. Ya, itu tertulis di surat pendek di kardus tempatku ditemukan. Tidak banyak kalimat yang ditulis Ibuku.
Beri nama dia Diara. Hanya itu saja. Well, dari situ aku paham. Betapa tidak berartinya aku untuk Ibuku. Satu-satunya pemberian darinya adalah nama. Bukankah itu tidak berarti? Seharusnya, dia juga memberiku kasih sayang. Kenapa ia membuang ku? Ah, otakku.. kenapa memikirkan kembali masalah tidak penting itu. Kali ini, ada yang lebih penting, yang harus di pikirkan. Jika di tahun 1991 ini aku adalah Ibuku. Dan, pemuda mirip Randy ini adalah kekasihku. Jadi, dia... "Kau—adalah Ayahku?" Kernyitan nampak di dahi Diara. Tomi mendengus. Berkacak pinggang. Berjalan cepat ke arah Diara. Menyentil dahi Diara dengan jari telunjuknya. Membuat Diara sedikit tersentak. "Kau, salah makan hari ini. Apa kau kesurupan?" "Bukan begitu. Kalau, sekarang aku adalah Ranti—dan, kau pacar Ranti—maksudku kau pacarku, kau akan menikahi ku, kan? Dan, kalian akan memiliki anak?" "Wah, pemikiranmu sangat jauh, sayang. Mmm, aku belum terpikirkan itu, sih. Tapi, bisa di coba. Apa kita akan menikah sekarang? Atau.. membuat anak terlebih dahulu?" Kedua alis Tomi bergerak ke atas beberapa kali. Diara tentu saja mengernyit sembari menarik sudut bibirnya ke atas. "Kau, sudah gila?" "Kau, yang gila. Bagaimana bisa, anak SMA sudah kepikiran menikah." Kali ini, Diara terbelalak. "KITA MASIH SMA?" Tomi menarik dua sudut bibirnya ke bawah. Sorot matanya memancarkan rasa khawatir. Memeluk Ranti. "Pasti hari-harimu berat, ya? Ibumu.. terlalu sering memarahi mu, hm? Sabar, sayang. Masih ada aku di sini." Tomi melepaskan pelukan. Kedua tangannya berada di bahu Diara. "Aku akan selalu melindungi mu. Sampai kapanpun." Diara terkekeh bingung. "Kau, bilang tadi ibuku sering memarahiku? Kenapa? Ibuku sejahat itu?" Tomi menghela napas singkat. "Kalau kau ingin tahu, sekarang cepat masuk dan lihat sendiri." Diara mendorong pagar hitam yang tingginya hanya sampai di perutnya. Menengok ke belakang. Memandang Tomi yang melambai ke arahnya. Lantas, berjalan masuk. Semen berpetak di tapaki olehnya. Hanya itu saja yang ber semen. Sekitar 4 petak besar. Sisi kanan dan kiri hanya tanah dan rumput liar yang tidak begitu tinggi. Dua tangga lantai sudah di lewatinya. Pintu dengan cat cokelat tua—juga kaca panjang di tengah bingkainya, di pandangnya beberapa saat. Sebelum, ia mengetuk kaca perlahan. Menelan ludah kemudian. Sudah membayangkan betapa jahat wajah Ibunya. Atau, bisa ia panggil dengan sebutan Nenek. Gagang pintu berwarna perak abu, berbentuk lurus menyamping, bergerak ke bawah kemudian. Pintu terbuka. Terlihat seorang wanita berperawakan kurus. Bibir merah. Polesan di kelopak biru muda. Memakai dress bunga-bunga. Wajah yang teduh, bahkan terlihat sangat ramah bagi Diara. Bagaimana mungkin, seseorang yang terlihat anggun dan menawan ini memiliki watak yang mengerikan? "Nenek?" Wanita itu mendengus. "Hanya karena rambutku berwarna putih, kau berani memanggilku Nenek?" Suara kalem, tapi nada mengintimidasi membuat Diara merapatkan bibir. Sudah jelas, ia salah memanggil. "O-oh, Ma-maaf, Bu." Maya—Nama Nenek Diara, kini mengernyitkan dahinya. Membuka pintu agak lebar. "Cepat masuk!" Maya berjalan masuk. Diara mengikutinya. Lalu, berhenti tepat di depan meja kecil. Menatap Maya yang tengah duduk di sofa cokelat petang. Dari kulit sintetis. Sebungkus rokok dan korek api kayu, ada di atas meja. Korek api yang masih banyak di pakai pada tahun ini. Wadahnya dari kertas berbentuk persegi. Dua sisinya berwarna cokelat petang, bertekstur kasar. Sementara, bentuk koreknya adalah panjang dan kecil. Dengan kepala korek bulat yang warna dan teksturnya sama dengan dua sisi wadahnya. Tinggal gesekkan kepala ke sisi kasar wadah, api menyala begitu saja. Biasanya, anak-anak memainkan korek itu dengan di susun membentuk suatu benda. Bisa bentuk rumah, mobil dan lainnya. "Kenapa kau menatapku begitu?" Tanya Maya. "Dari mana saja kau? Petang begini baru pulang? Bukankah, kita sudah membicarakan soal jam main mu? Tidak boleh melebihi dari jam 17.00!" "Ah, ini yang di maksud Tomi?" Kata Diara dalam hati. Sambil memandang rambut Maya yang di gulung menjadi satu, seperti rambut Ibu kartini dalam gambar. "Kenapa kau senyum-senyum?" Maya menatap Diara yang tersenyum tipis. "Oh.. emm, aku.. aku.. Maaf." Maya tidak bisa berkata-kata. Sementara, Diara mengedarkan pandangan. Ternyata, Ibunya tak sekaya itu, juga tak semiskin yang ia kira. Rumahnya mungil. Di sebelah kanannya ada satu pintu. Sementara, beberapa langkah di depannya ada 2 pintu yang berdampingan. Juga dapur yang terlihat setengah dari tempatnya berdiri. Untuk hiasan juga tidak banyak. Jam dinding bulat besar. Ada di antara 2 pintu yang berdampingan. Lemari pajangan bersekat di sisi kiri Maya. Beberapa gelas antik. Guci-guci dengan ujung ramping yang kecil. Foto Maya di pigura. Foto Ranti ketika Bayi. Boneka-boneka kecil dari keramik bergaya pakaian Eropa. Laki-laki dan perempuan. "Sampai kapan kau akan berdiri di situ? Besok?" "A-ah, iya. Kakek—Maksudku, Ayah kemana?" Tanya Diara, sambil menengok ke arah Maya, yang tengah menyedot satu batang rokok. Well, cukup membuat Diara terbelalak. "Ayahmu? Kau, menanyakan Ayahmu? Kepalamu habis terbentur sesuatu? Atau.. kau mabuk dengan pemuda itu?!" "Tidak! Aku tidak pernah minum semacam itu!" "Lalu, kenapa kau menanyakan seseorang yang tidak pernah ada dalam kehidupanmu?" "Hah?" Segaris kernyitan yang sebelumnya nampak, berangsur menghilang. Perlahan mulai memahami kondisi dalam rumah ini. ** Diara dan Tomi sudah tiba di depan gerbang sekolah yang sudah tertutup rapat. "Aduh, telat lagi!" Gerutu Diara. "Motormu lambat banget jalannya!" Lanjutnya. Tomi mendesah singkat. "Sayang.. motor ini keluaran terbaru. Dan, ini mesinnya sudah paling bagus. Berat badanmu saja bertambah. Motorku jadi susah lari kencang." Diara berkacak pinggang. "Kau, mengatakan aku gendut?!" Tomi menutup mulutnya. Tahu betul, ia salah bicara. "Aku gendut???" "Sayang! Sudahlah. Mau kau gemuk atau kurus, yang pasti cintaku padamu itu tulus!" "Sudah aku katakan, jangan panggil aku sayang!" "Lalu? Aku harus memanggilmu apa? Brengsek?" Diara melebarkan matanya. Menatap Tomi geram. "Beraninya kau memanggilku seperti itu?" Tomi terkekeh takut. "Lalu, aku panggil apa?" "SAYANG!" Pekikan bahagia terdengar dari arah belakang Diara. Pelukan mendarat padanya, kemudian. Diara yang terkejut, segera mencengkeram tangan si pemeluk yang memakai gelang rajut warna-warni di pergelangan kiri. Menghempaskannya dengan kasar. Dan, menjauh dari seseorang tersebut. "Siapa kau?!" Diara yang semula memasang wajah marah, kini berganti terkejut. "Selly?" Gadis yang di panggil Selly itu merengut, sambil mengelus pergelangan tangannya. "Sayang.. kenapa kau kasar sekali?" "Selly, kenapa kau juga ada di sini? Dan, kenapa kau memanggilku sayang?" "Bukannya kau yang mau di panggil begitu? Kau, tidak suka dengan namamu." "Dengar, kan? Kau dengar sendiri dari Sinta, kan?" Celetuk Tomi. "Kenapa aku tidak suka dengan namaku?" "Entahlah! Kau tidak memberitahu kami apa alasannya!" Cetus Sinta. Rambutnya di kuncir kuda. "Ah, siapa Selly? Kenapa kau memanggilku dengan nama itu? Tapi.. namanya bagus juga. Nanti, anakku akan ku beri nama itu." Diara mendengus. "Ah, jadi kau akan jadi Ibunya Selly?" Gumamnya. "Dia agak aneh dari kemarin. Aku juga di panggilnya Rendy." "Wah, salah makan rupanya." "Sudah jangan berdebat lagi. Pikirkan bagaimana kita masuk ke dalam sekolah," pungkas Diara. Tomi dan Sinta saling pandang. "Sayang-" "Sinta.. panggil namaku saja. Tidak apa-apa. Aku risih sekali mendengarnya." "Kau, yakin?" Diara mengangguk. "Baiklah. Apa kau lupa? Memang hari ini, kita berencana bolos sekolah, kan?" "Hah? Kalian gila? Siapa yang memberikan ide itu?" "Kau," kata Sinta dan Tomi bersamaan. "Aku? Lalu, untuk apa kita bolos?" "Kita pergi ke tempat biasanya, tentu saja," jawab Tomi "Tempat apa?" "Pagi, Sayang!" Diara mendesah panjang. Memejamkan mata singkat. "Siapa lagi yang memanggilku dengan nama itu?!" Diara berbalik ke arah kirinya. Melihat pemuda keren dan macho berjalan ke arahnya. "Pagi, sayang," ulang pemuda itu. "Tu-Tuan Darel?""Cepat masuk kamar sana," kata Maya, sembari mendorong asap rokok keluar dari mulutnya.Diara masih di tempatnya. Melihat 3 pintu yang ada di ruangan itu. Harus bisa menebak, mana kamar milik Ranti. Jaga-jaga, mungkin saja kalau dia salah kamar, Maya akan tahu, kalau dirinya bukan Ranti.Pintu nomor 1 ada di sebelah kanan Diara. Ada beberapa stiker yang menempel di pintu. Ular kobra. Merek Kaos terkenal di Yogya. Anak kecil bertopi merah dengan unjuk jari tengah. Gadis dengan tulisan Yang cakep, duduk di muka ( Dekat Mas Sopir ). Logo manajemen musik terkenal pada zaman itu.Diara tersenyum penuh percaya diri melihatnya."Pasti yang ini kamarku," katanya dalam hati.Melihat stiker-stiker pada zaman itu, membuatnya yakin. Karena 1 pintu yang lain polos. Tidak ada stiker apapun. Dan, pintu sebelahnya memiliki tirai kerang yang menjuntai ke bawah. Diara berjalan ke arah pintu ber-stiker tersebut. Memegang gagang pintu."Kau, mau tidur di kamarku?" Tanya Maya.Diara menegang. Berbalik ba
"Kau dan Ibumu itu seperti air dan minyak," kata Tomi."Kata Ibuku.. dia sangat bahagia saat mengandung. Dia selalu datang ke rumahku. Dan, membanggakan bagaimana cantiknya dirimu nanti ketika lahir. Terlihat, dia akan menjadi Ibu yang penyayang. Tetapi, semuanya berubah, saat Ayahmu tiba-tiba pergi dan tak pernah pulang ke rumah.""Ayahku pergi?"Tomi mengangguk."Semenjak itu, Ibumu jadi murung dan uring-uringan. Bahkan, ketika kau merengek kelaparan saja, dia abaikan. Beruntung, saat itu Ibuku datang ke rumahmu. Dan, akhirnya menolongmu. Yah, sejak saat itu kita mulai akrab dan secara tidak langsung Ibuku yang membesarkanmu, kan?""Oh? I-iya begitu. Hehe.""Kau selalu saja datang saat perutmu lapar. Dengan wajah sendu. Kusam. Seperti, tidak pernah mandi."**"3 tahun yang lalu? Memang, apa yang sudah terjadi?" Kata Diara dalam hati. Kernyitan bingung muncul begitu saja."Kau tidak ingat, Ranti?" tanya Tomi."Oh.. ten..tu saja aku ingat. Haha."Diara berdeham gugup selanjutnya."Hei
1991 "Apa mungkin, karena ini Tomi di bunuh?" kata Diara dalam hati. "Bisa aku lanjutkan sekarang?" tanya Tomi. "Mungkin, untuk sekarang aku ikuti saja semuanya," ucap Diara dalam hati. Diara hanya mengangguk. Meletakkan bingkai yang dibawanya sejak tadi, di meja. "Rima. Anak kelas 2. IPA. Rambut keriting. Kulit sawo matang. Tinggi 145 senti. Menghilang 7 hari yang lalu. Saat perjalanan pulang sekolah," jelas Tomi. "Orang tuanya sudah melapor?" tanya Diara. "Tentu saja. Polisi masih mencarinya. Penculik itu tidak pernah meninggalkan jejak," kata Haris. "Tidak ada saksi?" Kali ini Sinta yang bertanya. Tomi menggeleng. Diara menggerakkan bola mata perlahan. "Dia menghilang saat pulang sekolah. Itu sekitar pukul 13.00. Di sekitar jam itu kemungkinan jalanan sepi. Tapi, tidak menutup kemungkinan ada pemakai jalan yang lewat," ulas Diara. "Dia selalu pulang sendiri? Pakai motor?" Lanjut Diara. "Tidak. Angkutan umum. Lalu, turun di perempatan. Dan, jalan kaki. Angku
Pria paruh baya berambut putih pomade, agak gemuk. Setelan jas abu tanpa kusut. Sepatu hitam licin sekali warnanya. Melangkah, mendekati Diara. "Hmm.. apa kita pernah bertemu sebelumnya? Wajahmu.. tidak asing bagiku," kata pria paruh baya itu."Yeah. Mungkin, sekitar 20 menit yang lalu."Haris mengernyitkan dahinya."Tatapanmu sangat familiar bagiku. Well, mungkin saja kita pernah bertemu di suatu tempat."Diara menarik sudut bibirnya ke atas. Maju selangkah. Mendekatkan bibirnya ke telinga Haris."Aku.. datang dari masa lalu. Dengan pintu waktu. Bukan UFO," bisik Diara.Kalau kau benar dari masa depan, lalu dimana UFO-mu?Haris termenung sejenak. Kalimat itu muncul di benaknya begitu saja. Diara melangkah mundur."Aku adalah istri sah Hara. Aku tidak mengizinkan dia menikah sekarang.""Diara... Kita bicara di tempat lain, hm?" Hara meraih tangan Diara, yang segera di hempaskan."Tidak. Kita bicara di sini.""Diara, aku-""Kau pilih aku atau Mila?"Hara diam."Kau.. menghilang selam
"Mila! Kau, sudah tak waras?!" tukas Rendi."Kenapa kau jadi seperti ini, Mila?" tambah Selly."Dari awal, sifatnya memang seperti itu. Tak pernah berubah. Sangat licik," kata Diara.Mila mendengus."Tak perlu banyak bicara. Mau terima tawaranku atau tidak?""Kau, tidak perlu bertindak sejauh itu," kata Hara pada Mila."Jangan berpura-pura. Kau sudah merencanakan ini dengannya, kan? Aku benar-benar salah menilai mu! Uang.. bisa merubah sifat dan sikap manusia," kata Diara."Sekarang tahu, kan? Kekuatan uang itu tidak main-main." Mila menyombongkan diri."Kau terima atau tidak? Aku tidak punya banyak waktu!" lanjutnya.Diara diam sejenak."Diara.. kau tidak perlu meladeni dia. Aku dan Selly akan mencari jalan keluarnya," ucap Rendi."Rendi benar. Abaikan saja perkataan jalang itu." Buah simalakama. Jika ia tolak, maka nasib para anggotanya akan menyedihkan. Termasuk dirinya. Namun, jika ia terima hidupnya akan tamat. Mila akan memperlakukannya semena-mena.Diara mendesah panjang. Menu
"Kenapa kau tega? Kau tega melakukan hal itu?!" Bentak gadis berambut coklat panjang."Amanda, Dengarkan aku! Dengarkan penjelasan ku!" Sahut pemuda yang ada di depannya."Dia sahabatku, Bobby! Sahabatku!! Dan, kau? Kau adalah tunangan ku! Kenapa begitu mudahnya kau tidur dengannya?!""Itu sebuah kesalahan, Amanda!"Amanda mendengus. "Kesalahan? Hingga dia hamil, kau sebut itu kesalahan? Lalu, kau akan minta maaf padaku? Dan, berharap aku melupakan semuanya?""Aku akan menyelesaikan masalah ini. Kau jangan khawatir."Bobby membalik badan, berniat untuk pergi."Bagaimana caranya? Kau akan menggugurkan kandungannya? Kau akan membunuh darah dagingmu?""Itu masih janin!" Kata Bobby, seraya menghadap Amanda.Amanda kembali mendengus."Hanya janin? Wah, aku benar-benar tak menyangka.. lelaki yang ingin ku nikahi ternyata lebih busuk dari berton-ton sampah yang berada di tempat pembuangan!""Lalu, apa yang harus aku lakukan?!""Kenapa kau tanyakan itu padaku?!""Kau.. ingin aku bertanggung j
Aku tidak pernah menyangka, cerita yang aku tulis untuk dramaku, akan menjadi sebuah kenyataan. Cerita yang belum sempat aku selesaikan itu, menjadi bumerang bagi diriku sendiri. Benar, kata banyak orang. Jika ucapan adalah doa. Pun aku tak pernah menduga, jika itu semua benar-benar terjadi. Bedanya hanya satu. Mila.. Dia bukan sahabat baikku. Juga bukan teman dekatku. Kami.. Seperti ujung magnet yang sama. Saling bertolak belakang. Mila, yang membuatnya seperti itu. Entah, karena iri padaku. Entah, karena dia suka dengan Hara. Atau memang dia terlahir dengan watak seperti itu. Iri hati.Aku dan Hara sudah saling kenal sejak SMA. Semakin dekat, saat kami memutuskan untuk keluar dari kampus di tengah-tengah semester. Bukan karena bengal, tapi, karena kami tidak memiliki cukup biaya. Aku dan Hara di besarkan oleh panti asuhan yang berbeda. Aku tidak begitu paham, kenapa dia berakhir di panti asuhan. Mungkin karena ibunya, tidak mampu untuk merawatnya. Atau mungkin seperti aku, yang kela
Diara kembali ke studio dengan wajah lesu. Mendesah singkat, sepanjang kakinya melangkah. Sementara, di dalam studio—para anggotanya sudah menunggu dengan cemas. Selly, yang berjalan mondar-mandir. Randy, yang menggigit kuku jari. Sisanya, duduk saling berdampingan. Dengan perasaan gelisah, tentunya.Melihat Diara masuk ke dalam studio—Selly dan Randy segera berlari kecil, ke arah Diara. Yang lain, berdiri."Bagaimana, Ra? Apa jawaban Tuan Darel?" tanya Selly.Diara mendesah pasrah. Selly dan Randy saling bertatapan."Jadi, dia sungguh ingin mencabut sponsor dari kita, Ra?" kini Randy, yang bertanya.Diara mengangguk. Desahan singkat terdengar bersahutan."Apa alasannya?" tanya Selly."Kita berkumpul dulu di panggung."Para anggota duduk, bersilang kaki di lantai kayu. Pun, dengan Diara."Tuan Darel—adalah kakak kandung dari Mila."Para anggota terkesiap. Saling berbisik satu sama lain."Mila—anggota teater kita? Mila, yang selingkuh dengan Hara? Benar dia?" tanya Selly, dengan nada t