"Cepat masuk kamar sana," kata Maya, sembari mendorong asap rokok keluar dari mulutnya.
Diara masih di tempatnya. Melihat 3 pintu yang ada di ruangan itu. Harus bisa menebak, mana kamar milik Ranti. Jaga-jaga, mungkin saja kalau dia salah kamar, Maya akan tahu, kalau dirinya bukan Ranti. Pintu nomor 1 ada di sebelah kanan Diara. Ada beberapa stiker yang menempel di pintu. Ular kobra. Merek Kaos terkenal di Yogya. Anak kecil bertopi merah dengan unjuk jari tengah. Gadis dengan tulisan Yang cakep, duduk di muka ( Dekat Mas Sopir ). Logo manajemen musik terkenal pada zaman itu. Diara tersenyum penuh percaya diri melihatnya. "Pasti yang ini kamarku," katanya dalam hati. Melihat stiker-stiker pada zaman itu, membuatnya yakin. Karena 1 pintu yang lain polos. Tidak ada stiker apapun. Dan, pintu sebelahnya memiliki tirai kerang yang menjuntai ke bawah. Diara berjalan ke arah pintu ber-stiker tersebut. Memegang gagang pintu. "Kau, mau tidur di kamarku?" Tanya Maya. Diara menegang. Berbalik badan. "Oh..." Diara memutar pelan bola matanya. "STIKER!" Pekiknya. "Hah?" Maya mengernyitkan dahi. "Aku tertarik dengan stiker di pintu ini. Wah, bagus-bagus. Ibu membelinya di mana? Hehe," pungkasnya. Sembari mengusap-usap stiker tersebut. "Itu semua milikmu. Aku mengambilnya dari kamarmu." Diara melebarkan mata. Merapatkan bibir. Mendesis pelan. "Ah, benarkah? Pantas saja, seperti pernah melihatnya. Haha." "Kau.. benar tak mabuk, kan?" "Tidak, Bu. Sungguh." Diara menggoyangkan telapak tangannya dengan cepat. "Kamarmu di sebelah sana." Maya menunjuk 2 pintu berdampingan itu dengan kepalanya. Diara bergegas melangkah ke arah pintu itu. Menghembuskan napas panjang, ketika jaraknya sudah dekat. "Jangan sampai salah lagi. Aku mohon," gumamnya. "Tirai kerang itu.. di mana kau membelinya?" Tanya Maya. Diara menengok. "Tirai kerang untuk kamarmu itu.. di mana kau membelinya?" "Oh.. itu.. di-" "Lain kali, belikan aku yang seperti itu." Diara mengangguk. Tersenyum girang. Karena tanpa menerka-nerka lagi, dia sudah tahu, kamarnya adalah yang pintunya terpasang tirai kerang. Poster-poster tertempel di dinding. Penyanyi. Anggota band. Bahkan, aktor luar negeri pun ada di kamar Ranti. Meja belajar kayu yang kecil. Ada radio hitam dengan pengeras suara bulat di dua sisinya. Antena yang saat ini pendek. Bisa di panjangkan, saat mencari frekuensi stasiun radio. Di belakang radio, tertata rapi kaset-kaset dari beberapa penyanyi grup dan solo tanah air. Diara mengambil salah satu kaset penyanyi grup yang terbentuk dalam sebuah band, dan seluruh personilnya adalah bersaudara. Awal muncul tahun 1968. Dan, meluncurkan album di tahun 1969. Volume 2. Yang di pilih Diara. Dengan lagu andalan Andaikan kau datang kembali. Kebetulan, itu adalah lagu favoritnya. Ketukan drum yang halus terdengar kemudian. Diara mengedarkan pandangan. Tidak ada yang spesial dari kamar Ibunya. Lemari pakaian di sebelah ranjang kayu. Dengan kasur kapuk merah muda tanpa sprei. Diara menyunggingkan senyum. Duduk kemudian, di atas kasur. "Ternyata, kebiasaanku tidur tanpa memakai sprei itu dari Ibu," gumamnya. Dari tempatnya duduk, ia melihat seragam putih abu, tergantung di balik pintu. Di sebelahnya ada tas serut hitam yang bisa dipakai Ranti sekolah. Seperti kantong besar. Tidak ada resleting. Hanya ada tali panjang di kedua ujung untuk di tarik, agar bagian atas tasnya tertutup. Tali itu juga yang tersambung ke bawah tas-fungsinya agar mudah membawa tas di punggung. Diara berjalan mendekati seragam Ranti. Mengendusnya. "Seperti ini, aroma Ibu." ** Jam weker bulat, warna perak, dengan gambar ayam di dalamnya sudah berdering dengan kencang. Kepala ayam di dalamnya mematuk-matuk sepanjang hari. Diara sedikit berjengit. Membuka matanya. Diam. Masih menata otaknya. Di mana dia sekarang? Setidaknya, itu yang dipikirkan. Sambil mengingat kejadian yang sudah terjadi kemarin. Lantas, mendesah singkat. "Benar juga, aku lagi di kamar Ibu." Menggeliatkan badan. Menguap lebar-lebar. Duduk. Lagi-lagi mengedarkan pandangan. Sebelum pandangannya tertuju pada cermin yang tertempel di dinding. Beberapa langkah di depannya. Semalam, dia tak sempat melihat cermin itu. Karena, lampu penerangan di kamar Ranti kurang cerah. Hanya bohlam kecil, yang memancarkan cahaya kuning di langit-langit kamar. Diara turun dari ranjang. Mendekati cermin. Menatap dirinya. Mengusap pipinya. "Wajah Ibu.. sangat mirip denganku." "SAYANG! SAYANG! KAU, BELUM BANGUN?" Teriakan Tomi dari luar rumah, membuatnya terkejut. "Anak brengsek itu.. sudah aku bilang, jangan memanggilku seperti itu! Apa dia tidak takut pada Nenek?!" Gerutunya. Lalu, ia membuka pintu kamar. Berjalan ke pintu depan. Menarik gagang ke arah dirinya. "Kenapa teriak?!" "Hehe, aku kira kau masih tidur." "Di sini ada Ne-Ibuku. Kau tidak takut?" Tomi menarik sudut bibirnya ke samping, sambil menaikkan satu alisnya. "Hei, ayolah. Ibumu tidak ada di rumah." Diara mengernyit. "Tidak ada di rumah? Bagaimana kau tahu?" Tomi mendecakkan lidah. Mendorong Diara ke dalam. Lantas, masuk ke dalam rumah. "Setiap hari senin, Ibumu keluar rumah tengah malam. Dan, baru kembali juga malam hari." "Sungguh? Memangnya, pergi kemana?" "Kenapa kau menanyakan itu padaku? Harusnya, kau yang lebih tahu," kata Tomi, sembari duduk di kursi. Menyandarkan punggungnya. "Ah, mungkin juga kau tidak tahu. Kau, kan tidak pernah mengobrol dengannya," lanjut Tomi. "Ibu tak akrab dengan Nenek?" Katanya dalam hati. Lantas, Diara bergegas mendekati Tomi. Duduk di sebelahnya. Dekat-dekat. Membuat tubuh Tomi menegang. "Ka-kau, mau apa?" "Tomi, katakan semua yang kau ketahui tentang Ranti-eh, maksudku tentangku dengan Ibuku." "Hah? Apa maksudmu? Kenapa dari kemarin kau aneh sekali. Otakmu benar-benar bermasalah, Sayang?" "Aku hanya ingin tahu saja. Bagaimana hubunganku dengan Ibu dari sudut pandang orang lain." Tomi mendesah panjang. Mendesis kemudian. Sembari melipat tangan di dada. "Hubungan kalian itu... Sangat sulit untuk di jelaskan." ** Pukul 6.45. Tomi mendadak berdiri. Terbelalak matanya. "SAYANG! KAU BELUM SELESAI? KITA SUDAH TERLAMBAT!" pekik Tomi, sambil mengetuk pintu kamar Diara. Bincang pagi tadi cukup menyita waktu mereka. "Jangan teriak-teriak. Aku sudah siap," kata Diara. Membuka pintu. Tomi meraih tangan Diara. Mengajaknya berlari keluar. Begitu tiba di luar, Tomi kembali ke rumahnya. Meminta Diara menunggu. Diara mengedarkan pandangan. Sinaran mentari yang tersembunyi di antara daun-daun hijau, yang melambai karena angin, di pandang olehnya. Menghirup udara segar. Sangat minim sekali dengan polusi. Kali pertama, Diara menikmati udara pagi dengan perasaan tenang. Bukan karena ia tak pernah bangun pagi, tapi, paginya selalu bangun dengan penuh kegiatan. Atau, berusaha mengurai masalah-masalah yang ada di otaknya. Terpejam kedua matanya. Kicauan burung pagi menambah suasana menjadi syahdu. Iya, benar. Aku.. mengandung anaknya Hara. Sepotong kalimat dari Mila itu membuat senyum kecilnya mengerut. Berganti desahan berat. "Mungkin.. lebih baik aku hidup di sini saja. Aku tidak mau bertemu mereka berdua lagi,"gumamnya. TIN Klakson motor terdengar kemudian. Tomi duduk di atas motor hitam dengan sayap di kedua sisi berwarna putih. Dengan stiker hijau merah di badan motor. Memakai helm putih. Seperti mangkok. Tersenyum pamer. "Wah, ini motormu?" tanya Diara. Berjalan ke arah Tomi. "Bagus, kan?" "Antik." "Antik dari mana? Ini keluaran terbaru!" "Ah, iya. Ini kan tahun 1991. Motor itu baru saja keluar di tahun ini," kata Diara dalam hati. "Ini cepat pakai." Tomi memberikan helm dengan model yang sama. "Kenapa kemarin kita tidak pakai motor ini?" tanya Diara. Memakai helm. "Ayahku baru saja membelinya minggu lalu. Aku bisa tamat kalau langsung memakainya. Apalagi, izin kencan." "Ayahmu cukup mengerikan sepertinya, eh?" "Mirip diktaktor." ** Pukul 7.15 mereka baru saja tiba di depan sekolah. Gerbang sekolah sudah tertutup rapat. "Pikirkan bagaimana kita masuk ke dalam sekolah," pungkas Diara. Tomi dan Sinta saling pandang. "Sayang-" "Sinta.. panggil namaku saja. Tidak apa-apa. Aku risih sekali mendengarnya." "Kau, yakin?" Diara mengangguk. "Baiklah. Apa kau lupa? Memang hari ini, kita berencana bolos sekolah, kan?" "Hah? Kalian gila? Siapa yang memberikan ide itu?" "Kau," kata Sinta dan Tomi bersamaan. "Aku? Lalu, untuk apa kita bolos?" "Kita pergi ke tempat biasanya, tentu saja," jawab Tomi "Tempat apa?" "Pagi, Sayang!" Diara mendesah panjang. Memejamkan mata singkat. "Siapa lagi yang memanggilku dengan nama itu?!" Diara berbalik ke arah kirinya. Melihat pemuda keren dan macho berjalan ke arahnya. "Pagi, sayang," ulang pemuda itu. "Tu-Tuan Darel?" "Wah, apa kau mau jadi Bibi pengurus rumahku?" "Darel? Siapa? Dia?" tunjuk Sinta pada pemuda yang merek sepatunya termahal di antara semua. "Itu nama baruku? Aku suka. Tetapi, bukannya kau harus minta izin pada Ibuku kalau mau mengganti namaku, Sayang?" Pemuda berwajah Tuan Darel itu menarik sudut bibirnya ke atas. Paling tampan dan wangi di antara semua. Tinggi. Kurus. Bibir agak mungil. Merah muda. "Dia Haris. Sumber dana kita," jelas Tomi. "Eh? Kenapa kau menjelaskan itu padanya?" tanya Haris. Di detik selanjutnya, ia terbelalak. Mendekati Diara. Memegang kepala Diara. Mengamatinya dengan hati-hati. "Kepalamu terluka? Kau baru saja mengalami kecelakaan? Kau lupa ingatan? Kita perlu ke rumah sakit?" Diara mendorong Haris. "Aku baik-baik saja," geramnya. "Lalu, kenapa? Kenapa kau tidak tahu namaku? Kenapa Tomi harus menjelaskannya padamu." "Benar juga. Kenapa kau tadi memanggilku Selly?" Diara menatap wajah-wajah kawan Ibunya. Wajah yang tak asing baginya. Wajah yang sedang menunggu penjelasan darinya. "Kalau aku cerita.. apa kalian akan percaya?" "Tentu saja. Kami ini kan sahabatmu." Diara menelan ludah. Menatap satu persatu ketiganya. Tangannya mengisyaratkan mereka untuk mendekat. Membungkukkan badan. "Sebenarnya... Aku ini dari masa depan." Ketiganya terbelalak. "Sungguh?" tanya Sinta. Diara hanya mengangguk. "Aku dari tahun 2024. Dan, aku adalah anak dari pemilik tubuh ini." "Wah.." ucap Haris. Menegakkan punggungnya. Selaras dengan Sinta. "Kau.. sungguh.. sungguh gila, rupanya," cetus Haris. Haris dan Sinta tertawa. "Kau terlalu banyak menonton film, Sayang," timpal Sinta. Berbeda dengan keduanya, Tomi memandang Diara. Agaknya sedikit percaya. "Lihat, kan? Kalian tidak percaya denganku." "Kalau kau benar dari masa depan, lalu dimana UFO-mu?" ledek Haris. "Kau pikir aku ini alien?!" "Mungkin," ledek Haris. Lagi. Tertawa kemudian. Menyenggol Tomi, yang lantas tertawa canggung. "Sudah hentikan. Kita harus bagaimana sekarang? Apa benar aku yang meminta kita untuk bolos sekolah?" Ketiganya kompak mengangguk. "Bukannya hari Senin kita selalu pergi ke tempat itu?" tanya Haris. "Tempat apa?" "Sayang.. kau benar-benar lupa?" Kali ini, Sinta yang bertanya. Diara mendesah panjang. "Panggil namaku saja. Aku risih kalau kalian terus memanggilku seperti itu." "Kau.. yakin?" tanya Haris. "Iya. Lagi pula nama Ranti juga tidak buruk. Kenapa aku tidak menyukainya?" "Kau.. benar-benar lupa? Kenapa kau membenci nama itu sejak 3 tahun yang lalu?" timpal Tomi. ** 1989 Senja ketika itu. Ranti baru saja pulang. Setelah jalan-jalan dengan Tomi dan yang lain. Sementara di ruang tamu, tengah ada kawan Maya berkunjung. "Kau masih mencari pria itu?" "Pria siapa maksudmu?" tanya Maya. Menyeruput kopinya. "Mantan suamimu tentu saja," bisik Vina-sahabat Maya. "Gadis itu sedang keluar." Vina mengangguk paham. "Kau masih tidak pernah memanggil nama anakmu?" "Untuk apa? Masih banyak panggilan lain. Tidak harus menyebutkan namanya, kan?" "Lalu, kenapa kau memberinya nama itu? Ranti.. dia gundik suamimu, kan?" Maya mendesah panjang. Mengisap gulungan tembakau. Meniupkan asapnya keluar. "Wajah gadis itu mirip dengan Ayahnya. Aku benci sekali melihatnya. Karena itu, aku memberinya nama yang sama dengan perempuan iblis itu. Agar tidak ada celah untukku menyayangi dirinya." Pintu yang sedikit terbuka itu memberi luka dalam pada Ranti di kala senja waktu itu. Tidak jauh dari tempat Ranti berdiri, Tomi juga ikut mendengarkan."Kau dan Ibumu itu seperti air dan minyak," kata Tomi."Kata Ibuku.. dia sangat bahagia saat mengandung. Dia selalu datang ke rumahku. Dan, membanggakan bagaimana cantiknya dirimu nanti ketika lahir. Terlihat, dia akan menjadi Ibu yang penyayang. Tetapi, semuanya berubah, saat Ayahmu tiba-tiba pergi dan tak pernah pulang ke rumah.""Ayahku pergi?"Tomi mengangguk."Semenjak itu, Ibumu jadi murung dan uring-uringan. Bahkan, ketika kau merengek kelaparan saja, dia abaikan. Beruntung, saat itu Ibuku datang ke rumahmu. Dan, akhirnya menolongmu. Yah, sejak saat itu kita mulai akrab dan secara tidak langsung Ibuku yang membesarkanmu, kan?""Oh? I-iya begitu. Hehe.""Kau selalu saja datang saat perutmu lapar. Dengan wajah sendu. Kusam. Seperti, tidak pernah mandi."**"3 tahun yang lalu? Memang, apa yang sudah terjadi?" Kata Diara dalam hati. Kernyitan bingung muncul begitu saja."Kau tidak ingat, Ranti?" tanya Tomi."Oh.. ten..tu saja aku ingat. Haha."Diara berdeham gugup selanjutnya."Hei
1991 "Apa mungkin, karena ini Tomi di bunuh?" kata Diara dalam hati. "Bisa aku lanjutkan sekarang?" tanya Tomi. "Mungkin, untuk sekarang aku ikuti saja semuanya," ucap Diara dalam hati. Diara hanya mengangguk. Meletakkan bingkai yang dibawanya sejak tadi, di meja. "Rima. Anak kelas 2. IPA. Rambut keriting. Kulit sawo matang. Tinggi 145 senti. Menghilang 7 hari yang lalu. Saat perjalanan pulang sekolah," jelas Tomi. "Orang tuanya sudah melapor?" tanya Diara. "Tentu saja. Polisi masih mencarinya. Penculik itu tidak pernah meninggalkan jejak," kata Haris. "Tidak ada saksi?" Kali ini Sinta yang bertanya. Tomi menggeleng. Diara menggerakkan bola mata perlahan. "Dia menghilang saat pulang sekolah. Itu sekitar pukul 13.00. Di sekitar jam itu kemungkinan jalanan sepi. Tapi, tidak menutup kemungkinan ada pemakai jalan yang lewat," ulas Diara. "Dia selalu pulang sendiri? Pakai motor?" Lanjut Diara. "Tidak. Angkutan umum. Lalu, turun di perempatan. Dan, jalan kaki. Angku
Pria paruh baya berambut putih pomade, agak gemuk. Setelan jas abu tanpa kusut. Sepatu hitam licin sekali warnanya. Melangkah, mendekati Diara. "Hmm.. apa kita pernah bertemu sebelumnya? Wajahmu.. tidak asing bagiku," kata pria paruh baya itu."Yeah. Mungkin, sekitar 20 menit yang lalu."Haris mengernyitkan dahinya."Tatapanmu sangat familiar bagiku. Well, mungkin saja kita pernah bertemu di suatu tempat."Diara menarik sudut bibirnya ke atas. Maju selangkah. Mendekatkan bibirnya ke telinga Haris."Aku.. datang dari masa lalu. Dengan pintu waktu. Bukan UFO," bisik Diara.Kalau kau benar dari masa depan, lalu dimana UFO-mu?Haris termenung sejenak. Kalimat itu muncul di benaknya begitu saja. Diara melangkah mundur."Aku adalah istri sah Hara. Aku tidak mengizinkan dia menikah sekarang.""Diara... Kita bicara di tempat lain, hm?" Hara meraih tangan Diara, yang segera di hempaskan."Tidak. Kita bicara di sini.""Diara, aku-""Kau pilih aku atau Mila?"Hara diam."Kau.. menghilang selam
"Mila! Kau, sudah tak waras?!" tukas Rendi."Kenapa kau jadi seperti ini, Mila?" tambah Selly."Dari awal, sifatnya memang seperti itu. Tak pernah berubah. Sangat licik," kata Diara.Mila mendengus."Tak perlu banyak bicara. Mau terima tawaranku atau tidak?""Kau, tidak perlu bertindak sejauh itu," kata Hara pada Mila."Jangan berpura-pura. Kau sudah merencanakan ini dengannya, kan? Aku benar-benar salah menilai mu! Uang.. bisa merubah sifat dan sikap manusia," kata Diara."Sekarang tahu, kan? Kekuatan uang itu tidak main-main." Mila menyombongkan diri."Kau terima atau tidak? Aku tidak punya banyak waktu!" lanjutnya.Diara diam sejenak."Diara.. kau tidak perlu meladeni dia. Aku dan Selly akan mencari jalan keluarnya," ucap Rendi."Rendi benar. Abaikan saja perkataan jalang itu." Buah simalakama. Jika ia tolak, maka nasib para anggotanya akan menyedihkan. Termasuk dirinya. Namun, jika ia terima hidupnya akan tamat. Mila akan memperlakukannya semena-mena.Diara mendesah panjang. Menu
"Kenapa kau tega? Kau tega melakukan hal itu?!" Bentak gadis berambut coklat panjang."Amanda, Dengarkan aku! Dengarkan penjelasan ku!" Sahut pemuda yang ada di depannya."Dia sahabatku, Bobby! Sahabatku!! Dan, kau? Kau adalah tunangan ku! Kenapa begitu mudahnya kau tidur dengannya?!""Itu sebuah kesalahan, Amanda!"Amanda mendengus. "Kesalahan? Hingga dia hamil, kau sebut itu kesalahan? Lalu, kau akan minta maaf padaku? Dan, berharap aku melupakan semuanya?""Aku akan menyelesaikan masalah ini. Kau jangan khawatir."Bobby membalik badan, berniat untuk pergi."Bagaimana caranya? Kau akan menggugurkan kandungannya? Kau akan membunuh darah dagingmu?""Itu masih janin!" Kata Bobby, seraya menghadap Amanda.Amanda kembali mendengus."Hanya janin? Wah, aku benar-benar tak menyangka.. lelaki yang ingin ku nikahi ternyata lebih busuk dari berton-ton sampah yang berada di tempat pembuangan!""Lalu, apa yang harus aku lakukan?!""Kenapa kau tanyakan itu padaku?!""Kau.. ingin aku bertanggung j
Aku tidak pernah menyangka, cerita yang aku tulis untuk dramaku, akan menjadi sebuah kenyataan. Cerita yang belum sempat aku selesaikan itu, menjadi bumerang bagi diriku sendiri. Benar, kata banyak orang. Jika ucapan adalah doa. Pun aku tak pernah menduga, jika itu semua benar-benar terjadi. Bedanya hanya satu. Mila.. Dia bukan sahabat baikku. Juga bukan teman dekatku. Kami.. Seperti ujung magnet yang sama. Saling bertolak belakang. Mila, yang membuatnya seperti itu. Entah, karena iri padaku. Entah, karena dia suka dengan Hara. Atau memang dia terlahir dengan watak seperti itu. Iri hati.Aku dan Hara sudah saling kenal sejak SMA. Semakin dekat, saat kami memutuskan untuk keluar dari kampus di tengah-tengah semester. Bukan karena bengal, tapi, karena kami tidak memiliki cukup biaya. Aku dan Hara di besarkan oleh panti asuhan yang berbeda. Aku tidak begitu paham, kenapa dia berakhir di panti asuhan. Mungkin karena ibunya, tidak mampu untuk merawatnya. Atau mungkin seperti aku, yang kela
Diara kembali ke studio dengan wajah lesu. Mendesah singkat, sepanjang kakinya melangkah. Sementara, di dalam studio—para anggotanya sudah menunggu dengan cemas. Selly, yang berjalan mondar-mandir. Randy, yang menggigit kuku jari. Sisanya, duduk saling berdampingan. Dengan perasaan gelisah, tentunya.Melihat Diara masuk ke dalam studio—Selly dan Randy segera berlari kecil, ke arah Diara. Yang lain, berdiri."Bagaimana, Ra? Apa jawaban Tuan Darel?" tanya Selly.Diara mendesah pasrah. Selly dan Randy saling bertatapan."Jadi, dia sungguh ingin mencabut sponsor dari kita, Ra?" kini Randy, yang bertanya.Diara mengangguk. Desahan singkat terdengar bersahutan."Apa alasannya?" tanya Selly."Kita berkumpul dulu di panggung."Para anggota duduk, bersilang kaki di lantai kayu. Pun, dengan Diara."Tuan Darel—adalah kakak kandung dari Mila."Para anggota terkesiap. Saling berbisik satu sama lain."Mila—anggota teater kita? Mila, yang selingkuh dengan Hara? Benar dia?" tanya Selly, dengan nada t
Hara mengikuti Diara hingga ke apartemennya."Diara.. Diara.. kita harus bicara." Hara terengah-engah, mengejar Diara. Memblokir langkahnya."Aku tidak ingin bicara denganmu. Minggir.""Tidak. Aku ingin bicara denganmu.""Apalagi yang ingin kau bicarakan? Semuanya sudah jelas, kan?!""Dengar, Diara.. Semuanya hanya salah paham. Aku tak bermaksud untuk tidur dengan Mila. Sungguh."Diara mendengus. "Jadi, kau mengakui, kan? Kau tidur dengannya."Hara tertegun. Tahu betul, jika dirinya salah berucap. Dia mencakar rambutnya. Mendesah kesal."Itu.. hanya sebuah kesalahan, Diara.""Oh, tentu saja itu sebuah kesalahan. Karena, kau sudah menjadi suamiku, Hara. Dan, kau menjadi penghancur kelompok teater kita. Karena mu juga! Aku harus berlutut di depan perempuan brengsek itu!"Hara memejamkan mata singkat. "Diara.. apa yang harus aku lakukan? Agar, kau memaafkan ku, huh?""Tidak ada.""Jadi, kau memaafkan ku?""Tidak. Aku ingin meninggalkanku."Hara mengernyit. "Apa? Apa yang kau maksud denga