"Seharusnya elang raksasa sudah tiba."Jayanti mondar-mandir dengan gelisah di graha tamu.Ia sudah mencoba menghubungi teman-temannya lewat sambung kalbu, tapi mereka menutup mata batin, seperti tidak mau diganggu."Apakah terjadi sesuatu dengan elang raksasa?" Jayanti berpikir sejenak. "Tapi mereka pasti menghubungi kalau elang itu belum muncul."Jayanti makin gelisah. Biasanya mereka pergi bersama-sama naik kereta, sebab mangsa sudah disiapkan pengawal kepercayaan.Mereka berburu ke pelosok untuk menangkap ksatria tampan, untuk pesta liar sampai korban mati lemas dan dibuang ke laut.Sekarang Jayanti berangkat duluan karena ia kuatir ksatria itu sadar apa yang terjadi. Melihat sepak terjangnya, pemuda itu bukan pendekar kaleng-kaleng. Pelayan perempuan datang memberi tahu, "Makan sore sudah siap gusti puteri.""Aku menunggu circle bestie ku, Ling Lung," sahut Jayanti. "Apakah ksatria itu sudah kau kasih jamuan?""Sudah gusti puteri. Hidangan habis disantap. Ia sekarang lagi tidur
"Bagaimana aku menikmatinya kalau kau menyiksaku?"Jayanti mengeluarkan sumpah serapah saat Jaka mengikat tangan dan kakinya dengan rantai di besi silang vertikal."Yang penting aku menikmatinya," sahut Jaka masa bodoh. "Bukankah setiap kali pesta kau rudapaksa laki-laki sampai mati?"Cakra menarik rok Jayanti dengan kasar sehingga robek besar. Jayanti meneteskan air mata diperlakukan secara bengis begitu.Ia meratap, "Aku ingin bercinta denganmu, sungguh, tidak dapatkah kau berlaku sedikit romantis?""Mereka juga ingin bercinta denganmu, tapi kau perlakukan secara biadab."Cakra melumuri kemaluan Jayanti dengan cairan beraroma ikan asin, kemudian melumuri payudaranya dengan jus kental."Sekarang cobalah kau renungkan perbuatanmu. Mengapa kau membunuh ksatria pekon hanya untuk cinta?""Aku mohon lepaskan aku.""Semoga tidak ada kucing dan semut.""Meong! Meong!" Tampak seekor kucing mendatangi bau ikan asin."Sayang sekali...!"Jaka pergi meninggalkan bilik pesta. Kemudian ia menyisi
"Kurang ajar!"Perampok berkumis mengepalkan tangan dengan marah sampai bergemeretak."Lemes betul mulutmu!"Dyah Citraningrum berteriak dari dalam kereta, "Tabrak saja kalau tidak mau minggir, Pak Tua!"Sais menarik tali kekang kuda, kereta melaju dengan kencang.Empat Setan Alas berjumpalitan di udara menghindar.Perampok berkumis hinggap di atap kereta."Hey, Seruling Sakti!" bentak lelaki berwajah codet itu. "Kau hentikan kereta atau kuhancurkan batok kepalamu!""Apa maumu sebenarnya Setan Gimbal?" tanya Seruling Sakti. "Aku tidak membawa perhiasan berharga.""Perempuan di dalam kereta lebih berharga dari perhiasan! Kau pikir aku tidak tahu kau membawa empat puteri bangsawan?""Hentikan, Pak Tua!" perintah Dyah Citraningrum. "Aku mau melihat tampang setan yang menginginkan diriku!"Perempuan secantik bidadari itu sudah melompat ke luar sebelum kereta benar-benar berhenti.Setan Gimbal melompat turun dari atap kereta dan berdiri di hadapan Dyah Citraningrum."Mataku ternyata tidak
"Capek banget!" Cakra duduk menggelosor di bawah pohon jengkol dengan nafas tersengal-sengal. Ia biasa menggunakan ballpoint untuk menulis di atas kertas, pada saat menggunakan cangkul untuk bekerja di atas lahan tentu saja ia keteteran. "Sekarang kau merasakan perjuangan mencari sesuap nasi itu sangat berat!" Abah tertawa melihat anaknya sangat kepayahan, padahal baru sebentar bekerja. Abah adalah petani kecil, tinggal di rumah bilik di kaki gunung, dengan beberapa tetangga bernasib sama. Bedanya petani ini mampu menelurkan anak jadi sarjana. Wisuda bulan kemarin adalah pengukuhan Cakra jadi seorang pengangguran. Cakra sudah melayangkan lamaran ke beberapa kantor perusahaan di kota, tapi belum ada panggilan. Untuk sementara, ia mencangkul di ladang membantu ayahnya. Abah satu-satunya warga kampung yang bahagia jadi orang miskin. Hidup dalam keterbatasan membuatnya nyaman. Sungguh orang tua aneh, sebab durhaka untuk disebut gila. "Cita-cita Abah akhirnya kesampaian," kata Ambu
Ratu Purbasari tampak murung memandang cermin besar di sudut kamar. Cermin ajaib itu terlihat kosong tidak memberi petunjuk apapun. Ia kuatir Cermin Mustika murka karena situasi kerajaan sedikit kacau dengan adanya pemberontakan di wilayah barat. Negeri gemah ripah loh jinawi terkotori oleh tangan-tangan serakah. "Kekacauan terjadi bukan karena kesalahan kerajaan," hibur Pangeran Wikudara. "Ketamakan Tapak Mega untuk memisahkan wilayah barat membuat rakyat tercekam. Jadi tidak ada alasan Cermin Mustika murka kepada dinda." "Besok malam adalah purnama yang dijanjikan," keluh Ratu Purbasari. "Tanggal 23 kliwon adalah hari leluhur kita bersumpah di altar kehidupan." "Dengan demikian pemuda itu sudah genap berusia 23 tahun," kata Pangeran Wikudara sambil duduk di kursi bertahtakan permata. "Apakah peristiwa seperti ini pernah terjadi sebelumnya di jaman mendiang ibu suri?" "Belum pernah," sahut Ratu Purbasari dengan wajah mendung. "Cermin Mustika biasanya memberi kabar setiap perkemba
"Ayo segera siap-siap," kata Ambu sambil masuk ke kamar Cakra. "Sebentar lagi perlombaan galah asin dimulai." Galah asin adalah permainan tradisional yang dimainkan tiga sampai lima orang. Biasa dilombakan pada saat bulan purnama. "Kita hidup di abad berapa, Ambu?" Cakra menatap ibunya tanpa gairah. "Orang sudah bolak-balik ke bulan, kita masih berkutat di abad kegelapan." "Permainan galah asin adalah identitas kampung." "Tidak ada identitas yang lebih bergengsi?" sindir Jaka. Ambu memandang heran. "Ada apa denganmu? Biasanya tiap purnama main galah asin sampai larut malam." "Malam ini aku mau menghadiri ulang tahun pacarku." "Sudahlah, lupakan Priscillia. Ia tidak cocok untukmu." "Orang tuanya juga ngomong begitu," sahut Cakra keki. "Kalau cinta sudah berkibar, apa bisa berhenti?" Larangan itu muncul lantaran ia anak petani miskin. Puteri hartawan secantik Priscillia turun derajat kalau naik motor butut, padahal mereka yang merasakan bahagia itu. Mereka tidak peduli tahta dan
"Hati-hati," pesan Abah ketika Cakra pamit pergi. "Lekas pulang kalau acara sudah selesai." "Ya." Abah curiga melihat sopir taksi demikian gagah dan berpenampilan rapi. Agak janggal mengenakan kacamata hitam malam-malam begini. Barangkali ingin menutupi mata dari pemandangan kampung yang menjemukan. Kebanyakan warga yang duduk-duduk di beranda berusia lanjut. Sopir itu duduk menunggu dengan sabar di belakang kemudi. "Perasaanku agak lain sama sopir itu," kata Abah. "Benar kan taksi ini yang di booking Priscillia?" "Benar," sahut Cakra. "Nomor polisinya cocok dengan nomor yang dikirim." "Sopirnya membuat Abah ragu." "Keren banget ya?" "Jangan-jangan bunian." Bunian adalah makhluk astral yang suka menampakkan diri dalam paras rupawan. Mereka kadang menjadi bagian dari komunitas manusia dan menjalankan aktivitas sebagaimana biasa. Misinya merayu manusia ikut ke negerinya yang sangat indah sehingga lupa untuk pulang. "Abah ini ada-ada saja." Cakra tersenyum. "Memangnya sopir tak
"Giliran ditunggu-tunggu tidak muncul," keluh Fredy kecewa. "Atau semua itu omong kosong?" Cerita penduduk tentang keangkeran hutan bunian ternyata mitos belaka. Mereka melewati hutan itu dengan lancar, tanpa ada makhluk yang memberhentikan mobil untuk menumpang ke kota atau sekedar tebar pesona. Barangkali tidak ada bunian yang tertarik sehingga enggan menampakkan diri. Mereka tahu yang mengendarai mobil adalah Fredy, seorang pemuda yang berharap dapat bercinta dengan makhluk selain manusia. Malam Jumat kliwon adalah malam di mana mereka seharusnya muncul. Penduduk sampai tidak ada yang berani lewat setelah hari gelap, saking santernya cerita itu. "Mereka ngeri melihatmu," ujar Cakra. "Jadi tidak berani muncul." "Wajahku seram ya?" "Kelewat keren. Jadi mereka tidak percaya kalau kamu manusia." "Aku tahu kamu lagi bicara tentang diri sendiri. Kamu tidak pantas jadi anak petani." Aku bukan anak petani, sahut Jaka dalam hati. Aku anak saudagar kaya yang hartanya disedekahkan pada