Aku tidak tahu mengapa map ini tiba-tiba jatuh. Aku memang hanya memeriksa setiap dokumen dengan cepat. Tidak ada niat membaca isinya. Ketika membaca isi dokumen ini aku sangat terkejut. Dina menyimpan sebuah rahasia yang sangat besar.Orang tuanya pasti tahu mengenai hal ini. Lalu mengapa mereka mendukung tindakan jahatnya? Dilihat dari tanggal kelahiran, maka kejadiannya saat dia belum bergabung bersama kami di tempat kerja yang lama. Lama berteman dengannya, aku tidak pernah mendengar dia bercerita mengenai anak yang dia lahirkan.“Di mana anak perempuan ini?” tanya Jeff pelan. Aku menggeleng pelan. “Dia tidak pernah bicara tentang anak. Apa dia memberikannya kepada orang lain?”“Kemungkinan besar anak itu ada pada ayahnya. Kamu lihat namanya? Aku akan cari tahu di mana pria ini berada. Kita akan tahu segalanya setelah mendengar ceritanya,” kataku, memberi saran.“Aku ikut. Kamu keluar malam entah melakukan apa, aku tidak mau membiarkan kamu melakukan semua ini sendiri lagi. Aku ik
Mata para wanita bergantian melihat ke arah pria itu dan aku. Lalu mereka saling bicara terhadap satu sama lain. Berbeda dengan saat mereka menuduh aku, suara mereka kini sangat pelan sehingga aku tidak bisa mendengar.“Mengapa semua hanya sibuk bicara sendiri?” katanya lagi, melihat tidak ada yang menjawab pertanyaannya. “Mengapa klien saya dihalangi untuk masuk ke rumahnya?” Apa aku bilang? Dia adalah paket lengkap idaman wanita.“Maaf, Pak. Ibu ini adalah seorang pembunuh, jadi sebagai Ketua RT saya berkewajiban untuk menjaga keamanan lingkungan. Warga meminta agar ibu ini diusir dari kompleks ini,” kata pria itu tanpa wibawa. Masa hanya dengan alasan itu dia mau mengusir aku?“Ibu ini punya nama, Pak. Jenar Arunika. Nama yang indah, bukan?” Franky berdiri di sampingku. Aku melirik ke arah Moira yang menyipitkan matanya ke arah pengacaraku. “Ibu Jenar sudah menjalani hukuman penjara. Selama berada di sana, Ibu Jenar dibina secara mental dan rohani agar bisa kembali ke masyarakat. L
~Jeffrey~Tiba di rumah setelah menghadiri acara di rumah adikku, aku mengharapkan kedamaian. Aku sudah lama merindukan hidup tanpa bertengkar dan saling curiga. Sepertinya harapanku itu terlalu tinggi, karena Dina lagi-lagi merusak suasana hatiku.Namun aku tidak terpancing dengan omongannya. Bila Jenar bilang dia pergi menemui temannya, maka itu adalah temannya, bukan pria lain. Sampai kapan aku harus terus berpura-pura begini? Akting bukanlah keahlianku.“Papa, apa Mama Kedua akan selamanya tinggal bersama kita?” tanya Jax saat aku menemani mereka sampai tidur di kamar.“Mengapa kamu tanyakan itu? Kamu tidak suka dia tinggal di sini bersama kita?” Aku balik bertanya.“Tidak, Pa,” jawabnya jujur.“Aku juga tidak,” timpal Remy. “Aku mau Papa sama Mama saja. Tidak mau ada Mama Kedua.”“Kalian sabar, ya. Kita pasti akan tinggal berempat saja.” Aku mengusap kepala Jax, lalu duduk di tepi tempat tidur Remy.“Berempat itu, Papa, Mama, aku, dan Remy?” tanya Jax sambil menghitung dengan jem
Seandainya dia juga tahu bahwa aku tidak seperti yang dia pikirkan. Wanita ini sudah bersamaku selama empat tahun lebih, tetapi tidak bisa membaca pikiranku. Jangankan dia, Jenar yang sudah menikah denganku selama lima tahun pertama bersama, juga tidak bisa membaca aku. Dina membelai pipiku ketika aku hanya diam, sedangkan tangannya yang lain turun ke bawah tubuhku. Dia tersenyum penuh kemenangan melihat aku hanya diam. Namun saat tangannya memegang bagian pinggang celanaku, aku menahan tangannya itu. “Kita hanya akan melakukan ini bila aku menginginkannya.” Aku melepaskan tangannya dan sedikit mendorong tubuhnya menjauh dariku. Anak. Aku hanya mau punya dua anak saja. Apa dia pikir biaya membesarkan seorang anak itu murah? Belum lagi berbagi waktu antara pekerjaan dengan mereka tidaklah mudah. Bagaimana aku harus membanting tulang lebih keras untuk membiayai satu orang anak lagi? “Sampai kapan kau jual mahal begini?” Dia menarik piyamaku sehingga langkahku terhenti. “Kau jajan di
~Jenar~ Jeffrey tidak menjawab pertanyaanku. Dia justru mencium aku habis-habisan, lalu keluar dari kamar, karena jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Aku tersenyum melihat ke arah pintu. Tanpa membersihkan diri, aku berbaring. Aku ingin tidur dengan membayangkan dia ada di sini bersamaku. Seolah mendengarkan harapanku, saat membuka mata pada pagi harinya, aku melihat dia berbaring bersamaku. Setelah mencium keningnya, aku membersihkan diri di kamar mandi, lalu menyiapkan sarapan dan bekal untuk suami dan anak-anakku. “Wah, wah, ada yang sedang jatuh cinta,” goda Moira yang menyikut lenganku. “Berapa ronde kali ini? Apakah semalaman?” “Mo!” pekikku terkejut. Bian hanya tertawa mendengarnya. “Belum waktunya untuk bersenang-senang. Kita sedang punya masalah besar.” “Ah, santai saja,” kata Moira dengan entengnya. “Biarkan Frank yang mengurus segalanya. Kamu cukup duduk dengan tenang dan tunggu instruksi darinya.” “Tetapi,” Bian melirik ke arah para karyawannya, “menuntut seora
Sebelum menikah, kami sepakat untuk punya satu orang anak saja. Namun saat Jeff naik pangkat, dia berubah pikiran. Dia mau kami punya dua orang anak. Dia sangat perfeksionis dan memikirkan masa depan lebih jauh dari yang sanggup aku rencanakan.Dia mau membesarkan anak-anak kami dengan nyaman. Kami bertanggung jawab penuh atas mereka sampai mereka cukup umur untuk hidup mandiri. Karena itu, jumlah anak kami disesuaikan dengan kemampuan ekonomi kami. Untuk mencegah punya anak lagi, dia mengambil langkah ekstrem. Sejak itu, aktivitas ranjang kami menjadi lebih nikmat.“Dia bukan istriku,” jawabnya singkat. “Hanya kamu yang perlu tahu segalanya tentangku.”Itu adalah hal terbaik dalam hubunganku dan Jeff. Kami tidak menyimpan rahasia apa pun terhadap satu sama lain. Setiap hal yang aku kerjakan sepanjang hari, apa yang aku alami, pasti akan aku ceritakan kepadanya. Begitu juga dengannya. Hanya rahasia perusahaan yang tidak kami bahas.Ketika ada orang yang mencoba memprovokasi kami, mere
Aku tahu dia belum selesai bicara dan sengaja menggantung kalimatnya. Karena hanya aku yang bisa mengerti, maka aku bertanya. Dia tidak akan berani menyentuh aku seujung rambut pun di depan keluarga suamiku. Dia selalu memastikan hanya ada kami berdua ketika menyakiti aku. Tentu saja dia tidak akan berterus terang. Dia bahkan tidak menoleh ke arahku. “Tidak ada tetapi, Jenar. Kamu salah paham,” katanya dengan senyum menghiasi wajahnya. “Tidak perlu pergi, Nak.” Ayah berdiri dari tempat duduknya. “Kami sudah membuat Jax dan Remy tidak nyaman dengan kehadiran kami. Seharusnya kami yang pergi, bukan tuan rumah.” “Ayah?” panggil Ibu bingung. Dia melihat ke arah Lauren, meminta dukungan. “Ayah, kita belum selesai bicara. Bagaimana dengan—” tanya Lauren sambil melihat Dina dan Ibu secara bergantian. Pria itu tidak mau tahu dan berjalan keluar rumah. Yang lain pun terpaksa mengikutinya. Wahyo menatap aku dengan tajam, tetapi aku tidak membalasnya. Aku hanya menundukkan kepala, menatap la
Wanita ini hebat juga. Aku tidak pernah tahu bahwa dia pantang menyerah. Mungkin dia belum pernah ditolak oleh siapa pun sehingga dia bersikeras begini. Aku tidak mau mempermalukan dia lebih jauh. Dia layak untuk mengangkat kepalanya ketika keluar dari rumah ini.Seharusnya dia menurut saja dan pergi dari rumah ini. Tidak ada tempat untuknya di antara kami berdua. Setelah menyakiti aku selama bertahun-tahun, dia masih berusaha untuk memprovokasi kami. Dia pikir aku tidak tahu bahwa Jeff sudah lama tidak menyentuhnya. Aku mengenal suamiku dengan baik, tetapi dia berani membuat aku meragukannya. Maka aku tidak segan lagi.“Yang kamu rasakan kepada suamiku bukan cinta. Kamu terobsesi kepadanya. Dia adalah suami sahabatmu sendiri, Dina. Apa kamu pikir aku berbohong saat mengatakan dia hanya mencintai aku?” Aku menoleh ke arah Jeff.“Aku mengizinkan dia tidur dengan perempuan pertama yang menawarkan tubuh kepadanya.” Aku membelai pipi suamiku. “Aku yang memberinya lampu hijau untuk tidur d