“Miss. Emily Hale? Apakah anda salah satu penggemar Mr. Hart?”
Aku sudah menduga pertanyaan ini akan diajukan.
Aku sedang melakukan wawancara kerja untuk menjadi Personal Asisten CEO di perusahaan Hugo. Hanya itu lowongan pekerjaan yang paling memungkinkan untuk mendapatkan akses data rahasia perusahaan.
Hugo Sebastian Hart dikenal sebagai celebrity chef yang kritis namun kharismatik. Perawakannya tinggi dengan badan yang atletis melengkapi profilnya sebagai bujangan paling diminati saat ini.
Pahatan wajahnya yang simetris tampak sempurna dengan mata biru jernih bagai lautan berlian yang hanya bisa diakses oleh orang-orang kaya.
Apa aku penggemarnya? tentu saja iya. Dalam satu tarikan nafas aku memberikan jawaban terbaikku kepada pewawancara.
“Meskipun saya mengakui pesona Mr. Hart, namun saya adalah seorang yang lebih menghargai nilai dari dalam diri seseorang.
“Jika ada yang bisa saya idolakan dari Mr. Hart, itu adalah kemampuan bisnis yang berkembang pesat di tengah fenomena bisnis startup global saat ini.
“Dan untuk semua alasan itu, ya saya adalah penggemar Mr. Hart,” jawabku dengan tegas.
Mereka tampak puas dengan jawabanku. Ada dua orang pewawancara di ruang interview. Sayang sekali Hugo tidak hadir.
“Bagaimana cara anda menjaga privasi Mr. Hart sedangkan di saat bersamaan anda akan menjadi personal assistant beliau?” tanya seorang pewawancara yang terlihat lebih senior.
Kurasa, aku hampir menyelesaikan interview-ku.
“Saya mengerti tentang hukum privasi. Sebagai pengacara, saya terbiasa berani tampil di depan. Menghadapi publik bukan masalah bagi saya. Kemampuan diplomasi untuk mengatur prioritas informasi juga menjadi keahlian saya.
“Namun sebagai personal assistant CEO sekaligus seorang selebritas, saya akan mengkondisikan diri saya dan mengetahui kapan waktu yang tepat untuk menjadi bayangan Mr. Hart. Bekerja untuknya bahkan tanpa terlihat olehnya. Saya rasa Mr. Hart akan menyukai itu.”
Aku baru saja bernafas lega setelah memberi jawaban pamungkas. Tiba-tiba pintu terbuka dan masuklah Hugo Sebastian Hart.
Gosh! Dia sangat unreal!
Hugo berjalan ke arahku dengan langkah kasual yang maskulin. Dia melihat tajam ke arahku sambil menjabat tanganku.
“Mr. Hale, selamat, anda diterima,” katanya singkat. Kemudian dia pergi meninggalkan ruangan.
Aku terpana. Aku lupa bernafas!
***
Aku bertemu Felix pada hari pertamaku bekerja sebagai personal assistant CEO perusahaan Wealth & Delicate Enterprise, Mr. Hugo Sebastian Hart. Aku mengikuti pelatihan selama satu minggu sebelum bekerja secara resmi.
Kegiatanku sehari-hari adalah mengelola data dari stakeholders, shareholders, investor, department leadership dan company secretaries.
Aku juga mempersiapkan meeting schedule harian, dan memantau berbagai project perusahaan untuk CEO.
Banyak pekerjaan menumpuk karena ketidakhadiran Theo. Dan sekali lagi, sepertinya aku yang harus menyelesaikan apa yang ditinggalkan kakakku.
Selama bekerja menjadi asisten pribadi Hugo, Emily belum menemukan apa pun perihal Theo.
Suatu hari terjadi kehebohan di departemen marketing. Terjadi penurunan jumlah pengunjung di beberapa restoran.
Hugo mendapat sentimen negatif dari netizen atas sikapnya yang dinilai tidak fair saat memberikan penilaian pada salah satu kompetisi memasak bernama Food & War.
“Emily, tolong siapkan seluruh data penjualan dari restoran di California, dan buatlah resume untuk analisa. Kau akan ikut denganku ke apartemen Hugo untuk meeting,” perintah Felix.
“Tentu saja,” jawabku cepat.
Dua jam kemudian aku dan Felix memasuki area exclusive residential tower di Baverly West. Ini adalah salah satu apartemen milik Hugo.
Felix menekan bel apartemen dan menunjukkan wajahnya di door peephole camera. Tak selang berapa lama Hugo membuka pintu. Dia masih mengenakan setelan baju tidur dan sweater. Dan itu sangat sexy.
“Hei, Man! Miss. Hale. Silahkan masuk.”
Aku tidak melihat siapapun di sana kecuali Hugo. Kami duduk di meja makan besar. Aku pikir ini adalah sebuah meeting.
“Maxime, ini Felix dan Emily.”
Ternyata Hugo melakukan meeting virtual.
“Emily, benar, kan?” tanya Hugo kepadaku.
Aku menjawab singkat. “Emily terdengar bagus.”
Ini adalah pertama kalinya aku duduk berdekatan dengan Hugo, namun suasananya tidak terasa asing.
“Hai, semuanya. Emily, apakah kau tau orang-orang membicarakanmu? ‘Sexy lawyer’?” Maxime tertawa. Dia adalah manajer selebriti Hugo.
“Hai Max. Teruslah membicarakan hal yang bagus tentangku,” jawabku berseloroh membuat Max semakin keras tertawa.
“Jadi apa solusimu, Max?” Hugo menyela.
“Aku rasa kau harus mengeluarkan statement, Bos! Fansmu menggila. Aku akan berbicara dengan penyelenggara acara untuk memberikan statement pendukung,” saran Maxime.
“Aku tidak yakin, Max. Felix?”
Felix mengangkat kedua alis dan menyampaikan pendapatnya.
“Kurasa sentimen negatif ini tidak akan bertahan lama. Ini Los Angeles dan berita baru selalu muncul setiap hari. Tapi, kau tau bukan kau bujangan paling beken saat ini.”
“Emily, bagaimana angkanya?” Hugo menoleh ke arahku.
Aku langsung menjawab, “30% penurunan pada middle level business. Tidak terlalu berdampak pada high level business. Kurang dari 5%.
“Kau sendiri yang harus mengalihkan isu dengan interaksi yang lebih aktif bersama penggemarmu dan cukup tampilkan di channel pribadimu.
“Tidak perlu mengubah statement, karena itu adalah statement-mu sebagai seorang profesional. Rasa adalah segalanya. Buatlah itu menjadi tagline-mu dan market akan mengikuti,” jawabku spontan seperti saat sedang berjuang memenangkan kasus. Astaga!
“Apa itu perintah?” Hugo bertanya kepadaku dengan tenang.
“Itu… adalah saran dariku,” jawabku mencoba untuk tidak gugup.
“Apa ini caramu memberikan saran kepada bosmu?” Hugo bertanya dengan nada yang sama. Tanpa emosi.
“Ini yang terbaik.”
Astaga, apa yang baru saja aku lakukan?
“Kau dengar itu, Max? Lakukan apa yang Emily perintahkan,” kata Hugo.
Aku melihat Felix menahan nafasnya. Sedangkan Hugo tampak biasa saja.
Suara panggilan Max hening sesaat, sebelum dia menyahut kemudian. “Tentu, Bos. Wow, meeting yang sangat cepat. Terima kasih, Emily!”
Itu tadi sangat canggung. Felix dan Max pasti berpikir aku adalah penjilat yang sok pintar.
Kami semua kembali sibuk bekerja. Felix berada di ruangan lain dan sibuk dengan laptopnya. Sedangkan Hugo berada di ruang kerjanya.
“Emily, apa sponsorship masih mengeluh?” Hugo bertanya sambil berjalan ke arahku.
“Mereka sudah lebih baik. Kita sudah bisa mengendalikan fans. Tim sedang memperbarui halaman fanbase-mu di internet untuk lebih mudah berinteraksi denganmu. Maxime sedang mempersiapkan shooting untuk content,” jawabku.
Dia hanya mengangguk.
“Are you hungry, Emily?”
Sontak pertanyaan Hugo yang mendadak itu membuat tubuhku sedikit mengejang karena sensasi dejavu.
Pertanyaan Hugo mengingatkanku pada Alpha Chef.
“Mari kita berangkat. Kau akan ikut aku ke The Black Pearl di Melrose Avenue,” kata Hugo memberi instruksi.
“Oke,” jawabku singkat. Pikiranku terjebak beberapa saat dalam dejavu.
Aku dan Hugo berjalan menuju garasi mobil. Hugo menekan key fob mobilnyal dan sebuah sedan Mercedes-Benz S-Class warna tembaga mengedipkan lampu flash.
Tanpa kuduga Hugo membukakan pintu untukku. Sulit bagiku untuk tidak tersipu. Aku berada di dalam mobil miliknya, bersama Hugo. Ini adalah mimpi semua perempuan di California!
Mobil keluar dari area Baverly West. Aku melihat Hugo melirik kaca spion dan rear-view mirror bergantian. Setelah itu, baru fokus menyetir.
Aku juga memperhatikan kaca spion. Ada sebuah mobil mengikuti kami.
“Mereka pengawalku,” kata Hugo. Sepertinya dia tahu aku memperhatikan.
“Aku tahu,” balasku. Hugo tertawa kecil.
Kami tidak banyak bicara selama perjalanan, dan itu cukup menegangkan bagiku. Hugo seperti seorang mafia.
Setibanya di restoran cabang Melrose Avenue, Hugo langsung mulai berinteraksi dengan pengunjung sesuai arahan Max.
Hugo terlihat ramah dan banyak tersenyum. Hugo terlihat tulus dan hangat saat bersama orang lain. Pantas para wanita sangat menggilainya.
Tiba-tiba Felix menghampiri Hugo. Mereka membahas sesuatu dengan serius dan Hugo langsung pergi meninggalkan lokasi begitu saja.
Aku bingung dan terkejut. Max juga kebingungan. Felix menghampiriku dan memberiku beberapa tugas untuk dikerjakan minggu ini.
“Apa sesuatu yang buruk terjadi?” tanyaku.
Felix menghela nafas kemudian menjawab singkat. “Kau benar. Untuk itu Emily, aku percayakan holding company kepadamu.”
Aku tertegun. Dan benar saja … setelah itu, selama seminggu aku hanya hidup untuk pekerjaan. Felix mengarahkanku dari luar kantor. Dia berada di luar kota bersama Hugo.
Tepat di saat aku benar-benar lelah, tiba-tiba ponselku berdering. Panggilan masuk dari Hugo.
“Yes, Bos?”
“Emily, kau harus mengambil libur besok sebagai libur pengganti weekend kemarin,” kata Hugo.
“Kau serius?” tanyaku senang.
“Ya. Kau melakukan pekerjaan dengan baik. Pasti ada tempat yang ingin kau kunjungi di LA. Bersenang-senanglah.”
Hugo mematikan teleponnya. Dia benar. Aku sangat ingin mendatangi lantai paling atas gedung ini.
Aku terdiam sejenak. Aku mencari-cari kartu member “Are You Hungry Baby?” di dalam tasku.
Ketika menemukannya, aku tak kuasa memekik! “Ketemu!”
Aku melakukan reservasi di restoran Are You Hungry Baby untuk besok malam. Tapi aku lupa sesuatu. “Maaf, tapi bisakah kau memberitahu chef–oh, sayang sekali aku tidak tahu namanya,” kataku kepada petugas reservasi. Aku tidak pernah terpikir untuk bertanya nama sang Alpha Chef. Tidak pernah terpikir untuk kembali lagi ke sana. “Kami mengerti, jangan khawatir Miss. Kami menantikan kedatangan anda besok Miss. Hale.”Bagus sekali! Aku menutup telepon dengan hati senang. Tak sabar untuk bertemu dengan Alpha Chef!***Aku berdandan cantik sore ini dan mengenakan underwear sexy yang baru saja kubeli. Aku masih belum percaya aku ketagihan mendatangi restoran prostitusi. Bahkan melepas keperawananku di sana. Petugas receptionist masih sama, Angel yang cantik. Angel segera membawaku ke sebuah ruangan. Berbeda dengan kunjungan sebelumnya, ruangan kali ini lebih gelap dengan lampu dim dan beberapa cermin di dinding. Ini lebih panas dan menegangkan dari kemarin. Angel pergi meninggalkanku se
Ini adalah hari yang mendebarkan. Hugo sudah tahu siapa diriku sebenarnya. Felix menelponku untuk bertemu dengannya di apartemen Hugo. Aku hanya mengiyakan. Kepalaku masih pening dan aku belum mengatur strategi untuk menghadapi Hugo hari ini. Aku melihat beberapa pesan masuk dan ada pesan dari Anthony. Dia mengirimkan pesan bahwa pengerjaan makam Theo sudah selesai semuanya. Aku membuat kopi dan menyantap roti panggang. Kemudian kuputuskan untuk pergi ke makam Theo sebelum ke apartemen Hugo. Makam Theo terletak cukup jauh di Forest Lawn Memorial Park. Lokasinya berada di California selatan. Setibanya di daerah itu aku berhenti terlebih dahulu untuk membeli bouquet bunga. Graveyard itu adalah salah satu makam paling indah di California. Suasana Hollywood Hill yang tenang membuat perasaanku juga sedikit lebih tenang.Aku mencari makam Theo sesuai petunjuk Anthony. Namun aku terkejut melihat seseorang sudah berada disana. Seorang pria mengenakan mantel hitam dan setelan suit hitam.
“Dimana semua pakaianku?” aku bertanya kepada diriku sendiri. “Di ruang tengah,” sahut seseorang yang baru saja keluar dari kamar mandi. Tidak mungkin! Hugo?Aku panik dan menutupi tubuhku dengan selimut. Hugo keluar dari kamar mandi dengan telanjang dada dan hanya mengenakan celana tidur. Apa yang terjadi semalam? “Hugo?” “Pakaianmu ada di ruang tengah. Aku tidak sempat membawanya kesini tadi malam,” jawabnya. Mataku masih membelalak tak percaya. “Apa yang terjadi?” aku bertanya setengah depresi. “Ayolah Emily, ini bukan pertama kalinya kita bercinta,” kata Hugo dengan tenang. “Ini yang pertama kalinya aku tahu siapa lawan mainku.” Aku membalas sambil sibuk melilitkan selimut ke badanku sebelum menuju ruang tengah. “Kau tau aku tidak bercinta dengan sembarang pria,” kataku lagi. Pagi itu aku cukup kacau dan malu pada diriku sendiri. Tapi aku melampiaskannya kepada Hugo. Dan anehnya aku merasa lebih baik. Well, sebenarnya aku tidak terlalu menyesal menghabiskan malam denga
“Emily, waktunya shopping,” kata Hugo. Aku masih terdiam. Siapakah “dia” yang mereka maksud tadi. Aku tidak mungkin bertanya kepada David, dan akan berbahaya jika aku langsung bertanya kepada Hugo. “Shopping?” tanyaku. Hugo menganggukkan kepala. Dia berjalan ke arahku. Gerak bola matanya melihatku dari ujung rambut ke ujung kakiku. “Kau terlihat sexy. Tapi kau perlu baju baru,” kata Hugo. “Tidak, terima kasih. Aku tidak terlalu suka belanja,” balasku.“Emily, jika kau terus berpakaian seperti itu aku tidak bisa menahan diriku untuk-” “Oke. Ayo shopping!” sahutku cepat. Aku seperti berada di kandang predator. Mata Hugo seperti memiliki kekuatan super tembus pandang dan dia baru saja menelanjangiku.Aku mendengar Hugo berpura-pura mendesah kecewa. Wajahnya menahan senyum yang menggelikan. Dia sangat menikmatinya ketika menggodaku. Aku berlari ke kamar dan mengambil tasku dan segera kembali ke ruang depan. Hugo sudah siap dengan wajah tampannya.“Hugo, kau tahu aku bukan pelacurmu
“Emily, lihat aku. Lihat aku,” Hugo memegang pipiku berusaha menyadarkanku.“Semua akan baik-baik saja. Kau akan kembali ke apartemenku,” kata Hugo. Dia menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Mataku terbuka lebar. Pelukan Hugo tidak mampu menghangatkan tubuhku kaku. Sekilas aku teringat pesan Anthony. Aku benci berada dalam pusaran cinta dan benci ini!“Hugo, apa kau ada hubungannya dengan ini semua?” tanyaku dengan serius. “Kau bercanda?” balasnya. Kami saling memandang dengan tajam layaknya musuh.“Kau boleh berpikir apapun, tapi aku tidak ada kaitannya dengan ini,” kata Hugo lagi. Aku tidak menjawab. Tiba-tiba seseorang masuk.“Miss. 512?” tanyanya. Aku terkejut dan menatap laki-laki itu. “Aku tetangga apartemenmu. Ada kerusuhan tadi sore. Seorang laki-laki datang merusak kamarmu mengira kau adalah penghuni lama. Entah apa yang dia cari tapi dia menggila,” katanya. “Seorang laki-laki?” Aku tertegun. “Apa ada barangmu yang hilang? Pihak keamanan sudah menghubungimu?” tanyanya la
Aku berpikir sejenak. Mencoba untuk menjadikan penjelasan Hugo masuk akal untuk diterima oleh logikaku.“Aku tetap akan menghubungi Anthony,” balasku. Aku berusaha menyembunyikan kecurigaanku.“Tentu. Sampaikan salamku,” ucap Hugo. “Kau mengenalnya?” tanyaku reflek.“Bagaimana tidak? Dia pengacara Theodore sebelum menjadi pengacaramu,” jawabnya. “Apa kau mengenal baik Anthony?” tanyaku lagi. “Oh, tidak tidak. Jangan lakukan itu kepadaku Yang Mulia Pengacara Sexy…” Hugo mendekatiku dan merengkuh tubuhku. Dia menciumku dengan bibir rasa kopi yang wangi dan lembut. Aku reflek membalas ciumannya. “Kau tidak akan menginterogasiku di pagi yang cerah ini,” bisiknya. Suara seksi Hugo hampir saja membawaku terbang ke dunia fantasi. “Chef, pancake-mu…” kataku mengingatkan Hugo yang langsung beranjak ke kompor listriknya dan membalik pan-nya dengan lincah.Handphone-ku berdering. Kulihat di layar ada panggilan masuk dari Anthony. Kebetulan sekali.“Anthony, Hi. Aku baru saja akan meneleponm
Semua orang mengucapkan selamat atas pertunanganku. Aku sama sekali tidak memperdulikan mereka. Satu hal yang memenuhi pikiranku, Chef paling seksi ini adalah milikku!Aku masih belum bisa beranjak dari rasa bahagia yang meluap sejak minggu lalu. Meskipun di sosial media banyak orang membenciku, tapi aku tidak terlalu memikirkannya.Hari ini aku akan bertemu dengan Anthony. Sungguh ironis. Pada awalnya Anthony menyuruhku untuk berhati-hati kepada Hugo, namun akhirnya aku justru akan menikahinya.“Anthony, apa aku perlu membuat perjanjian pra nikah?” tanyaku.“Tentu saja. Kau memiliki aset dan saham hampir sama besar dengan Hugo. Dan ketika kalian menikah akan ada harta gono gini dari pernikahan kalian,” jawab Anthony dengan tegas.“Aku tahu, aku hanya ingin memastikan.”Akhirnya aku mengetahui rasanya keti
Semua orang mengucapkan selamat atas pertunanganku. Aku sama sekali tidak memperdulikan mereka. Satu hal yang memenuhi pikiranku, Chef paling seksi ini adalah milikku! Aku masih belum bisa beranjak dari rasa bahagia yang meluap sejak minggu lalu. Meskipun di sosial media banyak orang membenciku, tapi aku tidak terlalu memikirkannya. Hari ini aku akan bertemu dengan Anthony. Sungguh ironis. Pada awalnya Anthony menyuruhku untuk berhati-hati kepada Hugo, namun akhirnya aku justru akan menikahinya. “Anthony, apa aku perlu membuat perjanjian pra nikah?” tanyaku. “Tentu saja. Kau memiliki aset dan saham hampir sama besar dengan Hugo. Dan ketika kalian menikah akan ada harta gono gini dari pernikahan kalian,” jawab Anthony dengan tegas. “Aku tahu, aku hanya ingin memastikan.” Akhirnya aku mengetahui rasanya ketika seseorang kusarankan membuat perjanjian pra-nikah. Kau menyerahkan hidupmu kepada seseorang, tapi tidak boleh mempercayainya. Ini sungguh ironis. “Emily, aku harus menya