Brak!! Suara pintu kamar hotel yang ditutup kencang membuat Nova berjengit kaget. Dari cermin meja rias Nova menyambut kedatangan sosok pria yang masih setia dengan setelan jas lengkap meski acara resepsi sudah berakhir dua jam lalu. "Mas Angga? Kamu dari mana, mas? Aku sudah menunggu kamu di sini sejak tadi," ucap Nova seulas senyum Nova pamerkan di hadapan suaminya. Meski Nova tak mencintai sosok yang kini menjadi suaminya, tuntutan orang tua tak bisa dielak. Nova tak memiliki kuasa untuk menolak pernikahan yang tak diinginkan. Nama baik yang ia coreng tak sebanding dengan pengorbanan yang ia lakukan saat ini. Angga menatap Nova dengan sorot tajam, "Seorang pembunuh sepertimu tidak pantas berpura-pura baik," ujar Angga sarkas sambil berdesis licik. Nova tidak mengerti kemana Angga akan membawa topik pembicaraan ini. "A-apa maksudmu?" Nova gelagapan. Tubuhnya membeku saat Angga menatapnya dalam, bahkan penuh dendam. Kekehan Angga sama sekali tidak menjawab kebingungan Nova . Ke
"Uwek!! Uwek!! Akh! Astaga."Entah sudah berapa kali Nova berusaha mengeluarkan sesuatu yang mengganjal di perutnya. Rasanya tak nyaman tiap kali hidungnya mencium aroma yang mengganggu.Nova memandang dirinya sendiri dari pantulan cermin di depannya. Beberapa titik bagian tubuhnya sudah mengalami perubahan besar sejak mengandung calon anak pertamanya dengan Angga.Usia kandungannya sudah memasuki bulan kesembilan, waktu yang sangat ditunggu-tunggu olehnya sebelum janin berjenis kelamin perempuan itu lahir ke dunia.Dengan langkah
Jika bisa memilih nasib, tentu hidup Nova saat ini bukanlah hidup yang Nova inginkan. Bayangan masa lalu masih seringkali menghantuinya. Entah sampai kapan perasaan takut dan bersalah itu akan mengisi hari-hari Nova, ia sudah pasrah dengan hidup yang harus dijalani."Kamu mau menguji kesabaranku berapa lama lagi?" Suara tinggi Angga menggema di seluruh penjuru kamar. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan dua tangannya bersedekap di depan dada.“Aku sudah selesai,” jawab Nova lantas bangkut dari kursi meja rias yang ia tempati.Dress putih polos dengan pita berukuran besar di bagian pundak Nova membuat penampilan wa
Nova menyeret Angga ke sisi ruang yang lebih sepi dengan langkah hati-hati. Gaun panjangnya ternyata cukup membatasi pergerakannya di tengah orang-orang yang menghadiri pesta.Di belakangnya Angga sama sekali tidak memberontak.“Sejak kapan kamu merencanakan hal gila itu?” Seloroh Nova tanpa basa-basi.“Rencana apa maksudmu?”“Pesta kelahiran anak kita? Kamu bahkan tidak memberitahuku untuk hal itu, Angga.”Nova frustasi. Ia pikir, setelah kelahiran anak mereka nantinya, Angga akan memberikan sedikit r
Nova terperangah saat kaitan tangannya di bisep Angga dienyahkan begitu saja ketika mereka sudah sampai di rumah.“Jangan lupa diri. Aktingmu sudah berakhir,” ujar Angga sinis kemudian melangkah lebih dulu memasuki rumah. Para pelayan menyambut kedatangan mereka dengan dua buah baki berisi selop rumahan untuk bos mereka.“Aku hanya sedang menyeimbangkan langkahku. Memakai dres panjang ini dalam keadaan hamil besar itu menyiksaku,” Nova membalas sembari bernafas lega.Di rumah, Nova tidak perlu khawatir aktingnya akan dikuliti oleh para pelayan karena sebelum mereka dipilih dan memilih untuk mengabdikan diri mereka untuk Angga, s
Nova baru pertama kali merasakan sakit yang begitu menghujam. Mulas menjalar di sekujur tubuhnya hingga ke punggung. Pikiran negatifnya semakin menjadi saat mendengar suara Angga yang naik satu oktaf disusul dengan cairan dingin turun dari area sensitifnya. "Awh, Angga. Awh! Sakit," ucap Nova meringis kesakitan. Sprei yang mengalasi kulitnya dengan tempat tidur menjadi pelampiasan Nova melepas sakit. "Kita ke rumah sakit sekarang!" Angga bergegas melepaskan belenggunya dari Nova. Terdengar panik menyusuri sudut kamar menuju lemari pakaian. Sakit semakin menjadi. Separuh tubuh Nova perlahan melemas seolah nyawanya sudah diujung kepala. Ruangan besar berukuran 5x6 meter itu terasa seperti sebuah gudang dengan kadar oksigen rendah, menyesakkan dada. Setengah kesadaran Nova masih bisa meraba pergerakan Angga yang panik melihat darah semakin mengalir deras dari pahanya. "Bangun perlahan, darahmu semakin banyak." Hampir saja Nova terjengkat kaget mendengar nada bicara Angga yang semak
“Tuan Angga, semua urusan administrasi dan media sudah saha urus.” Angga berdiri mematung di depan pintu ruang UGD dengan raut wajah datarnya yang khas. Aldo—tangan kanan pria itu melangkah gagah mendekat ketika melihat tuannya.“Pastikan tidak ada satu media pun yang tahu masalah ini. Jikapun ada kebocoran informasi, persiapkan jawaban paling masuk akal,” perintah Angga, tak mengindahkan laporan Aldo untuknya.“Baik, tuan.” Angga kembali ke mode diamnya. Aura kekuasaan yang selalu menyelimuti pria itu perlahan terkikis dengan kegelisahan yang mulai bisa diraba oleh sang asisten. Sorot mata Angga sendu, seolah ia sedang mempertaruhkan sebuah hal paling penting dalam hidupnya. Antara hidup dan mati Angga tengah digadaikan demi menebus sebuah ancaman kehilangan.“Tuan, apakah mau aku belikan kopi untuk sedikit penenang?” tanya Aldo ikut gusar. Melalui ekor matanya, Angga mengamati sosok di sampingnya, “jangan bertingkah seolah kamu dekat denganku. Jelaskan padaku hasil kerjamu hari
Nova tidak menyangka kelahiran bayinya akan lebih cepat dari perkiraan dokter. Ditambah lagi dengan cara yang tak pernah ia inginkan sebelumnya. Calon ibu mana yang tidak khawatir jika kelahiran anaknya disambut dengan adegan menegangkan antara hidup dan mati? Sepanjang iringan brankar yang ia tempati menuju ruang UGD, hati Nova terus bergemuruh dibalut kekhawatiran dan berbagai pikiran negatif yang menjajah pikirannya. Masih terasa jelas bagaimana cairan merah itu terus mengalir di antara kedua kakinya. Membuat Nova hampir tak bisa mempertahankan kesadarannya. Rasa sakit di sekujur tubuhnya tak bisa mengalahkan kegelisahan yang membelenggu Nova saat ini. Sayup-sayup pendengarannya masih menangkap suara suster yang terus berusaha membuat Nova dalam keadaan terjaga. Namun, Nova hanya manusia biasa yang bisa kalah dengan keadaan kapanpun. “Angga..” cicitnya lemah. Berharap pria yang turut mendorong tempat tidurnya sedikit peka akan kesakitan yang ia rasakan. Sayang seribu sayang, h