BAB 75"Morning sickness?" tanya Angga bingung."Ya, ada juga seorang suami yang mengalami morning sickness saat istrinya hamil." Angga sungguh tak mengerti dengan penjelasan Nova saat ini. "Bagaimana bisa aku mengalami morning sickness tapi aku tidak menghamilimu."Deg! Senyum di wajah Nova langsung hilang saat Angga mengatakan itu. Suasana diantara keduanya benar-benar canggung saat ini. "Morning sickness hanya akan terjadi pada orang yang menurunkan genetikanya ke janin yang ada di kandungan. Begitu juga dengan bayi ini," ucap Nova sambil mengelus perutnya yang masih datar. Angga menatap perut Nova beberapa saat. Kemudian beralih menatap wajah Nova. Ia baru menyadari, semenjak kehamilan Nova yang kedua, aura keibuannya semakin terpancar. Dilihat dari satu sisi saja, Angga bisa menikmati kecantikan sang istri yang semakin bersinar. Meski hanya dibalut dengan riasan tipis. Kecantikan yang memancar dari dalam diri Nova tak bisa dielakkan. Ting nong!Bunyi oven mengalihkan semua pe
Pintu kamar ditutup rapat-rapat. Seseorang di balik pintu tengah berusaha mengatur detak jantungnya yang berirama cepat. Saking cepatnya ia perlu menyentuh bagian dada kirinya seakan itu bisa membantu meredam suara jantung yang menggebu-gebu. "Huh.. huh.. huh.." sekuat tenaga Angga berusaha menormalkan ritme jantungnya tetapi hal itu justru membuat Angga lebih tersiksa. Peluh berderai deras di pelipisnya, semakin memperparah kondisi tubuh pria itu. Ruangan bernuansa serba biru itu seharusnya bisa menciptakan rasa nyaman tiap kali Angga memijakkan kakinya di sana. Tetapi, berada di kamarnya sendiri ternyata tak mendukung usahanya untuk meminimalisir sakit di dada. Setelah menghabiskan beberapa potong brownies buatan Nova, Angga memilih mengasingkan diri dari dunia luar. Selama proses masak tadi ia menahan diri dari hujaman nyeri dan sesak yang menggila di dadanya. "Ku mohon, jangan kambuh sekarang. Banyak hal yang perlu aku selesaikan lebih dulu," ucapnya memohon. Untuk pertama ka
"Apa maksudmu?" "Jangan berlagak polos, Mas. Aku hanya ingin membantumu melepaskan rasa gerah itu." Nova mengedipkan sebelah matanya genit. Entah apa yang sedang merasukinya saat ini sehingga Nova merendahkan dirinya dihadapan Angga. Menggoda pria itu dengan berlagak seperti seorang wanita penggoda.Nova tak peduli bagaimana persepsi Angga terhadap dirinya saat ini. Sesuatu dalam diri Nova mendorongnya untuk mengalihkan seluruh perhatian pria itu hanya untuknya.Antara rasa bersalah dan ajang mengikuti insting, setidaknya itu adalah salah satu upaya Nova untuk meyakinkan Angga. Angga tidak memberikan reaksi apapun, hanya menatap Nova bingung. Sedangkan Nova, kesabarannya setipis tissue. Ia menarik tangan Angga untuk mendekat ke arahnya. Tak disangka, pria itu justru menurut. Meski tak banyak kata, dari sorot mata Angga Nova bisa melihat upaya suaminya menahan sesuatu dalam dirinya.Nova mengulas senyum tipis, mulai berani mengambil alih tangan Angga dan menempelkannya di mulutnya
Dari bagaimana cara Nova membalas ucapannya, Angga tahu wanita itu sedang berusaha mengontrol dirinya dari belenggu yang mengisi pikirannya. Pertanyaan itu langsung membuat tubuh Angga panas dingin. Nyatanya, ia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Sebisa mungkin ia harus memberikan jawaban terbaik. Jawaban yang bisa membuat wanita itu sedikit merasa lega.“Sebisa mungkin aku tidak akan membiarkan diriku jatuh cinta padamu. Jikapun itu terjadi, aku tidak akan mengelak. Kau tahu aku selalu berusaha menepati janjiku,” jawab Angga. Meski terdengar seperti sebuah bualan, Angga tidak pernah main-main dengan apa yang ia ucapkan. Terdengar helaan napas berat dari sebelahnya. Siapa lagi kalau bukan Nova. Angga pikir, ucapannya barusan adalah jawaban paling netral. Tetapi, respon Nova justru sebaliknya.“Sepertinya kau tidak puas dengan jawabanku.” Angga menyambung lagi kalimatnya hanya demi memastikan apakah istrinya tengah menunjukkan respon sebenarnya atau justru merasakan
“Kau yang memancingku untuk berlaku lebih, jadi jangan salahkan aku untuk apapun,” kata Angga acuh.Kedua bantalan empuk di wajah Nova memerah. Antara malu dan perjuangannya mempertahankan harga diri kandas sudah.Sekujur tubuhnya dibanjiri peluh sebesar biji jagung. Padahal pasangan suami istri itu sudah menyelesaikan gencatan gairah mereka sejak lima belas menit lalu. Tubuh Nova dibalut sehelai handuk tebal, kuncian talinya berantakan akibat ulah Angga yang tak sabaran. Sedangkan pria itu, kini duduk di sofa malas dengan kedua kaki terjulur ke depan. Tak lupa, gaya angkuhnya yang khas menyampirkan kedua tangan di kanan kiri bahu sofa. “Seharusnya kamu mengalah sedikit. Bukankah aku yang seharusnya mendominasi tadi?” ujar Nova melayangkan protesnya pada sang suami. Kekesalannya belum juga surut karena setelah ia menggoda Angga dengan kelihaiannya melayani pria itu, kendali langsung diambil alih oleh Angga. “Bagaimana caramu melayaniku belum bisa dikatakan bagus kualitasnya. Kau s
Suasana hati Angga kacau balau setelah ia terciduk berada dalam satu ruangan bersama Nova tanpa sehelai kain pun menutupi tubuh mereka. Kelalaian Chris membawanya pada momen paling menegangkan sepanjang sejarah bekerja di bawah kepemimpinan Angga. Di depannya kini, pria penuh kharisma itu menatap setiap inchi lekukan kulitnya dengan ganas. Seolah mencari titik terawan untuk menghabiskan nyawanya. “Sejak kapan aku mempekerjakan orang yang tidak memiliki etika?” tanya Angga. Dari bagaimana pria itu bersuara, Jelas-jelas Ia sedang berusaha mengontrol diri. Lebih tepatnya tak ingin menghabiskan Chris dalam sekali terkaman. “Maafkan aku, tuan. Aku tak sengaja melakukan itu padamu. Sungguh, aku tidak bermaksud mengganggu momen intim kalian berdua. Aku pantas mati. Aku bersedia menerima hukuman untuk menebus kesalahanku.” Tubuh Chris membungkuk sembilan puluh derajat. Menggadaikan harga diri dan kelalaiannya atas tugas yang diberikan oleh sang atasan. Tetapi, Angga bukanlah orang yang mud
Gelagat aneh yang Angga tunjukan semakin mengundang rasa penasaran Nova. Wanita itu menaruh secangkir teh hangat di atas meja kerja, tepat di hadapan Angga. Masih dengan tatapan penuh selidik, ia menatap sang suami bersamaan dengan pertanyaan-pertanyaan yang memberondongi pria itu. “Siapa yang membuatmu tertarik? Kamu punya wanita lain di belakangku?” Tuduh Nova dan langsung disangkal dengan gerakan tangannya di depan wajah. Menyangkal tuduhan istrinya yang tak berlandaskan kebenaran.“Tidak ada. Tadi Chris memberikan referensi asuransi padaku. Dan tidak ada satupun yang menarik perhatianku,” jawab Angga mulus. Bakat terhebat yang ia miliki adalah mampu meminimalisir raut wajahnya yang tegang. Nova tetap tak bisa mempercayai jawaban Angga, pria itu terlalu mencurigakan untuk sekedar menutupi kebohongan kecil. “Yakin?” Angga mengangguk lemah. Tatapannya dikunci oleh Nova agar pria itu tak bisa berkutik ataupun mencoba mengalihkan perhatiannya. “Awas kalau kamu tertarik dengan wan
Nova tersenyum penuh kemenangan. Wajahnya tak lagi ramah, berganti menjadi sorot licik yang mengerikan. Di mata Angga, saat ini Nova lebih mirip dengan wanita-wanita yang dulu seringkali menggodanya. Mengajak Angga untuk melakukan hubungan satu malam hanya demi kepuasan gairah yang menuntut untuk dilepaskan.“Jawab aku, Nova. Apa yang kau lakukan padaku?”Pertanyaan itu terus saja dilontarkan Angga namun Istrinya tak kunjung memberi jawaban. Kekesalannya semakin memuncak kala melihat seringai tipis yang muncul di wajah Nova. Wanita itu seolah sedang menertawakan kekalahan Angga melawan nafsu. Emosi Angga tak bisa ia kendalikan, begitu juga dengan gairah yang semakin membuncah. Seruput teh tadi mengundang jiwa-jiwa dalam diri Angga yang sempat mati. Antara tuntutan gairah dan upaya melepaskan diri dari jebakan Nova bertolak belakang dalam dirinya. Sekujur tubuh Angga mendidih dibuatnya. Semakin ia menolak, semakin besar tuntutan di bawah sana untuk dilampiaskan. Di saat Angga mati