Dari bagaimana cara Nova membalas ucapannya, Angga tahu wanita itu sedang berusaha mengontrol dirinya dari belenggu yang mengisi pikirannya. Pertanyaan itu langsung membuat tubuh Angga panas dingin. Nyatanya, ia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Sebisa mungkin ia harus memberikan jawaban terbaik. Jawaban yang bisa membuat wanita itu sedikit merasa lega.“Sebisa mungkin aku tidak akan membiarkan diriku jatuh cinta padamu. Jikapun itu terjadi, aku tidak akan mengelak. Kau tahu aku selalu berusaha menepati janjiku,” jawab Angga. Meski terdengar seperti sebuah bualan, Angga tidak pernah main-main dengan apa yang ia ucapkan. Terdengar helaan napas berat dari sebelahnya. Siapa lagi kalau bukan Nova. Angga pikir, ucapannya barusan adalah jawaban paling netral. Tetapi, respon Nova justru sebaliknya.“Sepertinya kau tidak puas dengan jawabanku.” Angga menyambung lagi kalimatnya hanya demi memastikan apakah istrinya tengah menunjukkan respon sebenarnya atau justru merasakan
“Kau yang memancingku untuk berlaku lebih, jadi jangan salahkan aku untuk apapun,” kata Angga acuh.Kedua bantalan empuk di wajah Nova memerah. Antara malu dan perjuangannya mempertahankan harga diri kandas sudah.Sekujur tubuhnya dibanjiri peluh sebesar biji jagung. Padahal pasangan suami istri itu sudah menyelesaikan gencatan gairah mereka sejak lima belas menit lalu. Tubuh Nova dibalut sehelai handuk tebal, kuncian talinya berantakan akibat ulah Angga yang tak sabaran. Sedangkan pria itu, kini duduk di sofa malas dengan kedua kaki terjulur ke depan. Tak lupa, gaya angkuhnya yang khas menyampirkan kedua tangan di kanan kiri bahu sofa. “Seharusnya kamu mengalah sedikit. Bukankah aku yang seharusnya mendominasi tadi?” ujar Nova melayangkan protesnya pada sang suami. Kekesalannya belum juga surut karena setelah ia menggoda Angga dengan kelihaiannya melayani pria itu, kendali langsung diambil alih oleh Angga. “Bagaimana caramu melayaniku belum bisa dikatakan bagus kualitasnya. Kau s
Suasana hati Angga kacau balau setelah ia terciduk berada dalam satu ruangan bersama Nova tanpa sehelai kain pun menutupi tubuh mereka. Kelalaian Chris membawanya pada momen paling menegangkan sepanjang sejarah bekerja di bawah kepemimpinan Angga. Di depannya kini, pria penuh kharisma itu menatap setiap inchi lekukan kulitnya dengan ganas. Seolah mencari titik terawan untuk menghabiskan nyawanya. “Sejak kapan aku mempekerjakan orang yang tidak memiliki etika?” tanya Angga. Dari bagaimana pria itu bersuara, Jelas-jelas Ia sedang berusaha mengontrol diri. Lebih tepatnya tak ingin menghabiskan Chris dalam sekali terkaman. “Maafkan aku, tuan. Aku tak sengaja melakukan itu padamu. Sungguh, aku tidak bermaksud mengganggu momen intim kalian berdua. Aku pantas mati. Aku bersedia menerima hukuman untuk menebus kesalahanku.” Tubuh Chris membungkuk sembilan puluh derajat. Menggadaikan harga diri dan kelalaiannya atas tugas yang diberikan oleh sang atasan. Tetapi, Angga bukanlah orang yang mud
Gelagat aneh yang Angga tunjukan semakin mengundang rasa penasaran Nova. Wanita itu menaruh secangkir teh hangat di atas meja kerja, tepat di hadapan Angga. Masih dengan tatapan penuh selidik, ia menatap sang suami bersamaan dengan pertanyaan-pertanyaan yang memberondongi pria itu. “Siapa yang membuatmu tertarik? Kamu punya wanita lain di belakangku?” Tuduh Nova dan langsung disangkal dengan gerakan tangannya di depan wajah. Menyangkal tuduhan istrinya yang tak berlandaskan kebenaran.“Tidak ada. Tadi Chris memberikan referensi asuransi padaku. Dan tidak ada satupun yang menarik perhatianku,” jawab Angga mulus. Bakat terhebat yang ia miliki adalah mampu meminimalisir raut wajahnya yang tegang. Nova tetap tak bisa mempercayai jawaban Angga, pria itu terlalu mencurigakan untuk sekedar menutupi kebohongan kecil. “Yakin?” Angga mengangguk lemah. Tatapannya dikunci oleh Nova agar pria itu tak bisa berkutik ataupun mencoba mengalihkan perhatiannya. “Awas kalau kamu tertarik dengan wan
Nova tersenyum penuh kemenangan. Wajahnya tak lagi ramah, berganti menjadi sorot licik yang mengerikan. Di mata Angga, saat ini Nova lebih mirip dengan wanita-wanita yang dulu seringkali menggodanya. Mengajak Angga untuk melakukan hubungan satu malam hanya demi kepuasan gairah yang menuntut untuk dilepaskan.“Jawab aku, Nova. Apa yang kau lakukan padaku?”Pertanyaan itu terus saja dilontarkan Angga namun Istrinya tak kunjung memberi jawaban. Kekesalannya semakin memuncak kala melihat seringai tipis yang muncul di wajah Nova. Wanita itu seolah sedang menertawakan kekalahan Angga melawan nafsu. Emosi Angga tak bisa ia kendalikan, begitu juga dengan gairah yang semakin membuncah. Seruput teh tadi mengundang jiwa-jiwa dalam diri Angga yang sempat mati. Antara tuntutan gairah dan upaya melepaskan diri dari jebakan Nova bertolak belakang dalam dirinya. Sekujur tubuh Angga mendidih dibuatnya. Semakin ia menolak, semakin besar tuntutan di bawah sana untuk dilampiaskan. Di saat Angga mati
Angga menciptakan jarak untuk dirinya dan Nova. Miliknya yang masih berada di tubuh Nova ditarik kasar, menimbulkan erangan perih dari mulut Nova. Ia memakai kembali celana piyama tidurnya. Beralih melangkah menuju jendela besar dengan pemandangan langit malam yang indah. “Bukankah kamu yang ingin memantaskan diri sebagai seorang istri? Aku hanya mengikuti kemauanmu. Lantas kenapa sekarang kamu justru memojokkanku?” Ada nada kecewa dalam ucapan Angga. Sengaja ia tekankan kekecewaannya karena tak ingin harga diri sebagai suami turun di mata Nova. Angga sendiri tak tahu sejak kapan dirinya mulai sering memperhatikan setiap detail tengan Nova. Atas dasar memantaskan diri menjadi sepasang suami istri, Angga hanya perlu memenuhi nafkah lahir dan batin untuk Angga.Tetapi kini, wanita itu justru menyudutkan Angga dengan pertanyaan konyolnya. “Salahkah jika aku berharap kita bisa menikmati rumah tangga ini? Aku tidak akan memaksa kamu untuk mencintaiku. Aku hanya minta kamu mengakui bahw
Dinginnya ruangan memanggil seluruh kesadaran Angga untuk segera membuka mata. Suara gemericik air hujan menggoda pendengarannya. Di luar hujan masih setia membasahi bumi. Menumpaskan kesedihan dalam hati setiap orang tak terkecuali Angga.Ia belum sepenuhnya membuka mata saat merasakan kepalanya berada di tempat yang terasa asing. Sialnya, meski asing, pijakan kepalanya saat ini justru membawa Angga pada mimpi indah yang belum pernah ia jamah sebelumnya. Angga mengumpulkan serpihan-serpihan kesadarannya. Langit-langit kamar adalah yang pertama kali Angga lihat. Jam di dinding kamarnya menunjukkan pukul enam. Ia baru menyadari, tempat tidur yang seharusnya ia jelajahi sendirian, kini terasa sempit. Bersama segenap kekuatan yang sudah terkumpul Angga menoleh ke samping. Pandangannya beradu dengan dua gundukan kembar yang membuatnya langsung membelalakkan kedua bola matanya. Refleks keterkejutannya membawa Angga merubah posisinya menjadi duduk. Dahi berkerut dan wajahnya menegang saa
Nova tidak mengerti dengan maksud ucapan suaminya. Angga terlalu banyak menyimpan rahasia. Baru saja Nova hendak membuka mulut, dering ponsel Angga membuatnya kembali mengatupkan mulutnya. Ditambah lagi isyarat tangan Angga yang terpampang di depan wajah Nova semakin menghalau niatnya untuk bicara. Apa lagi yang bisa Nova lakukan selain diam dan membiarkan Angga menerima panggilan telepon dahulu. Padahal, Nova sangat ingin tahu bagaimana Angga bisa mengatakan sebuah hal tanpa bukti seakan menuduhnya melakukan pengkhianatan di belakang? Sungguh, Nova seperti tak bisa menjamah isi pikiran suaminya saat ini. Terlalu banyak hal yang Angga sembunyikan. Semakin banyak ia mempertanyakan sikap suaminya, semakin sakit pula hasil yang ia terima. “Apa?! Kenapa kau tidak memeriksanya terlebih dahulu? Apa saja yang kau lakukan selama ini hah?!” Makian Angga pada seseorang di telepon membuat Nova berjengit kaget. Pagi yang harusnya dilewati oleh kebahagiaan berubah kelabu. Bentakan Angga tadi c