Semilir udara dari pendingin ruangan membuat sekujur tubuh yang terbaring di atas ranjang itu meremang. Pemandangan langit-langit adalah benda pertama yang ditangkap oleh lensa indah keoranyean milik wanita berusia dua puluh sembilan ini. Kepala berdenyut nyeri, meski seingatnya tak ada pemicu fatal atas rasa sakit yang ia rasakan sekarang.“Apa yang terjadi? Dimana aku sekarang?” Pandangan Nova mengedar ke sekitar dengan sorot bingung. Sesekali memicingkan mata demi memicu ingatan terakhir kali kejadian yang menimpanya. Suasana di ruangan itu terasa asing. Saat mengedarkan pandangannya ke sekitar, tak satu hal pun yang mampu membantu Nova mengenal jejaknya di sana.Ia memilih bangkit dari tempat tidur berukuran besar dan mewah itu. Tubuhnya masih cukup lemas untuk diajak beraktivitas bahkan hanya untuk menjamah kamar luas yang ia tempati sekarang. Nova keluar dari kamar. Dengan langkah mengendap-endap bagaikan seorang pencuri yang hendak menjarah rumah itu. Keadaan di sana sepi, b
Langit mendung ketika Nova sampai di rumah. Rintik gerimis perlahan jatuh mengenai permukaan jendela. Nova melangkah gontai memasuki rumah besar yang didominasi ornamen putih itu. Menghabiskan waktu selama dua jam di luar rumah ternyata cukup menguras energinya. “Nyonya baru pulang? Mau saya siapkan air hangat untuk mandi?” Seorang pelayan jaga cukup sigap menyambut kedatangan Nova. Pakaian serba hitam lengkap dengan celemek mini warna putih adalah pemandangan Nova sehari-hari. Ia terus melangkah, hingga menaiki beberapa anak tangga menuju lantai dua kemudian berkata, “tidak perlu, mbak. Aku akan menyiapkannya sendiri, terima kasih.” “Baiklah kalau begitu, nyonya. Oh iya, nyonya. Tadi ada kiriman karangan bunga lagi.” Langkah Nova seketika terhenti saat mendengar informasi itu. Seakan ada magnet yang menarik dirinya untuk menoleh ke arah sang pelayan.“Dari pengirim yang sama?” tanyanya. Pelayan itu mengangguk cepat. “Iya, nyonya. Bunganya sudah saya taruh di kamar biasa.” Nova
Sepasang suami istri itu kini duduk di dua sisi tempat tidur yang berbeda. Suasana langsung berubah canggung saat adegan ranjang panas mereka berakhir. "Kamu yakin dengan ucapanmu tadi, mas?" tanya Nova. Ia tak yakin hatinya bisa menerima kenyataan itu dengan baik. Di tengah berkali-kali perasaannya dihempaskan oleh rasa sakit. Di sisi lain tempat tidur, Angga menyandarkan punggung kekar itu pada bantalan kepala ranjang sambil menatap sang istri. "Apakah aku harus mengatakannya sekali lagi? Aku bukan orang yang suka bermain dengan kata-kataku sendiri." Angga bereaksi. Tepat ketika pengakuan itu terlontar dari mulutnya, beban di dada rasanya terangkat sempurna. Pulang ke rumah dengan kondisi pikiran dan hati yang berantakan, membawanya pada sebuah situasi baru dimana kini Nova mengetahui isi hati Angga yang sesungguhnya. Sekian lama meyakinkan diri, pada akhirnya perasaan itu terungkapkan juga. "Kalau kau belum yakin, aku akan memberikanmu tawaran." Angga memutar tubuhnya ke sisi
"Kas perusahaan semakin anjlok. Para investor mulai mencabut dana investasi mereka. Kalau terus seperti ini, kita bisa bangkrut." Pria berkacamata di depan Angga gagal menyembunyikan kekhawatirannya akan kemungkinan terburuk. Deretan Angka warna merah di laporan membuat bulu romanya berdiri tegak. Sesekali menggelitik perut Chris hingga mulas. Bagaimana tidak? Ancaman pemutusan hubungan kerja secara sepihak ada kini terpampang di depan mata. Namun, sosok di balik kejayaan Savers Company sepuluh tahun ke belakang itu justru tak menunjukkan reaksi apapun.Wajahnya sedatar jalan tol. Sorot matanya tajam menyapu pandangan pada apapun yang ada di atas meja kerja. Kedua tangannya terpaku di atas penyangga lengan kursi. "Bagaimana ini, pak? Langkah apa yang akan bapak ambil untuk menghalau kemungkinan terburuk?" tanya Chris tak cukup sabar. Dalam kondisi kritis seperti ini, bosnya masih bisa bersikap tenang. "Sudah sejauh mana dampak ini berpengaruh?" Setelah sekian lama bungkam, akhirnya
"Emmh.." "Cup!" "Cup!" "Emmh.. Angga.." lenguhan Nova tertahan di ujung lidahnya yang terkunci.benda kenyal yang kini menempel di bibirnya menjelajah hampir setiap suduh rongga mulut Nova dengan gerakan sensual. Sesekali Nova menggelinjang sambil melolongkan lenguhan dalam karena sensasi menggila yang terasa membakar tubuhnya. Padahal, Angga hanya mencumbunya di satu titik. Bunyi kecapan bibir Angga menandakan adegan pembuka yang ia lakukan telah usai. Nova menyeka sisa jejak jajahan lidah Angga di sudut bibirnya dengan perasaan tak rela. Meski singkat, pagutan itu sungguh memabukkan. Angga tersenyum lebar. Sangat kontras dengan reaksinya saat pertama kali melihat kedatangan Nova tadi."Kau terlihat sangat menikmatinya. Kalau begitu, tunggulah hingga aku sampai di rumah, kita akan melanjutkannya dengan leluasa," bisik Angga tepat di telinga Nova kemudian beranjak dari sisi wanita itu. Gurat merah ranum di pipi Nova cukup menjadi bukti kalau Nova tak mengelak pernyataan Angga ba
Angga masuk ke ruang kerjanya dengan langkah gontai setelah berinisiatif mengantar Nova pulang ke rumah. Kedatangannya di sambut oleh Chris yang melangkah mendekati Angga. Pria itu nampak antusias akan suatu hal yang belum Angga ketahui. "Pak Angga, akhirnya kau datang juga," ujar Chris dengan napas terengah karena tak bisa menahan antusiasme.Dahi Angga mengernyit. Itu bukanlah sebuah penyambutan yang epik untuk dilakukan. “Ada apa? Aku sedang tidak menerima negosiasi apapun saat ini. Jadi katakan saja apa yang mau kau katakan,” ucap Angga sambil melanjutkan langkahnya menuju meja kerja. Urusan rumah tangganya belum selesai. Banyak dosa yang harus Angga tebus atas perlakuannya terhadap sang istri.“Aku sudah menemukan pelaku dibalik penyebaran berita rumah tanggamu, pak.” Berita yang dibawa oleh Chris langsung membuat Angga menaruh seluruh fokusnya pada pria itu. Kacamatanya memantulkan gambaran diri Angga di sana. Membuat Angga bisa menatap bagaimana kondisinya sendiri saat ini
“Hanya pengecut yang akan bermain curang. Aku tidak akan membiarkan kau membohongi Nova terus menerus!” Setelah ucapan itu keluar, pintu ruang kerja Angga tertutup. Teriakan pria itu sama sekali tak digubris oleh Aldo yang pergi diselimuti amarah yang tak terluapkan. Berbanding terbalik dengan Angga. Pria itu kini memamerkan senyum liciknya dengan bangga. Jelas ia memenangkan debat hari ini hanya dengan beberapa untaian kata.Di sisi lain, sejak perdebatan antara Aldo dan Angga terjadi, ada sosok lain yang bertugas sebagai saksi. Di bali meja kerjanya di sudut ruang kerja itu, Chris berperan sebagai pengintai. Wajah polosnya mungkin tak akan membuat orang lain curiga bahwa pria itu memiliki kemampuan analisis yang sangat tajam. “Kau serius membiarkannya pergi, pak? Kenapa tidak lapor polisi saja?” Chris kembali bersuara. Dengan sekian banyak kemungkinan yang bisa Angga lakukan untuk membalas balik, di luar dugaan pria itu justru membiarkan tersangka atas pencemaran nama baiknya be
“Aku tidak bisa sembarang memutuskan, Aldo. Bagaimanapun aku harus membicarakan rencana ini dulu dengan Angga,” ucap Nova mulai tak nyaman sejak Aldo mendesaknya untuk ikut pergi bersama pria itu. Bahkan kini, Aldo tengah bersimpuh di sisi Nova memohon agar permintaannya dipenuhi oleh Nova. Jujur Nova bingung sekaligus tercengang mendengar pernyataan yang keluar dari mulut Aldo tadi. Semuanya terasa tak nyata. Bahkan Nova sendiri tidak pernah membayangkan itu akan terjadi. Bagaimana bisa Angga menghabisi nyawa adiknya sendiri? Apa tujuannya.Berbagai pikiran sudah memenuhi kepala Nova hingga menimbulkan denyut nyeri di beberapa sisi. Jika saja Nova tidak berusaha menjaga kesadarannya, ia pasti sudah tumbang. “Percayalah padaku, Nova. Ini semua hanya tipu daya Angga untuk menjadikanmu tameng.” Aldo berkata lagi. Kali ini terdengar lebih serius dan pria itu mulai menunjukkan gelagat gelisah. “Apa kamu tega melihat Celva menjadi tameng Angga juga. Angga bisa memanipulasi kenyataan ap