Sepanjang perjalanan pulang menuju apartemen, suasana di dalam mobil yang Nova tumpangi hening. Menatap ke luar jendela mobil, pemandangan kota ternyata jauh lebih indah dibandingkan bayangan masa depannya bersama sosok pria di samping Nova sekarang.Tidak ada yang menjamin pernikahannya dengan Mark berujung bahagia di tengah restu yang tak kunjung terikat di dalam hubungan mereka.Sesuai dugaan Nova sebelumnya. Pertemuan kedua dengan orang tua Mark kali ini akan berakhir sama. Sama-sama merendahkan harga diri Nova. Nova mendesis ketika desakan di perutnya terasa semakin brutal. Kegelisahan yang sedang ia rasakan berdampak pada reaksi janin dalam kandungannya.“Nova, kamu kenapa? Perutmu sakit?” Suasana berubah cair karena pergerakan Nova terlihat tak nyaman. Sambil mengendalikan kemudi mobil, sesekali pandangan Mark beralih pada jalanan dan Nova secara bergantian. Sebelah tangannya terulur mengelus perut buncit Nova. Sekedar memberikan ketenangan pada malaikat kecil yang bersemayam
Lift membawa Nova bersama sosok pria asing yang tiba-tiba menyapanya. Kernyitan di dahi Nova semakin rapat, berusaha menggilir ulang jejak ingatan pada beberapa momen sebelumnya.“Maaf, apa kamu mengenal saya?” tanyanya. Sudah tahu memori otaknya belakangan ini tidak bekerja cukup baik, Nova masih memaksa ingatannya untuk bekerja lebih keras. Menimbulkan efek pening yang menjalar hingga ke belakang lehernya. Tubuh Nova hampir oleng, kurang istirahat adalah salah satu dari sekian banyak alasan menurunnya imun. Tangan besar di punggungnya sigap menahan, seakan tahu kondisi kesehatan Nova sedang tidak baik-baik saja. “Kamu baik-baik saja?” tanya pria itu. Sorot dari bola mata keabuan miliknya memeluk Nov dengan hawa panas dan dingin secara bergantian. Otot-otot di tubuh Nova seolah kaku saat pandangannya bertemu dengan manik indah di depannya selama beberapa detik–tak kunjung bangkit dari posisi nyaman dalam kurungan bisep kekar itu. Sadar ini salah, Nova lantas menarik tubuhnya. Berp
Degup jantung berdetak kencang. Buru-buru kunci unit apartemennya dikunci dua kali. Nova membangun dinding pembatas antara dirinya dengan pria yang tinggal disebelah.“Memalukan! Kapan sih kamu tidak bersikap ceroboh, Nova?” Nova merutuki sekian banyak kebodohan yang sudah ia lakukan tadi. Bermonolog sepanjang koridor lantai ini. Membahas hal-hal absurd yang tiba-tiba melintas di pikirannya begitu saja, tanpa tahu kalau di belakangnya, sosok pria yang baru ia kenal mengikuti langkah Nova. Dadanya masih bergemuruh ketika Nova memutuskan untuk membersihkan diri di kamar mandi. Tumpukkan handuk di lemari dirampas salah satunya, dan ditenteng menuju ruangan besar dekat tempat tidur. Guyuran air shower seolah meluruhkan segala pikiran Nova tentang Mario. Pria yang kini hanya dibatasi oleh sekat dinding yang cukup tebal. Bersyukurlah, unit apartemen ini memiliki kualitas yang sangat baik dalam hal memberikan kenyamanan sekaligus melindungi privasi penghuninya.Enyahnya pikiran tentang Mar
Kenyataan hidup terlalu kejam hingga Angga hampir tak bisa menyeimbangkan antara realita dan ilusi. Ditinggal sosok yang ia cintai jauh lebih sakit dibandingkan kehilangan keluarga. Menatap nanar pemandangan kota di siang hari. Bersama secangkir kopi panas yang ia bikin dengan mesin kopi otomatis, di sinah Angga berada sekarang. Berdiri tegap di sisi jendela besar yang membatasinya dengan hiruk kota. Pandangan Angga memindai suasana bawah sana, orang-orang sibuk berlalu lalang. Berlomba dengan waktu hanya untuk menikmati udara segar barang sekejap. Sambil menyesap sisa kopinya hingga tandas, Angga menarik ingatannya pada momen awal dimana untuk pertama kalinya, Angga mengenal sosok sang istri. Lima tahun lalu..Semua orang berlomba-lomba untuk menemukan peruntungan dari setiap ketukan pintu lobi. Barisan orang-orang terlihat menatap khawatir ke arah resepsionis di dalam salah satu gedung paling ikonik diantara deretan gedung dengan popularitas yang tak kalah epik. Angga baru saja
“Pak Angga, rapat akan segera dimulai. Apakah bapak sudah siap?” Suara Chris berhasil memecah keheningan yang menyelimuti ruangan itu. Angga berbalik, seiringan dengan serpihan lamunan yang buyar berserakan di kepalanya. “Aku sudah siap.” Ruang rapat Sudah dihadiri oleh beberapa.komisaris perusahaan. Semua mata tertuju pada Angga ketika langkah kakinya memasuki ruangan besar itu.Sorot keji dan tak suka sudah menghujani Angga sejak kedatangannya beberapa saat lalu. “Selamat pagi dan selamat datang di rapat pemulihan kali ini. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih pada semua pihak yang sudah menyempatkan waktu untuk hadir di sini.”Dibalik podium, dalam balutan jas biru tua dan dasi putih berbahan satin. Rambut kecoklatan mengkilap elegan terkena sinar matahari yang menyibak dari balik jendela besar di belakangnya. Penuh percaya diri, Angga menyapu pandanganya pada wajah-wajah yang hampir hengkang dari atas kursi yang mereka tempati. “Bagi siapapun yang sudah berniat untuk mencabut
Dua sahabat itu masuk ke dalam sebuah kafe bernuansa minimalis. Bangunannya sengaja dikonsep bergaya home industri. Tumpukkan batu bata merah menjadi pilar yang menopang rangka bangunan kafe. Sekaligus menjadi pusat estetika yang menarik perhatian Ameera. Langkah pertamanya Ameera habiskan hanya untuk memandangi setiap detail bangunan kafe itu. Terlalu takjub dengan ide yang ada di kepala si pemiliknya. “Aku yakin pemilik kafe ini adalah orang yang punya selera desain yang sangat bagus,” ucap Ameera bergumam. Ia berdiri di belakang Vira yang sedang memesan minuman dan beberapa cemilan untuk mereka berdua. Setelah membayar, Vira membalikkan tubuhnya, menatap Ameera yang masih sibuk dengan aktivitasnya. “Dengan begitu kamu kelihatannya nyaman dengan pilihanku.” “Seperti yang aku bilang, aku selalu puas dengan seleramu.” Tepukan di pundak Ameera mengisyaratkannya untuk mengikuti langkah sahabatnya. Vira memilih meja yang berdekatan dengan jendela sehingga mereka bisa sedikit mencu
“Sayang, ini aku. Tolong bukakan pintunya.” Suara seseorang dari luar unit apartemen Nova membuatnya melangkah terburu-buru. Bathrob terlepas dari kulit tubuh Nova yang mulus. Langkahnya melambat, sambil melirik ke arah lubang pintu. Sialnya, cctv tamu yang seharusnya bisa memudahkan Nova untuk mencari tahu siapa sosok di depannya itu rusak. Nova harus memanggil teknisi apartemen untuk membuatnya bekerja lagi dengan baik. Dan ini sudah malam.Ceklek.Pintu terbuka, Nova dengan malu-malu memberikan jarak antara dirinya dengan pintu. Memberikan akses untuk Mark masuk ke dalam hunian mewah ini.“Hmm, aroma bunga. Aku suka aromanya. Biar kutebak, kau pasti baru selesai mandi. Bukan begitu?” Kedua mata Nova mengerjap beberapa kali. Ada setitik debu yang tiba- tiba mengusik pandangan ketika Mark mengatakan itu. Ia tak berniat untuk.mendekat, memilih diam di tempatnya sejak beberapa saat lalu. Sebelah alis Mark naik, “Kenapa kamu masih di situ, sayang?” tanyanya.“Ah ya, aku lupa. Kamu
Harap-harap cemas Bryan menunggu hasil pemeriksaan dokter pada Kania.Di ruangan yang di dominasi warna putih itu, Bryan menyaksikan setiap detail pemeriksaan yang dilakukan dokter pada istrinya. Di saat yang bersamaan, Kania menolehkan kepalanya ke samping, tepat ke arah Bryan yang menatapnya lamat.“Om kenapa melihatku dengan tatapan seperti itu?” tanya Kania polos. Suaranya langsung mengalihkan perhatian sang dokter yang baru selesai memeriksa kondisi tubuhnya. Pertanyaan Kania dibalas oleh sorot tajam dari Bryan. Pria itu memicingkan kedua matanya tanda tak setuju kalau Kania memanggilnya dengan sebutan om di depan semua orang. “Sudah selesai, Bu Kania.” kata dokter. Pura-pura tak mempedulikan perseteruan sengit diantara Kania dan Bryan. “Terima kasih, dok.” Kania turun dari tempat tidur dibantu oleh seorang perawat. Wajahnya masih pias karena demam. Bryan tak lantas diam saja di tempatnya. Pria itu membantu sang istri untuk mencari posisi nyaman dalam duduknya. “Bagaimana? A