Manan berjalan menuju ruang rawat Safia setelah melihat putranya, bayi itu tidak mau meminum susu formula dan selalu menangis. Ia ingin Safia membantunya dengan memberikan putranya AsI. Tanpa sengaja ia tadi melihat pakaian Safia basah di bagian dadanya dan berharap adik iparnya itu mau membantunya.
Sesampainya di depan pintu ruangan Safia ia pun membukanya alangkah terkejutnya dia, saat pintu terbuka. Darah mengalir dari pergelangan tangan Safia cukup banyak dan wanita itu mulai terlihat pucat serta lemas, ia berlari ke arah ranjang Safia menekan berkali-kali tombol memanggil dokter atau perawat sambil menggenggam tangan wanita itu, berharap darah tidak terlalu banyak mengalir."Apa yang kau lakukan? Kau tahu ini tindakkan dosa, kau tahu bukan?" teriaknya menggelegar.Dokter pun datang dan melihat apa yang terjadi ia terkejut dan segera melakukan tindakan untuk menghentikan pendarahannya.Safia kecewa apa yang dia inginkan tidak terwujud, setelah dokter itu pergi Safia menatap tajam pada Kakak iparnya itu."Kenapa kau menyelamatkan aku? Aku tidak ingin hidup lagi! Aku ingin menyusul suami dan anakku, urusi saja hidupmu sendiri dengan Mbak Laila dan putramu itu!" teriaknya putus asa."Dengarkan Aku, Fia! Kau masih muda, suatu saat nanti kamu akan bertemu jodohmu kembali, jangan bertindak bodoh suami dan anakmu akan bersedih melihatmu seperti ini. Setidaknya hiduplah untuk anakku, keponakanmu yang masih membutuhkan Asi. Laila tidak bisa memberikannya, tolonglah dia tidak mau minum susu formula," ucap Manan mengiba setelah mengeraskan suaranya."Kenapa, Mbak Laila tidak bisa menyusui, apa ASInya tidak mau keluar? Kenapa justru aku yang kehilangan anak yang melimpah? Dunia sungguh tidak adil, aku ingin pergi dari dunia ini, Mas Manan. Aku tidak ingin hidup lagi. Aku sudah tidak punya cinta, sudah habis mereka tidak ada di sisiku, Huhuhu ...." Terdengar isak tangisnya."Kau tidak boleh mendahului takdir, Fia! kau harus bisa mengikhlaskannya, kasihan suami dan anakmu!"teriak Manan sambil pergi meninggalkan Safia sendirian di ruangannya yang masih menangis meratapi hidupnya.Tak lama kemudian pria itu kembali keruangan Safiah dengan menggendong putra yang tak mau berhenti menangis."Fia, lihatlah dia dari tadi menangis aku tidak tahu harus apa? Tolonglah!" pinta Manan menghiba"Baiklah, bawa dia ke mari dan tolong panggilkan suster," pinta Safia.Manan berjalan menuju ranjang Safia ia memberikan putranya ke gedongan Safia. lalu menekan tombol memanggil suster atau pun dokter.Sungguh aneh bayi kecil itu pun berhenti menangis dalam dekapan Safia. Saat suster datang Manan menjelaskan apa maksud memanggil suster ke ruangan itu dan suster pun mengerti.Suster berjalan menghampiri Safia sedangkan Manan keluar ruangan itu. Kemudian, suster membantu Safia mengarahkan mulut si kecil kepada sumber makanannya. setelah bayi Itu menyesap dengan sangat lahapnya. seolah mengatakan ia sedang lapar.Air matanya merembes keluar, sungguh dia merasakan sesuatu yang luar biasa. Merasa jiwanya tenang dan merasa dibutuhkan. Setelah suami dan anaknya meninggal tidak ada kehidupan di dirinya lagi. Sekarang hati dan jiwa terketuk.Setelah kenyang bayi itu pun tertidur, Safia menaruh bayi di ranjangnya di sebelah dia berbaring.Manan melihat dari celah pintu yang terbuka sedikit. Melihat sang putra sudah tertidur lelap ia pun legah.Pria itu mengusap wajah dengan sangat kasar. Ia tidak tahu bagaimana cara mengatakan pada Safia tentang Laila.Sampai sekarang Safia belum tahu kalau kakaknya itu telah meninggal. Lalu bagaimana besok jika tidak pulang bersama Laila.Manan membaringkan tubuhnya di kursi panjang lalu memejamkan matanya, tak lama kemudian terlelap dan terbangun saat azan subuh berkumandang dan ia pergi ke masjid rumah sakit setelah itu kembali ke ruangan Safia.Ia mengetuk pintu, khawatir saat masuk ruangan itu, Safia sedang memberikan ASI pada putranya itu."Masuk!" perintah Safia."Bagaimana keadaanmu?" tanya Manan pada wanita itu."Aku baik, trimakasih telah membawa keponakanku ke mari ia sangat tampan, Siapa namanya?" tanya Safia."Aku belum memberikan nama untuknya, boleh aku membawanya ke ruang bayi agar bisa di mandikan?" tanya manan pada Safia."Boleh," jawabnya sambil mengambil bayi lelaki itu dan di serahkan pada Manan.Manan menggendong putranya dengan sangat hati-hati lalu keluar dari ruangan itu menuju ruangan bayi.Hari berganti hari tidak terasa Safia sudah tiga hari berada di rumah sakit dan ia mulai berkemas untuk pulang tidak banyak pakaian yang harus dibawa pulang karena hanya tiga potong baju saja yang dibawakan oleh kakak iparnya.Manan datang ke ruangan Safia dengan menggendong anaknya. "Apa kau sudah siap?""Iya, Mana mbak Laila?" tanya Safia"Dia sudah pulang lebih duluan," jawab dengan tenang."Loh, dengan siapa? Kenapa tidak sama-sama saja?" tanya Safia."Dengan Ayah, Laila belum bisa berjalan dia harus memakai kursi roda jika sama-sama dengan kita akan sedikit merepotkan, aku kan sedang menggendong Ammar," ucap Manan berbohong."Baiklah, ayo kita pulang!" ajak Safia meraih Ammar dari gendongannya MananMereka pun keluar dari rumah sakit lalu mereka menaiki mobil dan berjalan meninggalkan rumah sakit. Di tengah perjalanan Safia terheran karena jalan yang dilewati bukan jalan pulang."Kita mau kemana?" tanya Safia."Kita pergi di suatu tempat. Ayah dan Ibu sudah menunggu di sana," ucap Manan."Kenapa Tidak kau katakan saja kita pergi kemana, mas?" protesnya sambil menatap tajam pada sang kakak ipar."Kau akan tahu sendiri nanti," ucapnya tenang.Mobil pun berhenti di sebuah pemakaman umum dan di sana sudah menunggu orang tua Safia. "Kita Kesini?"Manan mengambil alih Ammar dari gendongan Safia dan turun dari mobil lalu ia berjalan menghampiri mertuanya dan menitipkan putranya setelah mencium punggung tangan mereka.Safia masih bingung, sebenarnya untuk apa kakak iparnya membawanya ke mari tetapi ia tetap mengikuti kakak iparnya itu hingga dia pun terkejut dengan sebuah pusaran yang bernamakan Laila binti Manaf dan ada lagi bernama Wulan binti Arkan.Safia terpaku menatap nisan itu kakinya seperti membeku Lidahnya menjadi Keluh ia menatap sang kakak ipar dengan tatapan tajam."Inikah yang kau sembunyikan dariku, Mas? Kenapa tidak kau katakan saja? Kau kira aku Rapuh? tanyanya pada Manan."Bagaimana aku bisa katakan padamu, Fia ? Lidahku sendiri saja terasa keluh, aku tak sanggup mengatakannya," ucap Manan"Lalu dimana makam suamiku?" tanya Safia"Dia dimakamkan di tempat khusus itu sebabnya waktu kamu kesakitan kemarin mereka bersikeras meminta tanda tanganmu dan setelah itu kau pingsan. Apa kau tidak ingat itu?" tanya Manan pada Safia.Dia kembali termangu terduduk di depan nisan dengan kaki yang lemas, setengah jam kemudian ia menatap Manan. "Antarkan aku ke makam suamiku," pintanya dengan suara lirih."Aku tidak bisa, Safia," ucap Manan, sesungguhnya pria itu curiga tentang sesuatu hal yang belum bisa ia pastikan sebab menurut tetangga mereka tidak diperbolehkan mengantar sampai lokasi pemakaman dan hanya bisa sampai keluar pintu gerbang rumah mertuanya saja."Apa yang kau sembunyikan lagi dariku Mas Manan?" tanya Safia pada pria itu.Manan terdiam tak mampu berkata apa-apa lagi ia hanya berjalan pergi menuju mobil tanpa menghiraukan rengekan Safia yang semakin membuatnya pusing.Mobil berjalan dengan kecepatan sedang, Manan hanya terdiam saat Safia merengek untuk minta diantar ke makam Suaminya. Hingga tiba di rumah yang sangat besar dan di sebelahnya ada makam Keluarga yang di jaga ketat."Mas Manan ini di mana?" tanya Safia."Di sanalah suamimu di makamkan Itu menurut info yang aku tahu," ucap Manan."Mana mungkin? Mas Akran itu tinggal di rumah yatim piatu," jawab Safia sambil mengeryitkan dahinya."Cobalah dulu jika tidak bisa langsung kembali kesini," Saran Manan."Baiklah!" ucap sambil turun dari mobil ia pun berjalan mendekati sekuriti yang menjaga pemakaman itu dan mulai berdebat dengan mereka tetapi akhirnya Safia kembali dengan wajah kesalnya.Wanita itu membuka pintu mobil dan menutupnya sangat kasar serta menghentakkan pantatnya dengan sangat keras."Aku sangat kesal mereka tidak membolehkanku masuk. Kenapa aku tidak tahu apa-apa tentang Mas Akran, ya?," gerutunya .Manan hanya diam dan menyalahkan kembali mobilnya berjalan berbalik arah. Sedangka
Manan meneguhkan hatinya ia berjalan keluar rumah mantan mertuanya itu dengan membawa serta Amar di gendongannya dan masuk kedalam mobilnya kemudian berjalan meninggalkan rumah itu.Safia menangis tergugu, ia sudah sangat mencintai Amar dan menganggap putranya sendiri jika dia di pisahkan itu sama artinya memutus urat nadinya.Ia tak sanggup berdiri membuat Manaf ayah Safia iba pada putrinya. Lelaki itu mengusap kasar wajahnya langsung menghampiri putrinya itu dan menggendongnya membawanya naik ke lantai atas ke kamar Safia.Sesampainya di sana sang Ayah mendudukkan di ranjang lalu keluar mencari dan memanggil bik Mina untuk membantu mengurut kaki Safia yang terkilir.Bik Mina dengan cepat masuk ke dalam kamarnya dan mengambil minyak urut lalu berjalan menaiki tangga menuju kamar Safia, ia pun masuk setelah safia mengijinkannya..Bik Mina mulai memijat kaki Safia, ia menaruh Iba kepada wanita itu. Sudah ditinggal suami dan anaknya sekarang harus dipisahkan dengan bayi yang telah diraw
Orang tua Safia dan Manan pun datang mereka berembuk dengan warga, dan akhirnya warga pun pulang karena sudah ada keputusan bahwa besok pagi Manan harus menikahi Safia di rumah mantan mertuanya itu.Itu semua tidak luput dari akal-akalan orang tua Manan agar lelaki itu tidak dapat mengelak tetapi dengan terjadinya kejadian itu membuat Manan semakin membenci Safia karena wanita itu tidak melatih anaknya untuk bisa minum ASIP di botol dan karena itu Amar menjadi tergantung dengan Safia hingga dia harus menikahi wanita itu.Safia di ajak pulang oleh orang tuanya bersama Amar karena bayi itu menangis lagi ketika terdengar ribut-ribut di rumah Manan.Manan terlihat sangat kacau ia menatap tajam kedua orang tua itu. Ia yakin semua itu ada sangkut pautnya dengan mereka dan Kenapa tiba-tiba sopirnya tidak ada di tempat lalu warga berdatangan dan menggedor rumahnya."Jangan tanya kami, itu kesalahanmu sendiri yang sudah teledor jadi bertanggung jawablah," ucap Sang Ayah pada Manan lalu mengaja
Mata Safia menatap manan penuh dengan ketakutan, ia tidak percaya lelaki yang dikenal lembut itu kini terlihat sangat menakutkan.Manan terus berjalan ke depan mendekati Safia yang berjalan mundur dan membentur tembok itu. Ia begitu sangat marah pada Safia, yang membuat ia terpaksa menikahi wanita itu."Katakan saja dengan jujur, kalau kau membutuhkan belaian sebab almarhum suamimu tidak pernah memberikannya, Hem ...." Manan mencengkram rahang Safia.Wanita itu menangis tak sanggup menjawab apa yang dikatakan Manan, ia hanya menggeleng sambil berurai airmata."Inikah yang kau inginkan, Safia? Ayo jawab aku!" teriak Manan sambil melepaskan cengkraman di rahang Safia. Namun, sekarang bibirnya menyapu pipi Safia."Ti- tidak kau salah paham, Mas," kata Safia "Aku salah paham, katamu? Mana yang membuatku salah paham? Jawab Safia!" teriak Manan menggelegar membuat Safia terjengkit."Aku tidak bisa menolak mereka lalu kenapa k
Ia masih menatap foto sang istri, entah kenapa pada waktu itu darah yang cocok dengan golongan darah istrinya tidak ada di bank darah sehingga akhirnya sang istri tidak tertolong. Entah permainan siapa yang membuat golongan darah sang istri tidak ada di bank darah manapun saat istrinya membutuhkannya dan apa motifnya, Manan benar-benar tidak tahu. Manan sangat kalut saat itu apalagi golongan darah sang istri sangat langkah sang istri mempunyai golongan darah yang sama dengan ayah mertuanya, yang saat itu melakukan perjalanan pulang dari luar kota dan waktu tidaklah banyak. Dia juga heran mengapa di saat adik Iparnya mendapatkan kabar yang mengejutkan tentang Suaminya. Manan menghembuskan napasnya awalnya pria itu sangat kasihan pada Safia yang kehilangan anak, tetapi karena itu pula yang membuatnya harus menikahi Safia setelah masa idahnya. Wanita itu dan keluarganya tidak pernah tahu apa yang terjadi dengan Akran. Ia mendes4h sambil memegang sebuah amp
Safia melotot kearah Manan. "Kalau aku tidak menghabiskannya apa yang bisa kau lakukan padaku?" tanya Safia."Kau melawanku, baiklah jangan kau habiskan dan saat ini pula kau kumakan, pilih yang mana tergantung kecerdasanmu!" tekan Manan.Safia terdiam berdebat pun percuma karena tidak akan pernah menang dan dimenangkan apalah dirinya bagi Manan. 'Sungguh pria ini sangat menyebalkan,' pikirnya.Safia berusaha menghabiskan makanannya ia takut hal yang tadi terulang kembali. Perutnya sudah terasa sangat penuh dan di piring masih tinggal sedikit ia berusaha bernegosiasi dengan Manan. "Aku sudah sangat kenyang boleh ini kubuang, aku jamin Amar tidak akan kelaparan," jawab Safia."Habiskan atau kau lebih suka ...." Manan menatap tajam pada Safia."Iya aku habiskan!" teriak Safia lalu menyuapkan makanan dengan cepat setelah itu berlari ke kamarnya dan menutup rapat serta menguncinya ia tidak peduli kalau Manan akan marah pada dirinya. Rasa mual
Safia melihat bunga itu masih segar tentunya baru saja ada seseorang datang kesini. 'Siapa?' pikir Safia.Kembali ia menyapukan pandangannya tidak ada siapa-siapa selain dirinya. Ia menghembuskan napas, terkadang menginginkan sesuatu yang mustahil datang padanya. Semua orang yang dicintainya telah pergi, ingin sekali ia bertemu dengan satu cinta yang memberikan cinta yang lainnya yaitu mendiang suaminya.ia tidak pernah bermimpi tentang pria yang masih di hatinya itu, dan tidak bisa mengunjungi makamnya sama sekali. 'Kenapa mereka melarangku berkunjung di makamnya bukankah ia suamiku,' pikir Safia Ia ingin menanyakan ini sekali lagi pada Manan tetapi pria itu sudah berubah dia bukan lagi kakak ipar yang hangat seperti dulu.Duduk di pusara yang kakak sambil menabur bunga ia mengeluh, "Kakak suamimu sekarang adalah suamiku tetapi bukan suami yang semestinya seperti pernikahan yang bahagia, aku tidak mencintainya dan ia membenciku seolah sumber mas
Manan menggendong Safia menuju kamar wanita itu membaringkan di ranjang. "Istirahatlah! Setelah ini kita butuh tenaga untuk mengarungi rumah tangga yang hampa ini, dulu pernah kukatakan padamu jangan menikahi pria itu, kau malah menuduhku yang bukan-bukan dan karena pria itu pula aku kehilangan Lailaku. Tidak peduli betapa sakitnya dirimu karena kamu memilih hidup denganku," ucap Manam lalu ia meninggalkan kamar Safia.Ia berjalan kembali ke ruangan kerjanya mencoba untuk mengerjakan pekerjaannya yang terbengkalai beberapa hari. Satu jam, dua jam Manan mulai bosan. ia berjalan menuju kamar safia membukanya lalu menutupnya dengan sangat kasar.Safia terjengkit dan terbangun dari tidurnya. dan langsung mencapai kesadaran penuh melihat sekilas lelaki yang mengacaukan tidurnya itu, sambil mendengus kesal."Kenapa? Kau ingin marah padaku," ucapnya sambil duduk di sofa."Tidak, bukankah aku tidak punya hak untuk marah di rumah ini," ucap Safia