Safia sangat senang hari ini karena suami akan segera pulang dari kantor pusatnya di Amerika . Ia berdandan sangat cantik mematut dirinya di cermin, dan menatap perutnya yang membesar sebab usia kandungan sudah sembilan bulan selisih satu minggu degan sang Kakak Laila.
Hatinya berdegup kencang karena setelah satu bulan pernikahannya sang suami meninggalkannya ke Amerika untuk mengurus perusahaan atasannya yang mendapatkan masalah. Akran pria yang sangat pintar itu mendapatkan promosi dari atasan untuk memegang perusahaan yang ada di Amerika. Sayangnya perusahaan tidak mengijinkannya safia ikut, terdengar sangat aneh tetapi ia akhirnya menepis kecurigaan yang tak beralasan.Suara ketukan pintu terdengar dari luar, Safia membukakan pintu, tampak sang ibu berdiri dengan sangat cemas. Safia tersenyum. "Apa aku sudah cantik?" tanyanya pada Ibunya dan wanita itu hanya menganggukTerdengar dering handphone berbunyi di mejanya ia pun berjalan kesana dan mengambilnya serta menerimanya.Mendengar suara yang ada di telpon ia tertegun sesat, sambil air mata menggenang di pelupuk matanya. Seketika itu ia kehilangan kewarasannya. Safia menyibak tubuh sang ibu sambil berlari menuruni tangga ia tidak mengingat bahwa ia tengah hamil besar ia hanya merasa tidak segesit dulu lagi dan larinya begitu lamban.Dipertengahan tangga ia terpeleset jatuh dan terguling beberapa kali hingga. mencapai lantai dasar.Ia mencoba bangun dan merangkak menghampiri peti jenazah yang telah ada diruang tamu. Ingin menatap jasad suaminya untuk terakhir kali. ia terus merangkak tidak menghiraukan darah mengalir di sela-sela kakinya sambil bergumam lirih. "Jangan tinggalkan aku, Mas Akran!"Seseorang menyodorkan sesuatu yang harus ditandatanganinya agar jenasah langsung bisa segera di kuburkan oleh pihak perusahaan tanpa meghiraukan kesakitan wanita itu. Dengan pikiran kalut ia pun menandatangani surat tersebut tanpa melihat isinya terlebih dahulu kemudian ia pun tumbang.Semua yang ada di sana panik dan segera membawa Safia ke rumah sakit sedangkan sang ibu pun pingsan karena melihat putri tak sadarkan diri dan berdarah.Di tempat lain di rumah sakit Laila sang kakak tengah berjuang Melahirkan anaknya. suami yang bernama Manan itu membujuk sang istri untuk mau operasi sesar karena setelah berjuang tiga jam lamanya belum lahir juga, Akhirnya dokter memutuskan operasi.Bayi laki-laki terlahir dengan selamat. Namun Laila mengalami pendarahan hebat, dua jam lamanya sang dokter berusaha untuk menghentikan pendarahannya. Namun tubuh sang pasien sudah semakin lemas. Akhirnya Laila menghembuskan nafas terakhirnya."Laila, bangunlah, sayang, lihat putra kita, kau sudah berjanji untuk merawat anak kita," ucap Manan di hadapan istri yang sudah tidak bernyawa itu sambil mengendong putranya. Hatinya sangat sedih wanita yang dicintainya telah berpulang mendahuluinya.Manan bersimpuh di depan ranjang sang istri, Ia belum percaya kalau istrinya itu telah meninggal dunia, hingga keluarganya datang untuk mengurus kepulangan jenazah sang istriAmbulance membawa Jenazah Laila dan Bayi Safia pulang ke rumah. Rumah itu kembali ramai di penuhi tetangga yang berdatangan melayat dan membantu pemakamanBaru saja jenazah Arkan suami Safia dibawa oleh keluarga atasannya, mereka harus menghadiri prosesi pemakaman Laila dan bayinya Safia. Sedangkan Safia sendiri belum sadarkan diri di rumah sakit dan tidak tahu bahwa anaknya sudah meninggal dunia.Manan meninggalkan putranya di rumah sakit dengan hati sedih. Ia mengikuti prosesi pemakaman istrinya dan mengantarkannya di peristirahatan terakhir lalu kembali lagi setelah prosesinya selesai.Dengan langkah gontai ia memasuki rumah sakit. Pria itu berjalan menuju ruangan adik iparnya dan duduk di sofa menunggu Safiah sadar.Matanya menatap iba pada adik iparnya itu yang telah kehilangan suami dan juga anaknya. Tidak tahu apa yang harus dikatakannya nanti, Ibu mertuanya berkali-kali pingsan tidak sanggup menemani Safiya di rumah sakit. Sementara ayah mertuanya dalam perjalanan pulang dari luar kota.Setelah dua jam menunggu akhirnya Safia sadar dan melihat ruangan yang di tempatinya saat ini. Ia terkejut saat melihat kakak iparnya ada di ruangan bersama dirinya."Aku ada dimana? Bayiku?" ucapnya saat melihat perubahan dalam perutnya.Ia menyapukan pandangannya dan melihat Kakak Iparnya duduk di sofa sambil menatapnya dengan iba."Mas Manan, ada di sini? Bagaimana bayiku? Bagaimana dengan Mbak Laila? pasti sudah melahirkan bukan, mereka akan tumbuh bersama," ucapnya dengan lemah dan air mata terus mengalir di pipinya."Kamu sudah sadar, Dek. Biar ku panggil Dokter!" ucapnya sambil beranjak dan keluar dari ruangan itu tanpa menjelaskan apa pun.Dokter pun tiba di kamar Safia. "Anda sudah sadar,nyonya? Bagaimana keadaan, Nyonya? tidak boleh minum dulu sampai buang angin ya, Bu," ucap dokter sambil memeriksa wanita itu"Bagaimana dengan anak saya, Dok, apa dia baik-baik saja? Apa jenis kelaminnya?" tanya Safia pada Dokter Secara beruntun.Dokter menatap iba. "Maaf, Ibu yang sabar ya, kami tidak bisa menyelamatkan anak ibu."Hati Safiah berdenyut nyeri baru suaminya meninggal kini anaknya menyusul juga, sudah tidak ada lagi yang menjadi penyemangat hidupnya. 'Mas aku tidak bisa menjaga anakmu, Kenapa aku masih hidup? Kenapa aku tidak menyusul kalian saja? Untuk apa aku hidup jika kalian tidak sisiku?'Semua pertanyaannya mengendap di pikiran dan hatinya. Air matanya mengalir deras tanpa permisi. Bahkan kalimat penguat dari dokter tak mampu dia dengarkan. Hanya kesedihan yang menguasai hatinya.Safia mulai rapuh ia tidak ingin hidup lagi, ia mencabut jarum infus sangat keras membuat darah mengucur di pergelangan tangannya, ia memejamkan matanya sambil tersenyum.Manan berjalan menuju ruang rawat Safia setelah melihat putranya, bayi itu tidak mau meminum susu formula dan selalu menangis. Ia ingin Safia membantunya dengan memberikan putranya AsI. Tanpa sengaja ia tadi melihat pakaian Safia basah di bagian dadanya dan berharap adik iparnya itu mau membantunya.Sesampainya di depan pintu ruangan Safia ia pun membukanya alangkah terkejutnya dia, saat pintu terbuka. Darah mengalir dari pergelangan tangan Safia cukup banyak dan wanita itu mulai terlihat pucat serta lemas, ia berlari ke arah ranjang Safia menekan berkali-kali tombol memanggil dokter atau perawat sambil menggenggam tangan wanita itu, berharap darah tidak terlalu banyak mengalir."Apa yang kau lakukan? Kau tahu ini tindakkan dosa, kau tahu bukan?" teriaknya menggelegar.Dokter pun datang dan melihat apa yang terjadi ia terkejut dan segera melakukan tindakan untuk menghentikan pendarahannya.Safia kecewa apa yang dia inginkan tidak terwujud, setelah dokter itu pergi Safia menatap tajam
Mobil berjalan dengan kecepatan sedang, Manan hanya terdiam saat Safia merengek untuk minta diantar ke makam Suaminya. Hingga tiba di rumah yang sangat besar dan di sebelahnya ada makam Keluarga yang di jaga ketat."Mas Manan ini di mana?" tanya Safia."Di sanalah suamimu di makamkan Itu menurut info yang aku tahu," ucap Manan."Mana mungkin? Mas Akran itu tinggal di rumah yatim piatu," jawab Safia sambil mengeryitkan dahinya."Cobalah dulu jika tidak bisa langsung kembali kesini," Saran Manan."Baiklah!" ucap sambil turun dari mobil ia pun berjalan mendekati sekuriti yang menjaga pemakaman itu dan mulai berdebat dengan mereka tetapi akhirnya Safia kembali dengan wajah kesalnya.Wanita itu membuka pintu mobil dan menutupnya sangat kasar serta menghentakkan pantatnya dengan sangat keras."Aku sangat kesal mereka tidak membolehkanku masuk. Kenapa aku tidak tahu apa-apa tentang Mas Akran, ya?," gerutunya .Manan hanya diam dan menyalahkan kembali mobilnya berjalan berbalik arah. Sedangka
Manan meneguhkan hatinya ia berjalan keluar rumah mantan mertuanya itu dengan membawa serta Amar di gendongannya dan masuk kedalam mobilnya kemudian berjalan meninggalkan rumah itu.Safia menangis tergugu, ia sudah sangat mencintai Amar dan menganggap putranya sendiri jika dia di pisahkan itu sama artinya memutus urat nadinya.Ia tak sanggup berdiri membuat Manaf ayah Safia iba pada putrinya. Lelaki itu mengusap kasar wajahnya langsung menghampiri putrinya itu dan menggendongnya membawanya naik ke lantai atas ke kamar Safia.Sesampainya di sana sang Ayah mendudukkan di ranjang lalu keluar mencari dan memanggil bik Mina untuk membantu mengurut kaki Safia yang terkilir.Bik Mina dengan cepat masuk ke dalam kamarnya dan mengambil minyak urut lalu berjalan menaiki tangga menuju kamar Safia, ia pun masuk setelah safia mengijinkannya..Bik Mina mulai memijat kaki Safia, ia menaruh Iba kepada wanita itu. Sudah ditinggal suami dan anaknya sekarang harus dipisahkan dengan bayi yang telah diraw
Orang tua Safia dan Manan pun datang mereka berembuk dengan warga, dan akhirnya warga pun pulang karena sudah ada keputusan bahwa besok pagi Manan harus menikahi Safia di rumah mantan mertuanya itu.Itu semua tidak luput dari akal-akalan orang tua Manan agar lelaki itu tidak dapat mengelak tetapi dengan terjadinya kejadian itu membuat Manan semakin membenci Safia karena wanita itu tidak melatih anaknya untuk bisa minum ASIP di botol dan karena itu Amar menjadi tergantung dengan Safia hingga dia harus menikahi wanita itu.Safia di ajak pulang oleh orang tuanya bersama Amar karena bayi itu menangis lagi ketika terdengar ribut-ribut di rumah Manan.Manan terlihat sangat kacau ia menatap tajam kedua orang tua itu. Ia yakin semua itu ada sangkut pautnya dengan mereka dan Kenapa tiba-tiba sopirnya tidak ada di tempat lalu warga berdatangan dan menggedor rumahnya."Jangan tanya kami, itu kesalahanmu sendiri yang sudah teledor jadi bertanggung jawablah," ucap Sang Ayah pada Manan lalu mengaja
Mata Safia menatap manan penuh dengan ketakutan, ia tidak percaya lelaki yang dikenal lembut itu kini terlihat sangat menakutkan.Manan terus berjalan ke depan mendekati Safia yang berjalan mundur dan membentur tembok itu. Ia begitu sangat marah pada Safia, yang membuat ia terpaksa menikahi wanita itu."Katakan saja dengan jujur, kalau kau membutuhkan belaian sebab almarhum suamimu tidak pernah memberikannya, Hem ...." Manan mencengkram rahang Safia.Wanita itu menangis tak sanggup menjawab apa yang dikatakan Manan, ia hanya menggeleng sambil berurai airmata."Inikah yang kau inginkan, Safia? Ayo jawab aku!" teriak Manan sambil melepaskan cengkraman di rahang Safia. Namun, sekarang bibirnya menyapu pipi Safia."Ti- tidak kau salah paham, Mas," kata Safia "Aku salah paham, katamu? Mana yang membuatku salah paham? Jawab Safia!" teriak Manan menggelegar membuat Safia terjengkit."Aku tidak bisa menolak mereka lalu kenapa k
Ia masih menatap foto sang istri, entah kenapa pada waktu itu darah yang cocok dengan golongan darah istrinya tidak ada di bank darah sehingga akhirnya sang istri tidak tertolong. Entah permainan siapa yang membuat golongan darah sang istri tidak ada di bank darah manapun saat istrinya membutuhkannya dan apa motifnya, Manan benar-benar tidak tahu. Manan sangat kalut saat itu apalagi golongan darah sang istri sangat langkah sang istri mempunyai golongan darah yang sama dengan ayah mertuanya, yang saat itu melakukan perjalanan pulang dari luar kota dan waktu tidaklah banyak. Dia juga heran mengapa di saat adik Iparnya mendapatkan kabar yang mengejutkan tentang Suaminya. Manan menghembuskan napasnya awalnya pria itu sangat kasihan pada Safia yang kehilangan anak, tetapi karena itu pula yang membuatnya harus menikahi Safia setelah masa idahnya. Wanita itu dan keluarganya tidak pernah tahu apa yang terjadi dengan Akran. Ia mendes4h sambil memegang sebuah amp
Safia melotot kearah Manan. "Kalau aku tidak menghabiskannya apa yang bisa kau lakukan padaku?" tanya Safia."Kau melawanku, baiklah jangan kau habiskan dan saat ini pula kau kumakan, pilih yang mana tergantung kecerdasanmu!" tekan Manan.Safia terdiam berdebat pun percuma karena tidak akan pernah menang dan dimenangkan apalah dirinya bagi Manan. 'Sungguh pria ini sangat menyebalkan,' pikirnya.Safia berusaha menghabiskan makanannya ia takut hal yang tadi terulang kembali. Perutnya sudah terasa sangat penuh dan di piring masih tinggal sedikit ia berusaha bernegosiasi dengan Manan. "Aku sudah sangat kenyang boleh ini kubuang, aku jamin Amar tidak akan kelaparan," jawab Safia."Habiskan atau kau lebih suka ...." Manan menatap tajam pada Safia."Iya aku habiskan!" teriak Safia lalu menyuapkan makanan dengan cepat setelah itu berlari ke kamarnya dan menutup rapat serta menguncinya ia tidak peduli kalau Manan akan marah pada dirinya. Rasa mual
Safia melihat bunga itu masih segar tentunya baru saja ada seseorang datang kesini. 'Siapa?' pikir Safia.Kembali ia menyapukan pandangannya tidak ada siapa-siapa selain dirinya. Ia menghembuskan napas, terkadang menginginkan sesuatu yang mustahil datang padanya. Semua orang yang dicintainya telah pergi, ingin sekali ia bertemu dengan satu cinta yang memberikan cinta yang lainnya yaitu mendiang suaminya.ia tidak pernah bermimpi tentang pria yang masih di hatinya itu, dan tidak bisa mengunjungi makamnya sama sekali. 'Kenapa mereka melarangku berkunjung di makamnya bukankah ia suamiku,' pikir Safia Ia ingin menanyakan ini sekali lagi pada Manan tetapi pria itu sudah berubah dia bukan lagi kakak ipar yang hangat seperti dulu.Duduk di pusara yang kakak sambil menabur bunga ia mengeluh, "Kakak suamimu sekarang adalah suamiku tetapi bukan suami yang semestinya seperti pernikahan yang bahagia, aku tidak mencintainya dan ia membenciku seolah sumber mas