“Semua sudah rapi dan cantik,” ucap Linggar. Wanita tersebut memandang penampilannya dari pantulan cermin di hadapannya. Kemeja berwarna merah muda lengan sampai siku, dipadukan dengan rok berwarna putih dengan motif bunga di atas lutut. Ia tersenyum puas menatap penampilannya sendiri, tidak akan membuat malu suaminya sendiri di depan karyawan. Senyuman seolah tidak perna luntur dari atas bibir Linggar. Rasa bahagia begitu merasuki dadanya, tidak pernah sebelumnya ia merasakan hal menyenangkan seperti sekarang. Harapannya ia dapat memperbaiki semua kesalahan di antara dirinya dan Pramudita. Ia juga turut andil atas kemarahan pria tersebut. “Semoga niat baikku dapat membuat hati Mas Pram menjadi lebih lunak. Aku berharap sekali dengan ini hubungan kami menjadi lebih baik dari sebelumnya.” Linggar membuang napas panjang. Kemudian, ia melangkah pergi dari kamarnya. “Setelah ini aku dapat membuat hati Mas Pram dapat terbuka. Dan aku satu-satunya yang mengisi hatinya kelak. Aku tidak
Mobil berwarna putih itu melesat membelah jalanan ibu kota siang ini. Kecepatannya di atas rata-rata, pengemudi meluapkan rasa kekesalan dan kekecewaan yang semakin penuh di dalam kepalanya. Air mata yang terus menetes kiranya tak dapat menjelaskan hal yang terjadi. Meski tidak memiliki perasaan spesial, ada perasaan tak rela yang diam-diam melesak di dalam hatinya. Pria itu kini berstatus sebagai suaminya, apa pun yang berkaitan dengannya tentu akan menyeret namanya. Dan niat menikah ia tunaikan satu kali dalam seumur hidupnya. Linggar menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan. Matanya memerah, air mata rasanya enggan surut dari pelupuk mata. Dadanya sesak melihat kejadian tersebut di depan mata kepalanya sendiri. Hatinya masih tak bisa menerima, bahkan tak percaya bila itu adalah suaminya. "Aku bahkan lebih rela kamu selingkuh dengan perempuan, Mas, daripada dengan seorang pria. Hatiku tidak terima jika kamu memang benar adanya mencintai seorang pria. Bagaimana aku bisa
Layaknya jatuh tertimpa tangga pula, Linggar merasa beban kepala semakin berat. Padahal masalah dengan Pramudita belum usai, kini harus berhadapan dengan kakak sepupunya. Tentu saja Linggar harus menyiapkan kesabaran seluas samudra. Rencana awal ingin mencari ketenangan di sini, malah berakhir sebaliknya. Tak menyangka bila Gendhis akan mendatangi tokonya. Padahal sebelum ia mendirikan bisnis tersebut, wanita yang kini menjadi adik iparnya itu menolak dan menentang keras. Bahkan secara terang-terangan menyindir dan menghina apa yang telah Linggar kerjakan. Seperti semua hal yang Linggar lakukan selalu salah di mata Gendhis dan keluarganya. Sebenarnya apa yang ingin Mbak Gendhis lakukan di sini? Pertama kalinya dia menginjakkan kaki di tokoku, aku yakin dia datang memiliki maksud dan tujuan tertentu. Linggar membatin, lantas mengembuskan napas kasar. "Apa yang Mak Gendhis lakukan di sini?" Linggar berusaha memberikan pelayanan yang terbaik untuk seluruh pembelinya, ia tak membeda-bed
Pria itu termangu, tubuhnya terasa lemas, tidak berdaya. Dunia terasa runtuh seketika, ia menduga bila wanita yang telah menghilang dari pandangan mata itu memiliki persepsi buruk tentang dirinya. "Semua tidak tampak seperti yang kamu lihat, Dik Nggar." Pramudita meremas rambutnya. Ia sudah tertinggal jejak sang istri, wanita itu buru-buru menjalankan mobilnya. Melesat meninggalkan parkiran, seperti ingin segera enyah dari pemandangan yang cukup menusuk mata. Siapa saja tentu memiliki pemikiran buruk atas apa yang dilihatnya. "Maafkan aku," lanjut Pramudita. Lantas Pramudita memutuskan untuk kembali ke ruangannya. Pikiran dan hati semakin tak tenang dibuatnya, seolah ada banyak cabang masalah yang mengisi kepalanya. "Pram, kenapa kamu tidak cerita bila sudah menikah? Bukankah kemarin itu pernikahan adikmu?" Pria yang berdiri di depan ruanganya, membuka suara. Sang asisten sekaligus sekretarisnya, Senopati Pamungkas, mengamati wajah bosnya lamat-lamat. Rasa gelisah dan khawatir
Rinjani melambaikan tangannya. "Hati-hati ya, Mbak Enggar."Linggar tersenyum di dalam mobilnya, kemudian melanjutkan tujuan terakhirnya. Berat hati untuknya kembali ke rumah Pramudita, terlebih masalah di antara mereka tak kunjung bertemu titik terangnya.Banyak cara Linggar lakukan untuk mengubah kondisi di antara mereka berdua, sayang sekali langkah yang ia lakukan berujung kegagalan malah menambah masalah baru. Pramudita seolah angkat tangan dengan masalah yang tengah mereka hadapi, acuh akan semua permasalahan. Semakin lama masalah semakin merembet ke mana-mana."Apa yah harus aku lakukan?" Linggar membuang napas, pandangan matanya terlihat sayu dan sendu. Mustahil untuknya berpikir positif saat ini, terlebih dengan kedua matanya sendiri melihat kejadian yang tak pernah ia sangka.Air mata mengajak sungai di pipi, tak dapat ia cegah kembali. Hati terasa semakin sesak, sekuat tenaga berusaha untuk menepis pikiran buruk itu malah fakta terkuak semakin besar. "Harus apa yang aku la
"Enggar." Suara pria bermanik cokelat itu menginterupsi, langkah Linggar kemudian melambat.Pria itu duduk di ruang keluarga, tatapan teduh tertuju pada wanita yang baru turun dari lantai dua. Ia memasang senyuman, meski terlihat aneh di wajahnya. Kemudian berdiri, menghampiri sang istri. "Kamu mau ke mana?" Pria itu membuka suara kembali.Tangan kanan masuk ke dalam saku celana pendek selutut itu. Bajunya pun santai, kaos berwarna krem polos. Tak seperti hati biasanya yang terlihat rapi dan formal. Bahkan rambutnya pagi ini sengaja tak ditata rapi.Tak mendapat jawaban, pria tiga puluh dua tahun itu kembali bertanya, "Enggar, aku bicara dengan kamu. Kamu mau ke mana?" Linggar berdehem. "Ke toko."Wajah wanita itu datar, tak seperti pagi sebelumnya yang selalu penuh dengan senyuman dan sambutan hangat. Bahkan untuk pertama kalinya, tak ada sarapan yang tersaji di meja makan. Wanita itu sengaja turun dari kamarnya saat matahari tergelincir sembilan puluh derajat. "Kamu ke sana sendi
"Enggar." Suara berat yang tak asing di telinga Linggar menginterupsi langkah kakinya untuk terhenti.Linggar menoleh, memperhatikan pria yang berdiri tak jauh dari tempatnya. Senyuman lebar itu menghiasi wajahnya, berbanding terbalik dengan Linggar, memasang wajah datar dan dingin. Pria itu berjalan mendekati, aroma parfum yang dulu menjadi favoritnya itu kini tercium asing."Kamu kenapa bisa di sini?" Nada suara pria itu renyah, senang bertemu dengan wanita yang masih menjadi pujaan hatinya.Tak ada jawaban, bibir Linggar terlihat terkunci. Ia bersedekap, memandang sengit pria itu. Masih tersimpan rapi seluruh kenangan manis antara mereka berdua selama ini. Banyak suka dan duka yang telah mereka lewati bersama, hingga akhirnya pria itu mengkhianati dirinya."Enggar, kenapa kamu tak menjawab pertanyaanku?" Pria itu berusaha menyentuh tangan Linggar, sayangnya buru-buru ditepis."Tidak sopan!" Linggar menatap sang adik ipar dengan tatapan garang.Pria dua puluh tujuh tahun itu mengemb
"Jadi, kamu masih cinta dengan dia, Mas?" Wanita itu berkaca-kaca, tatapannya nanar, penuh harap akan mendapat jawaban sesuai dengan keinginan hatinya.Pria itu hanya diam, bibirnya tak mampu menjawab. Ia menatap wanita yang terus menundukkan kepalanya, menatap sepatu di bawah sana yang beradu dengan rumput di taman. Rasa tertariknya cukup tinggi dengan wanita yang kini menjadi kakak iparnya."Mas Dipta, dengarkan aku!" Gendhis menggeram kesal, tangannya menggenggam tangan suaminya erat. "Jawab pertanyaan aku, Mas!""Mas Dipta," panggil Gendhis lirih. Kini air matanya telah luruh, membasahi pipinya. Pria itu hanya diam, tak menjawab apa pun."Mas," panggil Gendhis. Suaranya terdengar semakin kecil, tenggelam.Tak ada jawaban, hening. Pradipta menatap dalam wanita yang pernah menjadi masa lalunya. Mengabaikan istrinya sendiri yang berdiri tepat di sampingnya. Tentu hal ini menimbulkan kecemburuan akut pada hati Gendhis.Tatapan mata Gendhis berubah menjadi tajam, menatap sengit ke arah