"Jadi, kamu masih cinta dengan dia, Mas?" Wanita itu berkaca-kaca, tatapannya nanar, penuh harap akan mendapat jawaban sesuai dengan keinginan hatinya.Pria itu hanya diam, bibirnya tak mampu menjawab. Ia menatap wanita yang terus menundukkan kepalanya, menatap sepatu di bawah sana yang beradu dengan rumput di taman. Rasa tertariknya cukup tinggi dengan wanita yang kini menjadi kakak iparnya."Mas Dipta, dengarkan aku!" Gendhis menggeram kesal, tangannya menggenggam tangan suaminya erat. "Jawab pertanyaan aku, Mas!""Mas Dipta," panggil Gendhis lirih. Kini air matanya telah luruh, membasahi pipinya. Pria itu hanya diam, tak menjawab apa pun."Mas," panggil Gendhis. Suaranya terdengar semakin kecil, tenggelam.Tak ada jawaban, hening. Pradipta menatap dalam wanita yang pernah menjadi masa lalunya. Mengabaikan istrinya sendiri yang berdiri tepat di sampingnya. Tentu hal ini menimbulkan kecemburuan akut pada hati Gendhis.Tatapan mata Gendhis berubah menjadi tajam, menatap sengit ke arah
"Mas bekalnya, jangan lupa dibawa." "Aku taruh bekal di mobil kamu ya, Mas.""Bekalnya ada di mobil, jangan lupa dimakan ya, Mas."Suara yang selalu mengalun merdu di telinga Pramudita di setiap paginya. Wanita yang selalu tersenyum manis kala ia turun dari kamar, bahkan menatapnya dengan lembut bagaimanapun tingkah yang sudah ia lakukan.Semua telah sirna kala ia tak mau menurunkan ego dan gengsi di dalam pikirannya. Entah mengapa ia selalu menuruti isi kepalanya, tanpa mendengarkan nasihat bisikan hati kecilnya. Sebenarnya ia merasa menyesal, wanita itu menjadi memberikan jarak di antara mereka. Bahkan perhatian kecil yang selalu diberikan tanpa ia minta, kini malah menjadi memudar. Tak ada lagi seluruh perhatian wanita tersebut yang ia dapatkan.Pramudita menggeram. "Kenapa aku selalu mengedepankan ego dan emosiku? Apa yang sebenarnya aku inginkan? Apa kurang dari Linggar selama ini? Dia sempurna, aku menyukai kemampuan yang ia kuasai."Kilasan bayangan wanita tersebut menimbulkan
Melihat tubuh pria itu basah kuyup, membuat hati Linggar tersentuh. Ia merasa bersalah atas apa yang terjadi pada sang suami. Sekesal apa pun hatinya saat ini, tak tega bila harus membiarkan Pramudita begitu saja. Tentunya pria itu pun membutuhkan perhatian kecil darinya, meski tak terlalu diharapkan.Mulai dari membuat wedang jahe, menyiapkan obat masuk angin, hingga memasak nasi goreng. Linggar menata rapi di meja makan. Ia menanti pria tersebut turun dari kamarnya. Sebelum naik ke atas, Linggar terlebih dahulu berpesan untuk kembali ke bawah, makan bersama.Meski perut Linggar tak begitu keroncongan, ia tak ingin Pramudita makan sendirian di meja makan tersebut. Duduk manis, menatap anak tangga terakhir yang menjadi tempat Pramudita berdiri di sana. Hingga derap langkah mulai terdengar semakin dekat, Linggar menegakkan tubuhnya. Ia memasang wajah datar, tak berekspresi sama sekali. Melempar tatapannya ke gawai yang tak jauh dari tangannya, berusaha tak terlihat tengah menunggu pri
Lima jam semenjak Linggar naik ke lantai dua, wanita itu tak terlihat jejaknya kembali. Bahkan lantai dua pun lengang, tak ada suara sedikit pun. Pramudita sengaja berkali-kali naik turun tangga untuk memastikan kondisi Linggar di dalam kamar. Dari luar tampak sepi, tak ada tanda-tanda wanita tersebut melakukan aktivitas. Hal ini membuat Pramudita sedikit khawatir dibuatnya. Takut bila terjadi sesuatu hal dengan Linggar. Sayangnya tangan Pramudita tak memiliki keberanian untuk mengetuk daun pintu itu. Ia hanya sebatas memandang dan berjalan mondar-mandir. "Apa aku ketuk saja ya?" Pramudita bimbang, pasalnya langit telah berubah warna, sedangkan wanita itu tak kunjung keluar. Lagi dan lagi, pikirannya mengembara ke berbagai kilasan peristiwa yang mengakibatkan hubungan antara dirinya dan Linggar menjadi semakin renggang. Sebelum hal ini terjadi, komunikasi di antara keduanya telah buruk. Bahkan Pramudita seolah menutup diri dan akses dari siapa saja termasuk Linggar. Ditambah adanya
Tidak seperti hari sebelum-sebelumnya, permasalahan dengan Linggar nyatanya berdampak buruk hingga ke ranah pekerjaannya. Pramudita tak bisa fokus dengan pekerjaan yang sedang ia pegang. Isi kepalanya tersita dengan wanita yang tak kunjung keluar dari kamar.Pukul tujuh pagi, Pramudita baru menginjakkan kaki di kantornya. Meski keluar dari rumah masih subuh, ia memilih berhenti di jalan. Menepikan mobilnya dan merenungkan masalahnya. Ia bingung tak temu titik terangnya, tentu saja ia menyadari akan kesalahannya sendiri.Wajahnya kusut, tak ada gurat senyum sedikit saja di wajahnya. Beberapa sapaan karyawan tak ia tanggapi, jalannya cepat, setiap hentakkan langkah terlihat penuh amarah. Datar dan dingin, seperti Pramudita kembali ke mode semula. "Kamu kenapa, Bos?" Senopati mengerutkan keningnya. "Ada masalah?"Pramudita menghempaskan tubuhnya ke atas kursi kerjanya. Ia memijat keningnya yang terasa berdenyut kencang. Pikiran kembali bercabang banyak. "Jadwalku hari ini apa? Jika tid
"Apa maksudmu?" Otot leher Pramudita seketika mengencang, matanya pun melebar. Di saat pikirannya tengah kalut Pradipta datang membuat suasana semakin rumit.Pradipta terkekeh. "Kenapa kamu marah, Mas? Apa ada yang salah dari ucapanku? Apa kamu tidak tahu bila selama ini Dik Enggar itu tidak pernah bahagia hidup satu atap denganmu? Hatinya itu setiap hari pasti terasa kelabu, Mas.""Lagi pula mana ada wanita yang bisa hidup bahagia dengan pria kaku seperti kamu, Mas. Dia juga tidak kenal dekat denganmu sebelumnya, 'kan? Bahkan pernikahan kalian itu terjadi hanya karena desakan dua pihak keluarga, Mas." Pradipta melipat kedua tangannya di depan dada."Kamu itu opsi kedua dari Linggar, Mas. Ibaratnya kamu ini adalah pemain cadangan." Kepala Pradipta menggeleng perlahan."Yang namanya perasaan tidak ada yang tahu, Dip. Kita hanya menjalani saja setiap harinya, seperti air mengalir." Pramudita membela diri.Alis Pradipta terangkat sebelah. "Oh ya? Kamu yakin Linggar akan jatuh cinta denga
"Di rumah bosan sekali," ucap Linggar dengan mengembuskan napas panjang.Sudah dua jam lamanya, ia mengurung diri di dalam kamar. Sengaja ia lakukan untuk menghindar dari Pramudita. Hatinya masih sangat kesal dan sakit atas ucapan sang suami, tega menjatuhkan tuduhan yang jelas tak mungkin ia lakukan. Kemarahan menggelegak dalam diri Linggar. Layaknya api membara dalam sekam, ia ingin menghanguskan bengunan dengan rasa marahnya. Setelah menarik napas dan membuangnya perlahan, ia kemudian merasa jauh lebih membaik kembali.Pandangannya jatuh pada ponsel di dalam genggamannya. Tak ada satu pun pesan masuk dari pria itu. Sebenarnya Linggar tak begitu berharap ataupun menanti, hanya saja hubungan mereka sedang memiliki konflik kembali, kemungkinan pria itu ingin membuat hatinya lega. Sayang sekali, semua itu hanya terjadi di dalam pikiran Linggar saja."Mana mungkin Mas Pram mengirimkan pesan dahulu. Aku rasa dia pun membiarkan bagaimana aku bertingkah. Entah aku marah ataupun kesal, tid
"Kamu mau sarapan di sini, Enggar?" Jodi mengerutkan keningnya. Lesehan pinggir jalan atau mungkin lebih familiar dengan nama angkringan. Bukan tak ingin, hanya saja Jodi berharap tempat yang dipilih Linggar lebih privat dan memungkinkan untuk mereka bertukar cerita. Malah yang didapatkan sebaliknya, Linggar memilih tempat umum dengan minim privasi."Kenapa, Jodi? Kamu tidak mau sarapan di sini? Atau mungkin kamu merasa malu sarapan di sini ya?" Linggar menatapnya penasaran, lantas pria itu menjawab dengan gelengan kepala.Jodi tersenyum kaku. "Tidak masalah, Enggar, aku menyukai di mana saja tempat yang kamu pilih. Tapi, bukankah tempat ini terlalu terbuka untuk kita saling bercerita? Bukankah lebih baik kita mencari tempat yang lain saja?" Wanita itu menggeleng sekilas. "Aku sudah lama ingin sarapan di sini, Jodi. Jika kamu tidak suka, lebih baik kamu cari tempat lain saja ya? Aku tidak memaksa kamu untuk ikut dengan pilihan yang aku pilih." Buru-buru Jodi menggelengkan kepalanya