"Apa maksudmu?" Otot leher Pramudita seketika mengencang, matanya pun melebar. Di saat pikirannya tengah kalut Pradipta datang membuat suasana semakin rumit.Pradipta terkekeh. "Kenapa kamu marah, Mas? Apa ada yang salah dari ucapanku? Apa kamu tidak tahu bila selama ini Dik Enggar itu tidak pernah bahagia hidup satu atap denganmu? Hatinya itu setiap hari pasti terasa kelabu, Mas.""Lagi pula mana ada wanita yang bisa hidup bahagia dengan pria kaku seperti kamu, Mas. Dia juga tidak kenal dekat denganmu sebelumnya, 'kan? Bahkan pernikahan kalian itu terjadi hanya karena desakan dua pihak keluarga, Mas." Pradipta melipat kedua tangannya di depan dada."Kamu itu opsi kedua dari Linggar, Mas. Ibaratnya kamu ini adalah pemain cadangan." Kepala Pradipta menggeleng perlahan."Yang namanya perasaan tidak ada yang tahu, Dip. Kita hanya menjalani saja setiap harinya, seperti air mengalir." Pramudita membela diri.Alis Pradipta terangkat sebelah. "Oh ya? Kamu yakin Linggar akan jatuh cinta denga
"Di rumah bosan sekali," ucap Linggar dengan mengembuskan napas panjang.Sudah dua jam lamanya, ia mengurung diri di dalam kamar. Sengaja ia lakukan untuk menghindar dari Pramudita. Hatinya masih sangat kesal dan sakit atas ucapan sang suami, tega menjatuhkan tuduhan yang jelas tak mungkin ia lakukan. Kemarahan menggelegak dalam diri Linggar. Layaknya api membara dalam sekam, ia ingin menghanguskan bengunan dengan rasa marahnya. Setelah menarik napas dan membuangnya perlahan, ia kemudian merasa jauh lebih membaik kembali.Pandangannya jatuh pada ponsel di dalam genggamannya. Tak ada satu pun pesan masuk dari pria itu. Sebenarnya Linggar tak begitu berharap ataupun menanti, hanya saja hubungan mereka sedang memiliki konflik kembali, kemungkinan pria itu ingin membuat hatinya lega. Sayang sekali, semua itu hanya terjadi di dalam pikiran Linggar saja."Mana mungkin Mas Pram mengirimkan pesan dahulu. Aku rasa dia pun membiarkan bagaimana aku bertingkah. Entah aku marah ataupun kesal, tid
"Kamu mau sarapan di sini, Enggar?" Jodi mengerutkan keningnya. Lesehan pinggir jalan atau mungkin lebih familiar dengan nama angkringan. Bukan tak ingin, hanya saja Jodi berharap tempat yang dipilih Linggar lebih privat dan memungkinkan untuk mereka bertukar cerita. Malah yang didapatkan sebaliknya, Linggar memilih tempat umum dengan minim privasi."Kenapa, Jodi? Kamu tidak mau sarapan di sini? Atau mungkin kamu merasa malu sarapan di sini ya?" Linggar menatapnya penasaran, lantas pria itu menjawab dengan gelengan kepala.Jodi tersenyum kaku. "Tidak masalah, Enggar, aku menyukai di mana saja tempat yang kamu pilih. Tapi, bukankah tempat ini terlalu terbuka untuk kita saling bercerita? Bukankah lebih baik kita mencari tempat yang lain saja?" Wanita itu menggeleng sekilas. "Aku sudah lama ingin sarapan di sini, Jodi. Jika kamu tidak suka, lebih baik kamu cari tempat lain saja ya? Aku tidak memaksa kamu untuk ikut dengan pilihan yang aku pilih." Buru-buru Jodi menggelengkan kepalanya
"Kalian sudah lama?" Suara Pramudita terdengar renyah, lebih sedikit segar daripada sebelumnya. Ia juga mengambil bakaran yang berada di hadapan Linggar, perutnya pun meronta ingin diisi. "Belum," jawab Jodi. Mendadak ia merasa kurang nyaman dan tak enak berada di antara hubungan Linggar dan Pramudita. Tak dihiraukan oleh Pramudita, yang diharapakan olehnya adalah jawaban dari bibir Linggar bukan Jodi. Ia kesal kala mendengar suara pria tersebut, ada api yang tiba-tiba menyala di dalam hatinya. Sengaja ia duduk sedikit membelakangi pria tersebut, lebih menghadap Linggar. Bahkan menutupi pandangan Jodi ke Linggar. Pramudita menatap wajah Linggar, makin ia tatap makin besar pula rasa bersalah yang bersarang di dalam hatinya. Ia sadar atas kesalahan yang telah diperbuat, sayangnya ia tak mampu memperbaiki semuanya. "Kamu tidak lapar, Mas?" Linggar masih menundukkan, menikmati makanannya. "Mau makan tidak, Mas?" Linggar mengangkat wajahnya, tatapan mereka saling bertemu. Kepala Pram
Air mata terasa tak kering membasahi pipi Linggar. Wanita itu termenung di dalam mobil yang telah menepi di sebuah bahu jalan, lalu lintas tak begitu ramai, malah terbilang sepi. Ia tak memiliki keinginan untuk kembali ke rumah suaminya. Hati dan perasaannya campur aduk, bahkan kepalanya telah lama berdenyut kencang."Kenapa tidak ada jalan keluar atas masalah dari rumah tanggaku?" Linggar mengusap air matanya kasar. "Selalu ada saja ujian yang aku hadapi setiap harinya, aku juga lelah jika seperti ini terus."Masalah satu belum usai, ditambah masalah lain yang tiba-tiba muncul, menambah pikiran menjadi semakin rumit. Linggar sendiri pun sampai bingung harus menyelesaikan masalah masn terlebih dahulu. Terlebih Pramudita tak memiliki inisiatif untuk memperbaiki hubungan mereka, seolah acuh dan membiarkan begitu saja. Hubungan dibiarkan terombang-ambing, tanpa tujuan yang jelas."Jika Mas Pram tidak ingin hubungan ini langgeng sampai nanti, kenapa seolah masih memberikan perhatian ke ak
"Kamu ada masalah, Nduk?" Prapto berdiri di pinggir jendela, menatap ke arah situasi di hadapannya, menatap air hujan yang makin deras makin malam. Juminem tengah menyiapkan makan malam, Linggar dilarang membantu. Prapto mengajak untuk berbicara santai berdua terlebih dahulu, ia memiliki pemikiran buruk tentang hubungan sang anak dan menantu.Terlebih Linggar datang sendiri, bahkan sampai meminta izin untuk menginap. Sebagai orang tua, tak mungkin bila tak memiliki prasangka buruk tentang mereka. Prapto pun was-was bila sang anak telah disakiti hatinya, ia tahu bila di antara Linggar dan Pramudita menikah secara paksaan."Apa hubungan kamu dengan Pramudita baik-baik saja sekarang, Nduk?" Prapto menoleh, menatap wajah Linggar penuh tanda tanya. "Apa benar kamu sudah meminta izin dengan Pramudita? Bapak dan Ibu khawatir jika kalian sedang ada masalah, Nduk."Linggar membuang pandangan, tangannya kemudian meletakkan cangkir bekas teh buatan Juminem ke atas meja. Ia sudah menduga bila ke
Hujan tak kunjung reda, bahkan diiringi guntur dan kilat. Hati pria itu semakin cemas dibuatnya. Gawai berada di tangan, tak berani ia mengirim pesan yang sudah diketik sejak satu jam yang lalu. Ragu dan bimbang, ia tak seberani itu. Bahkan nyali yang ia miliki semakin ciut. Meski demikian, hatinya semakin penasaran tentang keadaan istrinya entah berada di mana. Tak ada satu pun pesan yang dikirimkan untuknya. Wanita itu sepertinya tak ingin ia ganggu, membuat ia menjadi gamang. Jika ia tetap diam, hatinya sampai detik ini makin cemas dibuatnya. Pramudita berdiri di ruang dengan cat tembok abu-abu muda tersebut. Untuk sesaat, ia semakin terjerembab pada suasana sunyi rumahnya, berteman suara air hujan di luar bangunan. Tatapannya mengarah ke luar jendela, menatap taman tapi dan tertata. Ia teringat atas wanita yang satu bulan berjalan telah menemani dirinya. Rumah menjadi bersih dan lebih nyaman untuk ditinggali karena terawat. Selama kehadiran Linggar, wanita itu mengubah segala h
"Seberapa jauh kamu bertahan?" "Sampai kapan kamu akan tetap bertahan dengan hubungan ini?""Apa mungkin kamu malah kuat hingga titik terakhir nanti?"Air mata kemudian mengalir, wanita dua puluh lima tahun itu memandang cermin di depannya. Wajah cantik berpoles riasan itu harus tergusur oleh lelehan air mata yang tanpa permisi mulai merangsek keluar begitu saja."Aku juga ingin merasakan diperjuangkan, ingin merasa disayangi. Tapi, kenapa aku tidak bisa merasakan sampai detik ini?" Tangannya dengan kasar mengusap air matanya kembali.Sejak semalam, ia menanti akan mendapat pesan dari sang suami. Pria itu akan mencarinya atau mungkin mengkhawatirkan keadaan dirinya sekarang. Sayang sekali, semua itu tak terjadi. Hingga pagi ini pun tak ada satu pesan yang masuk ke dalam ponselnya. Menandakan bila ada atau tiada dirinya, tak akan memperingatkan apa pun di hidup sang suami.Menelan pil pahit, Linggar seperti memang dipahat agar lebih kuat menghadapi kenyataan yang tak pernah sejalan de