"Seberapa jauh kamu bertahan?" "Sampai kapan kamu akan tetap bertahan dengan hubungan ini?""Apa mungkin kamu malah kuat hingga titik terakhir nanti?"Air mata kemudian mengalir, wanita dua puluh lima tahun itu memandang cermin di depannya. Wajah cantik berpoles riasan itu harus tergusur oleh lelehan air mata yang tanpa permisi mulai merangsek keluar begitu saja."Aku juga ingin merasakan diperjuangkan, ingin merasa disayangi. Tapi, kenapa aku tidak bisa merasakan sampai detik ini?" Tangannya dengan kasar mengusap air matanya kembali.Sejak semalam, ia menanti akan mendapat pesan dari sang suami. Pria itu akan mencarinya atau mungkin mengkhawatirkan keadaan dirinya sekarang. Sayang sekali, semua itu tak terjadi. Hingga pagi ini pun tak ada satu pesan yang masuk ke dalam ponselnya. Menandakan bila ada atau tiada dirinya, tak akan memperingatkan apa pun di hidup sang suami.Menelan pil pahit, Linggar seperti memang dipahat agar lebih kuat menghadapi kenyataan yang tak pernah sejalan de
"Kita ke mana, Mas?" Linggar menoleh, Pramudita duduk diam di kursi kemudi. Terlihat fokus pada jalanan.Pria itu tak memiliki keinginan untuk menjawab pertanyaan dari sang istri, terlebih wajahnya pun datar dan dingin. Membuat Linggar semakin geram. Sebenarnya dari awal pun ia malas diajak keluar berdua dengan Pramudita, hanya saja ia tak dapat menolak bila di hadapan kedua orang tuanya. Tak mungkin ia pamer hubungannya yang sedang renggang, hanya akan menambah masalah baru.Linggar menatap intens, embusan napas terdengar kasar. "Mas, kamu dengar suaraku? Kenapa kamu diam? Aku bertanya ke kamu, Mas.""Nanti kamu tahu sendiri," jawab Pramudita. "Memangnya kenapa? Aku juga tidak akan menculik kamu, Enggar. Kamu khawatir aku bawa ke mana?"Kepala Linggar menggeleng. "Bukan seperti itu, Mas. Aku juga ingin tahu tujuan kita ini mau ke mana, tidak mungkin bukan kita jalan tanpa tujuan? Lagi pula kamu pamit dengan kedua orang tuaku ingin mengajak jalan berdua. Dan aku, sebagai orang yang ka
Sebenarnya bibir Linggar terasa kelu, ingin mengeluarkan suara segera untuk memecahkan keheningan di antara mereka. Terlebih sudah satu jam lebih mereka hanya diam dan membiarkan saling selancar dengan isi pikiran masing-masing.Terlihat Pramudita tak ingin membuk pembicaraan, padahal makanan dan minuman telah tersaji di hadapan mereka. Perut terasa menari-nari mencium semerbak wangi ramen yang terhidang. Linggar merasa tersiksa atas ajakan Pramudita, rasanya ia tak dapat berkutik. Terlebih yang memiliki inisiatif ke sana adalah Pramudita, malah seolah tak terjadi apa-apa.Linggar yang tak betah menunggu lama, lantas berdehem kecil. "Mas, ini ramennya ditunggu sampai dingin?"Pramudita terkekeh pelan, menggaruk kulit kepalanya yang tak gatal. "Kita makan sekarang. Aku menunggu kamu dari tadi."Mereka pun khidmat menikmati setiap sendokan ramen, kuah beserta kondimen di dalamnya. Linggar merasa ini adalah ramen terenak yang pernah ia icipi, setiap seruputan rasanya begitu gurih dan nik
"Aku bayar ya? Kamu ambil kue dari toko kamu, 'kan?" Pramudita mengeluarkan kartu debitnya, diserahkan ke Linggar. Kening Linggar mengerut. "Untuk apa, Mas? Aku sudah bawa kartu kredit kamu. Lagi pula kue ini untuk Bapak, mertua aku sendiri, untuk apa harus membayar? Sama saja ini yang buat aku kok.""Aku tidak enak, Enggar. Kamu ambil dari toko, nanti kamu rugi." Pramudita kembali menyodorkan kartu tersebut. "Ambil saja ya? Kamu juga bisnis, Enggar, aku tidak mau karena ini malah membuat kamu rugi. Di toko kamu juga ada banyak karyawan, Enggar, butuh uang untuk gaji mereka.""Kue ini untuk Bapak dan tidak akan membuat aku rugi, sudah jangan dipermasalahkan. Nanti akan ada ganti yang lebih banyak dan besar, jika aku ikhlas. Masalah gaji itu sudah ada, Mas, semua telah aku persiapkan. Jangan terlalu khawatir." Linggar tersenyum kecil.Mobil mereka telah terparkir lama di halaman rumah Juwanto. Satu sama lain tak ada yang memiliki niatan untuk turun. Linggar masih merapikan baju dan ju
"Kita ke pasar malam, kamu mau?"Pria tiga puluh dua tahun itu duduk di pinggir ranjang, menatap wanita yang berdiri di depan cermin, melihat pantulan diri. Sudah tiga puluh menit lebih ia menanti, tak kunjung selesai. Mereka selesai bersih-bersih, ganti baju dan tinggal pulang ke rumah. Lingga menoleh, wajahnya telah dilapisi riasan tipis, rambutnya tergerai dengan dibuat ikal di bawahnya. Ia mengenakan kaos polos milik Pramudita beberapa tahun lalu berwarna krem dengan celana panjang berwarna hitam. Kakinya melangkah mendekati Pramudita, lalu duduk di sebelah pria tersebut."Di mana ada pasar malam, Mas?" tanya Linggar penuh antusias, kedua bola matanya berbinar."Kamu mau ke sana? Kalau mau nanti kita mampir," jawab Pramudita, pandangannya terpaku pada ponsel digenggaman. "Nanti kita ke sana, tidak jauh dari sini kok.""Aku mau, Mas, sudah lama tidak ke pasar malam. Bagaimana jika kita langsung ke sana, Mas? Biar nanti tidak terlalu larut malam," ajak Linggar. Pramudita menganggu
Tangan kanan menenteng tas kerja dan tangan kiri menenteng tas bekal. Wajah pria itu sumringah, bahkan satu persatu sapaan dari karyawan yang dijumpai selalu dibalas beserta senyuman tipis. Hampir setiap karyawannya melihat dengan tatapan tak percaya. Momen langka yang tak akan mungkin ditemui di hari lainnya. "Ada apa hari ini?" Senopati terkekeh, melipat kedua tangannya di depan dada. "Hormon bahagia sedang bekerja. Kamu kenapa?"Tak menggubris, Pramudita memilih masuk ke ruangannya. Meletakkan tas bekal dan tas kerja di atas meja, kemudian meregangkan otot-otot tangan yang terasa kaku. Senopati masih mengikuti hingga turut masuk ke dalam ruangan Pramudita. Pria itu penasaran atas apa yang terjadi dengan bosnya."Kamu berbeda sekali. Ada apa hari ini? Tidak seperti hari biasanya. Apa kamu sudah baikan dengan istrimu?" Senopati tersenyum kecil.Pramudita mengendurkan kancing jasnya, menarik kursi duduknya, lantas menghempaskan tubuhnya di sana. Ia menyandarkan bahunya, senyuman tak
"Kamu butuh kopi," ucap wanita dengan rambut dikuncir kuda itu, kacamata hitam bertengger di hidungnya. Ia menyodorkan segelas kopi ke hadapan pria yang tengah frustasi di pinggir taman itu. "Maaf, kita pernah saling kenal?" Pria itu melirik sekilas, alisnya terangkat. "Sepertinya salah orang." Wanita itu membuang napas kasar, kemudian meletakkan gelas kopi itu dipangkuan sang pria. "Tentu saja tidak. Antara aku dan kamu memang tidak saling mengenal, tapi aku tahu kamu. Jelasnya kamu tidak mungkin mengenal aku." Pria itu semakin tidak mengerti, kerutan muncul di dahi. Mengingat satu persatu orang yang ia temui beberapa hari belakang, sayangnya buntu. Tak ingat sedikit saja wajah wanita itu pernah dijumpai sebelumnya. Bahkan sekilas bertemu pun tidak pernah. "Siapa kamu? Ada urusan apa denganku? Aku rasa tidak memiliki urusan apa pun dengan seseorang." Pria itu membuang muka. "Aku memiliki maksud dan tujuan baik menemuimu." Senyuman miring terbit tipis di wajah wanita itu. "Aku in
"Mengapa banyak yang ganjil ya? Data di kasir dan data yang direkap oleh Mbak Rinjani, semua beda. Siapa yang salah sebenarnya? Apa mungkin ada kecurangan? Sejauh ini aku selalu percaya dengan Mbak Rinjani, apa mungkin dia berani mengkhianati kepercayaan yang telah aku berikan?" Linggar mengerutkan dahinya, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk pelan di atas meja."Bulan kemarin masih sama, kenapa minggu ini terlihat berbeda? Ke mana uang sepuluh juta?" Ia membuka laci, mencari rekap data bulan sebelumnya. Membandingkan hasil kedua rekapan, terpaut hanya kurang lebih satu minggu, tapi memiliki banyak perbedaan. Linggar terduduk. "Selisihnya banyak sekali. Apa mungkin selama ini ada yang mencurangi keuangan toko? Siapa yang selama ini sudah memanipulasi? Jadi... yang mana yang benar?"Bulan kemarin, tercatat keuntungan sebesar dua puluh juta rupiah. Antara data kasir dan data yang telah Rinjani rekap sama persis, tak ada yang berbeda. Tapi, untuk minggu pertama di bulan ini keutungan yang