"Mbak Enggar, ada satu pembeli yang ingin bertemu." Lia mengejutkanku Linggar, dahinya bertumpuk-tumpuk. Memikirkan siapa pembeli yang ingin bertemu dengannya. Mungkinkah ia sekarang memiliki penggemar?"Siapa Lia?" Linggar merapikan penampilannya sekilas. "Masih muda atau sudah dewasa?""Seorang Ibu, Mbak. Katanya kemarin sempat bertemu dengan Mbak Enggar di toko bahan-bahan. Saya kurang tahu nama Ibu tadi siapa, Mbak. Mungkin Mbak Enggar akan mengingatnya setelah ini," jawab Lia.Linggar mengangguk, wajahnya menampilkan senyuman. Teringat akan wanita paruh baya yang kemarin sempat ingin berkunjung ke tokonya. Ternyata bukan hanya sekadar janji, ditepati langsung oleh Kartini. Linggar merasa cukup senang dan gembira. "Itu Bu Tin, Lia. Beliau adalah tamu saya, tolong kamu siapkan minuman ya." Linggar beranjak, kemudian melangkah menuju depan. Sedangkan, Lia melanjutkan ke dapur, mengambil minuman dingin.Bibir itu tak henti menyunggingkan senyuman tipis, wajah terlihat begitu sumrin
"Aduh, Mas! Pelan-pelan! Sakit ini, Mas.""Sabar, kamu tahan sebentar ya. Kurang sedikit lagi ini.""Mas, cepetan sedikit. Aku sudah tidak kuat lagi.""Enggar tahan dulu, sedikit lagi hampir sampai."Linggar mengusap peluh, mengumpulkan seluruh kekuatannya untuk membantu Pramudita menggotong sofa dari ruang kerja ke ruang keluarga. Pria itu beranggapan jika sofa di dalam ruangan kerjanya hanya menambah sesak dan semakin mempersempit ruangan. Maka dari itu meminta bantuan Linggar yang baru saja memasak. "Di sini saja, Mas?" Linggar kembali mempertanyakan, pria itu menjawab dengan anggukan kepala. "Apa ada yang kurang pas?"Pria yang sudah berkepala tiga itu menggeleng, terkekeh geli menatap wajah istrinya banjir keringat. Mungkin kecapekan menggotong sofa tersebut yang tergolong cukup berat bagi ukuran wanita. Hati Pramudita menghangat, tak menyangka jika Linggar akan membantunya. Kenapa jantungku deg-degan seperti ini? Enggar tidak ingin aku mengerjakan sendirian, apa pun pekerjaann
Pramudita mengangkat alisnya sebelah. "Kenapa di sana? Kamu tidak ingin masuk?""Tidak usah, aku tidur di kamarku saja." Linggar menggeleng, melangkahkan kakinya berlanjut ke kamarnya. Belum ada lima langkah, tangannya ditahan Pramudita. Pria itu menariknya lembut, lalu membawanya masuk ke kamarnya. Wanita itu memberontak, ia tak ingin berada dalam satu kamar terlebih setelah berdebat panjang. Bahkan kondisi Pramudita belum begitu dingin dan tenang. Ini untuk pertama kalinya mereka akan tidur di atas ranjang yang sama, momentum paling mendebarkan sekaligus belum pernah terpikir sebelumnya. Linggar membuang napas perlahan."Aku tidur di kamarku saja, Mas," ucap Linggar. "Mungkin lain kali saja, Mas, jika memang semua sudah siap""Apa yang kamu khawatirkan? Aku tidak ingin melakukan apa-apa sebelum kamu memberikannya. Lagi pula aku ingin menuruti ucapan kamu juga hatiku, sudah saatnya kita memulai dari awal. Pernikahan ini bukan sekadar permainan, Dik Nggar. Percaya denganku."Perkataa
"Sebenarnya apa yang kamu lakukan selama ini, Jodi? Aku sudah memberikan banyak waktu untuk kamu berusaha, malah kamu sia-siakan waktu yang aku berikan." Gendhis berkacak pinggang. "Katanya kamu bisa mengatasi sendiri, Jodi? Lalu, apa buktinya? Kenapa kamu malah ingkar dengan janji kamu sendiri?"Pria itu menarik napas dalam-dalam kemudian membuangnya perlahan. "Aku sudah berusaha, tapi tidak mudah membuat mereka berpisah. Entah apa ramuannya yang jelas hubungan mereka begitu erat, Gendhis. Semakin lama malah terlihat semakin harmonis. Bahkan suami Linggar setiap melihat aku selalu marah.""Kamu ini tidak becus, Jodi, semua sudah aku percayakan ke kamu. Aku percaya kalau kamu bisa mengatasi mereka. Kenapa malah sebaliknya, hah? Kamu sama sekali tidak dapat aku untungkan," bentak Gendhis, nada suaranya berubah menjadi tinggi.Tangannya mengepal kuat, bahkan matanya pun memerah. Gendhis tak bisa membohongi dirinya lagi akan hati yang semakin terasa membara. Ia marah, sebab sudah percaya
"Harusnya hari ini, Mas," ucap Linggar. "Kamu sengaja curi hari ini?" Pramudita duduk di kursi depan Linggar. Pria itu membuka kancing bawah jasnya, kemudian membuang napas begitu panjang. Kedua tangannya tertaut di atas pahanya. Pandangan mata tidak lepas dari wanita dua puluh lima tahun tersebut. Ia seperti tengah mengharapkan sesuatu hal."Aku sengaja mengambil cuti, Dik. Pikiran dan hatiku sama sekali tidak bisa tenang. Tidak fokus ke pekerjaan, jadi lebih baik aku pergi ke sini. Aku butuh banyak penjelasan dari kamu, Dik. Apa yang kamu ketahui, aku mohon jelaskan padaku semuanya." Pramudita merengek, memohon dengan menyatukan kedua telapak tangannya ke depan dada.Wanita itu membuang napas kasar. "Kalau aku yang menjelaskan, maka aku berada di posisi salah, Mas. Biarkan saja Bu Tin yang menceritakannya sendiri ke kamu ya. Beliau pasti lebih-lebih berhak menjelaskan semuanya, Mas. Lagi pula yang tahu ceritanya secara runtut itu beliau, Mas. Aku tidak tahu apa-apa."Helaan napas p
"Kamu tidak mau makan dulu, Mas? Masa cuma duduk aja? Kaki kamu tidak capek?" Linggar meletakkan satu kotak nasi ayam goreng di hadapan Pramudita.Wanita itu paham jika suaminya belum makan siang, terlebih sejak tiba di toko kue hanya duduk dan termenung di dalam ruangan kerja Linggar. Wajah Pramudita murung dan sedikit pucat, tak seperti biasanya. Tampak tengah memikirkan suatu beban di kepalanya. Linggar membuang napas, turut prihatin dengan suaminya yang masih memikirkan keberadaan sang Ibu."Makan, Mas," ucap Linggar dengan menyentuh lembut bahu Pramudita. "Kamu kenapa murung seperti itu, Mas? Apa yang sedang kamu pikirkan?"Embusan napas kasar, Pramudita menoleh kemudian menyunggingkan senyuman tipis. "Tidak ada, aku masih kepikiran di mana Ibu sekarang. Hatiku tidak tenang memikirkan Ibu, Dik. Bagaimana jika terjadi sesuatu hal dengan Ibu? Aku merasa sangat bersalah, Dik."Linggar menarik lembut lengan Pramudita, mengajaknya duduk di sofa, agar lebih santai dan nyaman. Mengusap
"Aku tidak mau tahu, Jodi, kamu harus segera memisahkan Linggar dengan Mas Pram. Dan bawa jauh Linggar dari hadapanku." Emosi wanita itu meluap-luap, terlihat wajahnya memerah padam."Jangan sampai aku melihat wajahnya lagi! Aku muak, aku benci dengan dia!" Pria itu mengerutkan keningnya, sarapan yang seharusnya terasa nikmat malah tidak selera. Tiba-tiba Gendhis mendatanginya, wajah tertekuk masam dan amarah yang berada di ubun-ubun. Tentu saja Jodi terkejut, terlebih ia merasa tidak ada salah dengan wanita tersebut. Terakhir bertemu hubungan mereka baik-baik saja."Apa yang kamu maksudkan, Gendhis? Bagaimana maksudnya?" Jodi membuang napas. "Kenapa kamu malah marah-marah denganku? Apa salahnya aku?"Jodi menyodorkan satu botol air mineral. "Minum dulu, Ndhis. Tenangkan diri kamu dulu. Sebenarnya ada masalah apa?""Kenapa kamu datang malah marah-marah seperti ini? Linggar berbuat salah apa ke kamu, Ndhis?" Suara Jodi lembut, berusaha menenangkan wanita yang terbakar api amarah. "Ap
"Kamu pergi ke sana saja, Mas, sendiri ya? Aku nggak mungkin ikut kamu," ucap Linggar di bawah gulungan selimut.Hanya wajahnya yang terlihat, seluruh tubuhnya terbalut dengan selimut tebal. Hidungnya memerah. Bahkan matanya pun turut memerah dan berair. Sejak subuh, tubuhnya panas dan menggigil.Linggar merasa dirinya flu berat dan demam. Setelah perjanjian dengan Kartini kemarin tubuhnya semakin melemah, semalaman ia tidak bisa memejamkan mata. Akibatnya, kepalanya terasa berat dan hidung pun tersumbat. Dengan terpaksa ia pun harus istirahat dari segala hiruk-pikuknya pekerjaan."Sekarang kamu sakit, mana mungkin aku meninggalkan kamu sendirian. Aku tidak tega kamu sendirian di sini, Dik Enggar. Lagi pula 'kan pertemuan itu bisa diundur menjadi besok, tidak harus sekarang. Aku yakin Bu Tin juga paham dan maklum dengan kondisi kamu sekarang," tolak Pramudita."Misal aku berangkat sekarang, kalau sewaktu-waktu kamu butuh sesuatu siapa yang akan membantu? Kepala kamu pusing, 'kan? Kala