"Kamu tidak mau makan dulu, Mas? Masa cuma duduk aja? Kaki kamu tidak capek?" Linggar meletakkan satu kotak nasi ayam goreng di hadapan Pramudita.Wanita itu paham jika suaminya belum makan siang, terlebih sejak tiba di toko kue hanya duduk dan termenung di dalam ruangan kerja Linggar. Wajah Pramudita murung dan sedikit pucat, tak seperti biasanya. Tampak tengah memikirkan suatu beban di kepalanya. Linggar membuang napas, turut prihatin dengan suaminya yang masih memikirkan keberadaan sang Ibu."Makan, Mas," ucap Linggar dengan menyentuh lembut bahu Pramudita. "Kamu kenapa murung seperti itu, Mas? Apa yang sedang kamu pikirkan?"Embusan napas kasar, Pramudita menoleh kemudian menyunggingkan senyuman tipis. "Tidak ada, aku masih kepikiran di mana Ibu sekarang. Hatiku tidak tenang memikirkan Ibu, Dik. Bagaimana jika terjadi sesuatu hal dengan Ibu? Aku merasa sangat bersalah, Dik."Linggar menarik lembut lengan Pramudita, mengajaknya duduk di sofa, agar lebih santai dan nyaman. Mengusap
"Aku tidak mau tahu, Jodi, kamu harus segera memisahkan Linggar dengan Mas Pram. Dan bawa jauh Linggar dari hadapanku." Emosi wanita itu meluap-luap, terlihat wajahnya memerah padam."Jangan sampai aku melihat wajahnya lagi! Aku muak, aku benci dengan dia!" Pria itu mengerutkan keningnya, sarapan yang seharusnya terasa nikmat malah tidak selera. Tiba-tiba Gendhis mendatanginya, wajah tertekuk masam dan amarah yang berada di ubun-ubun. Tentu saja Jodi terkejut, terlebih ia merasa tidak ada salah dengan wanita tersebut. Terakhir bertemu hubungan mereka baik-baik saja."Apa yang kamu maksudkan, Gendhis? Bagaimana maksudnya?" Jodi membuang napas. "Kenapa kamu malah marah-marah denganku? Apa salahnya aku?"Jodi menyodorkan satu botol air mineral. "Minum dulu, Ndhis. Tenangkan diri kamu dulu. Sebenarnya ada masalah apa?""Kenapa kamu datang malah marah-marah seperti ini? Linggar berbuat salah apa ke kamu, Ndhis?" Suara Jodi lembut, berusaha menenangkan wanita yang terbakar api amarah. "Ap
"Kamu pergi ke sana saja, Mas, sendiri ya? Aku nggak mungkin ikut kamu," ucap Linggar di bawah gulungan selimut.Hanya wajahnya yang terlihat, seluruh tubuhnya terbalut dengan selimut tebal. Hidungnya memerah. Bahkan matanya pun turut memerah dan berair. Sejak subuh, tubuhnya panas dan menggigil.Linggar merasa dirinya flu berat dan demam. Setelah perjanjian dengan Kartini kemarin tubuhnya semakin melemah, semalaman ia tidak bisa memejamkan mata. Akibatnya, kepalanya terasa berat dan hidung pun tersumbat. Dengan terpaksa ia pun harus istirahat dari segala hiruk-pikuknya pekerjaan."Sekarang kamu sakit, mana mungkin aku meninggalkan kamu sendirian. Aku tidak tega kamu sendirian di sini, Dik Enggar. Lagi pula 'kan pertemuan itu bisa diundur menjadi besok, tidak harus sekarang. Aku yakin Bu Tin juga paham dan maklum dengan kondisi kamu sekarang," tolak Pramudita."Misal aku berangkat sekarang, kalau sewaktu-waktu kamu butuh sesuatu siapa yang akan membantu? Kepala kamu pusing, 'kan? Kala
"Hari ini Bu Linggar tidak ada, Bu. Beliau sedang sakit," ucap Lia sopan. "Oh ya? Sejak kapan dia sakit?" Wanita dengan kacamata hitam bertengger di hidungnya itu tersenyum miring. Wajahnya tampak terlihat begitu bahagia.Lia, asisten Linggar di toko itu kemudian mengerutkan dahinya, tampak sedang berpikir. "Mungkin sudah dua hari yang lalu, Bu. Apa ada pesan yang ingin ditinggalkan untuk Bu Linggar? Nanti akan saya sampaikan kepada beliau, Bu.""Tidak, tidak ada. Nanti saya sendiri saja yang ke sana," ucapnya sambil berlalu, tidak jadi membeli kue di sana.Gendhis membuka kacamatanya, senyuman puas terpancar tidak lepas dari bibir manisnya. Ia duduk di bangku penumpang belakang, ke mana-mana sekarang ia meminta sopir pribadi. Tampak wajahnya senang bukan kepalang. "Sudah pantasnya kamu sakit, Enggar. Siapa suruh kamu terus mengganggu pikiran suamiku, hah? Segera saja kondisimu semakin parah dan enyah dari kehidupan ini," desis Gendhis."Aku sama sekali tidak suka melihat kamu masih
"Kok Mas Pram balik lagi? Apa ada yang ketinggalan ya?" Jalannya belum begitu cepat, beberapa kali kakinya terlihat terseok-seok. Kepala pun masih terasa berdenyut nyeri."Kenapa tidak masuk saja? Kenapa harus pencet bel seperti itu?" Linggar mendengus kesal, pasalnya kaki terasa gemetar kala menuruni satu persatu anak tangga.Mendengar suara bel ditekan terus-menerus membuat kepala terasa semakin sakit. Linggar juga merasa janggal, tidak biasanya Pramudita memencet bel saat ingin masuk ke dalam rumah. Pria itu akan segera masuk dan mencari keberadaan dirinya. Padahal belum ada sepuluh menit Pramudita meninggalkan rumah, bila ada suatu hal yang tertinggal tentunya akan memberitahu terlebih dahulu untuk disiapkan. Malah ini seperti menuntut untuk segera dibukakan pintu. Linggar memicingkan matanya, mendadak curiga jika itu adalah tamu yang memiliki niatan jahat."Jika Mas Pram, tentunya tidak memencet bel berulang kali seperti sekarang. Tapi, siapa yang datang jam segini?" Langkah Li
"Mobil itu ada di sini," desis Pramudita. Tangannya mengepal tidak suka, pikirannya semakin terbebani dengan pikiran bercabang.Sesuai dugaan mobil yang papasan dengannya tadi adalah mobil ke rumahnya, entah milik Gendhis atau Pradipta. Menurutnya bila Pradipta yang datang tentu tidak mungkin, pria itu tidak akan berani mendatangi rumahnya tanpa ada kehadirannya. Ia malah yakin bila mobil itu dikendarai Gendhis."Apa yang dia lakukan di rumahku?" Pramudita segera menepikan mobilnya, ia bergegas membuka gerbang rumahnya dan berlari ke dalam rumah. Perasaan bertambah semakin tidak tenang kala mendengar percakapan dari dalam rumahnya dengan nada suara tinggi. Tak hanya itu saja, Pramudita juga mendengar rintihan meminta tolong. Pertama yang ia lihat Gendhis semakin memperdalam cekikan di leher Linggar. Hal ini membuat amarah Pramudita semakin berapi-api, ia menarik dengan kuat tangan Gendhis dan membanting di sofa kosong sebelahnya. Semarah hatinya, tetap memperlakukan seorang perempua
"Bagaimana ini, Jodi? Mas Pramudita pasti akan berbuat sesuatu. Aku yakin Mas Pram tidak akan tinggal diam begitu saja, Jodi. Apa yang harus aku lakukan? Mas Dipta belum tentu membela aku," ucap Gendhis.Tubuh Jodi bersandar di kursi, rambutnya di atas telinga dan tidak terawat. Ia menyugar rambutnya, kemudian membuang napas perlahan. "Aku pun harus apa, Gendhis? Kamu yang bersalah, harusnya kamu pun berani bertanggung jawab. Perbuatan kamu tentu memiliki akibatnya," jawab Jodi kemudian memejamkan matanya sesaat."Setidaknya kamu memberikan ide untukku, bantu aku agar tidak kena jerat hukum, Jodi. Hanya kamu yang bisa aku andalkan. Suamiku pasti akan marah mengetahui aku berbuat seperti ini, tentunya dia akan berpihak ke Mas Pram. Apa lagi yang aku celakai adalah pujaan hatinya." Gendhis mengacak-acak rambutnya.Gendhis menatap Jodi, memohon bantuan dari pria tersebut. Sayangnya Jodi memilih menunduk, hati dan isi kepala terasa bimbang seketika.Embusan napas Jodi terasa berat, matan
"Maksudnya? Kamu hampir membunuh Linggar?" Wanita paruh baya itu membungkam mulutnya, ia memejamkan matanya perlahan."Bagaimana bisa, Ndhis? Ibu sudah bilang untuk kamu kontrol rasa cemburu yang ada di hatimu itu! Kenapa bisa kamu lepas kontrol?" Gendhis menundukkan kepalanya, takut untuk menatap wanita paruh baya yang berkacak pinggang di hadapannya. Sumiati, sang Ibu, tampak tidak suka akan tindakan yang telah dilakukan anaknya tersebut. "Kenapa otakmu selalu berpikiran pendek, Gendhis? Wajar sekali jika kamu bodoh sejak dalam kandungan! Bagaimana jika Dipta menceraikan kamu, hah? Semua kekayaan yang kamu nikmati akan hilang seketika, Gendhis. Rumah ini pun pasti akan diambil kembali oleh Pradipta.""Aku harus apa, Bu? Aku cemburu dengan Dik Enggar, setiap aktivitas yang dilakukan Mas Dipta pikirannya selalu saja mengingat Dik Enggar. Hati istri mana yang tidak cemburu, Bu? Bahkan Ibu pun aku rasa akan cemburu jika melihat orang yang Ibu cintai menyebut nama wanita lain saat mome