Sesaat kemudian, lift kembali menyala. Afgan berdiri dengan arogan seolah-olah tidak melakukan kesalahan apa pun. Tidak ada pembicaraan di antara mereka sampai lift itu berada di lantai pertama hotel tersebut.
"Pulang! Tidak usah bekerja lagi hari ini!"
"Tapi, aku punya pakaian ganti." Adelia ingin menolak karena dia tidak mempunyai jatah cuti lagi dan dia tidak mau dianggap karyawan yang tidak becus.
Afgan menarik tangan Adelia sampai menuju ke depan pintu mobilnya.
"Masuk!" perintahnya dengan kasar.
Setelah Adelia masuk, Afgan membantu memasangkan selt belt untuk Adelia. Sesaat Afgan menautkan kedua alisnya, sekali lagi, aroma yang ada pada Adelia membuat dia teringat dengan wanita pada malam naas itu.
Dalam hati, Afgan bertanya-tanya mengenai aroma Adelia dengan Melinda yang sangat jauh berbeda.
Afgan melajukan mobilnya menuju ke rumah tanpa emosi. Pria itu sudah berhasil menetralkan temperatur dan detak jantungnya.
Namun, t
Saat Melinda menyadari bahwa dia benar-benar tidak tahu parfum atau shampoo apa yang dipakai Adelia, dia merasa frustasi. Dia tahu bahwa Adelia sangat bersikap tertutup tentang preferensi pribadinya, tetapi Melinda merasa sangat penasaran."Aku harus mencoba, daripada aku kehilangan Afgan yang begitu kaya dan ganteng luar biasa!" pekik Melinda dengan panik.Dia memutuskan untuk mencoba mendapatkan informasi tersebut tanpa mengungkapkan maksud sebenarnya. Dengan penuh kecerdikan, dia memutuskan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak mencurigakan.Adelia baru saja selesai menghabiskan buburnya pada saat panggilan dari Melinda masuk.Adelia masih kesal dengan Melinda, tetapi dia tetap mengangkat panggilan karena ada kemungkinan panggilan tersebut berkaitan dengan ketidakhadirannya di tempat kerja saat ini."Adelia, kamu sakit? Mengapa tidak masuk setelah bertengkar dengan Afgan?" tanya Melinda berpura-pura simpati.Daripada menjawab pertanyaan Melinda, Adelia memilih mengalihk
Afgan mengepalkan tangannya dengan erat sehingga kuku-kukunya sudah menusuk dalam di telapak tangannya.Berulang kali dia mendengar pengulangan perkataan sang ayah dalam kepalanya: "Keturunan Al-Futtaim."Afgan memang pewaris tunggal sehingga kewajiban semua berada di pundaknya, tetapi dia mengalami dilema yang sangat berat. Bagaimana dia bisa menyentuh Adelia, sementara dia merasa jijik karena membayangkan tubuh wanita itu telah disentuh pria lain, tepatnya satu hari sebelum pernikahan.Akhirnya sepanjang hari, Afgan bekerja seperti orang yang kerasukan. Dia membuang semua pikiran tentang Adelia dan Melinda juga mengenai keturunan yang menjadi tanggung jawabnya.Afgan bekerja sampai lupa akan waktu, pria itu sama sekali tidak membiarkan karyawannya untuk berhenti dalam rapat mendadak yang diadakan. Dia bahkan tidak makan siang, demikian juga para karyawan yang mengikuti rapat."Tuan, maaf. Apakah kami boleh beristirahat sebentar? Kami juga butuh untuk makan siang."Afgan menatap deng
Afgan mengembuskan napas dengan kesal sambil menatap kosong ke arah mangkuk di tangannya."Makan!" perintah Afgan dengan nada dingin dan ketus.Adelia tetap meringkuk di ranjang dan tidak memperdulikan perintah Afgan sehingga membuat pria itu semakin mendidih."Duduk!" Afgan menaikkan nada suara lalu menarik tangan Adelia dengan kasar sehingga wanita itu terduduk di ranjang dengan wajah kusut dan tidak enak dipandang."Buka mulutnya!" perintah Afgan sambil menyendokkan sesuap bubur. Adelia tetap mengatup bibirnya rapat-rapat. Wanita itu merasa sangat kesal dengan kehidupan yang harus dijalaninya. Dia mogok makan karena tidak suka dikurung seperti ini. Ini sama saja seperti neraka baginya.Kedua matanya berkaca-kaca menatap Afgan dengan hati yang ketakutan tetapi nekad."Kamu bandel ya! Kenapa tidak mau makan?""Jawab!"Adelia tersentak kaget karena suara Afgan sangat keras. Adelia mengigit bibirnya dengan kekesalan yang teramat
Afgan memacu mobil sport biru kesayangannya dengan cepat menuju hotel. Pikirannya penuh dengan ingatan romantis dari malam yang telah berlalu, tetapi bayangan Adelia terus mengganggunya. Afgan merasa frustasi karena tidak dapat menghilangkan bayangan istri murahan miliknya itu dari pikirannya.Saat tiba di hotel, Afgan dengan langkah mantap menuju pintu kamar tempat mereka berdua menghabiskan malam bersama. Hati Afgan dipenuhi harapan dan keinginan untuk mengulang momen indah itu. Namun, begitu pintu terbuka, aroma parfum yang kuat memenuhi udara, membuat Afgan mengernyitkan alisnya."Kenapa parfum ini sangat menyengat?" gumam Afgan dalam hati. Dia berharap Melinda ada di dalam, mungkin sedang bersiap untuk memberikan kejutan padanya. Dengan langkah berhati-hati, Afgan memasuki kamar, berharap menemui Melinda di kamar mandi."Melinda," panggil Afgan setengah berbisik.Dia melonggarkan dasinya dengan harapan yang tumbuh. Namun, ketika dia membuka pintu kamar mandi dengan cepat, kekecew
Afgan melihat ke arah Melinda yang masih menatapnya dengan tatapan penuh harap. Entah kenapa, saat ini, Afgan merasa amarah mendalam terhadap Melinda, tetapi Afgan sadar, yang paling penting adalah memastikan Melinda tahu dia tidak bersalah."Aku percaya padamu, Mel," kata Afgan dengan lembut. Dia meraih tangan Melinda dengan penuh kelembutan. "Kita akan mengatasi ini bersama-sama. Tidak ada yang bisa merusak hubungan kita, termasuk Edward."Melinda tersenyum, merasa lega mendengar kata-kata Afgan. Mereka berdua berpegangan tangan dengan erat, siap menghadapi segala rintangan yang ada di depan mereka.Edward memandang mereka dari jauh dengan rasa kesal yang mendalam, tetapi dia tahu bahwa cinta sejati tidak bisa dihancurkan oleh kecemburuan atau intrik. "Sepertinya aku akan mulai merebut hati Adelia," gumam Edward di tempatnya berdiri."Aku akan menunggu di kamar. Pastikan kamu masuk dan lanjutkan kejutan yang ingin kau berikan, jangan biarkan aku terlalu
Hari masih pagi dan Afgan sudah bersiap - siap berangkat ke kantor. Selama dua minggu sejak pernikahannya, pekerjaannya cukup terbengkalai. Belum lagi waktu yang dihabiskan terlalu banyak untuk Melinda.Afgan berniat menyelesaikan pekerjaannya hari ini dan menemui Melinda yang sudah pasti merajuk karena ditinggalkan semalam.Afgan menatap Adelia yang sedang tertidur dengan tatapan hangat sambil mengikat dasinya.Sejujurnya, Afgan merasa apabila wanita ini bukan wanita murahan, maka dia adalah orang yang akan mampu memiliki hati Afgan. Memikirkan pertemuannya di depan apotik dan obat kontrasepsi yang berjatuhan, membuat Afgan tersadar bahwa wanita ini tidak pantas.Raut wajahnya kembali berubah dingin lalu mendengkus. Afgan mengertakkan gerahamnya kemudian pergi dari kamar Adelia."Tuan, apakah Tuan akan sarapan terlebih dahulu?" tanya Kepala Pelayan pada saat Afgan melewatinya."Tidak, saya akan langsung ke kantor saja. Kamu siapkan sarapan
Hatinya berdebar lebih kencang saat Adelia mendekatinya, Edward menatap Adelia dengan mata penuh perasaan, hanya dia yang tahu."Adelia," panggil Edward dengan lembut. Adelia tersenyum hangat walau sedikit pucat, wajahnya memancarkan kejutan saat dia melihat buket bunga yang dibawa oleh Edward."Ini untukmu," kata Edward dengan senyuman hangat, menyerahkan buket lily putih kepadanya. "Mereka indah seperti dirimu, Adelia. Aku ingin kamu tahu betapa istimewanya kamu."Adelia merasa terkejut dan terharu oleh gestur Edward. Lebih terkejut lagi dengan perkataan yang disampaikan Edward. Dia menerima buket bunga itu dengan gemetar, matanya bersinar dengan rasa bahagia. "Terima kasih, Edward. Mereka sangat cantik," ucapnya dengan suara lembut, penuh dengan rasa terima kasih.Edward mengangguk, mata mereka bertemu dalam pandangan yang penuh arti."Bagaimana perasaanmu? Apakah kamu sudah sehat?" tanya Edward sambil melirik tiang infus yang selangnya bersambu
Kepala pelayan dipanggil menghadap ke ruangan kerja Afgan. Pelayan tua itu segera berlutut ketakutan.Adelia yang mendengar laporan ini segera berjalan tertatih menuju ke ruangan yang sama. Dia harus membela Kepala Pelayan tua!"Siapa yang mengizinkan pria masuk ke dalam rumah?" tanya Afgan, memandang tajam kepada Kepala Pelayan tua yang sedang berlutut dan menangis ketakutan.Karena tidak mendapat jawaban, Afgan melemparkan sebuah gelas dan pecahannya mengenai sebagian wajah Kepala Pelayan Tua.Pada saat yang sama, Adelia sudah tiba di ruangan kerja Afgan. Dengan segera, Adelia memeluk tubuh Kepala Pelayan Tua."Afgan!" teriak Adelia dengan membalas tatapan tajam."Kamu kehilangan nuranimu!""Apa maksudmu?" Afgan berdiri dan emosinya semakin naik sampai ke ubun-ubun."Dia sudah tua, tidak seharusnya kamu yang masih muda berlaku kasar seperti itu! Walau pun dia adalah seorang pelayan!"Afgan melihat tajam ke arah Adelia,