Share

3. Bertemu Calon Klien.

"Apakah begitu sulit bagimu mengandung sendiri anak kita?" 

"Sudah kukatakan berkali-kali, ini demi kau dan juga diriku. Aku tak ingin tubuhku menjadi melar di mana-mana dan membuatmu tak berselera."

Pasangan suami istri itu kembali diam dalam beberapa waktu. Sejak enam tahun pernikahan mereka, Cataline selalu tegas mengatakan dirinya tak akan mengandung sendiri anaknya. Dia akan memakai jasa ibu pengganti untuk mendapatkan keturunan. Meski Rich ribuan kali meyakinkannya akan terus bersama gadis itu, Cataline tetap dengan pendiriannya. 

"Kau tak akan menyesalinya, Cataline?" tanya Rich meyakinkan.

Cataline menggeleng cepat dan berkata, "Akan lebih menyesal jika aku yang mengandungnya. Aku tak ingin merusak tubuh indahku karena seorang anak. Lagian, bukankah banyak orang yang  melakukannya? Ayolah, Rich... demi penampilan istrimu, kau harusnya mengerti. Bisa kau bayangkan teman-temanku akan mengejekku jika menjadi gendut karena hamil? Tolonglah... aku tak ingin hamil, tapi kita juga harus memiliki penerus untuk keluarga ini."

Bertahun Rich meyakinkannya tapi Cataline hanya sibuk dengan keindahan tubuh. Sampai mati pun istrinya itu tidak akan mau mengalah. Rich akan semakin tua dan bisa mati kapan saja. Lantas, untuk apa dia bekerja sangat keras jika tak memiliki keturunan untuk meneruskan nama dan bisnis keluarga? Rich ingin menimang putra, memberikan cinta pada anak-anaknya, membesarkan mereka sampai nanti melahirkan cucu-cucu yang banyak. Tapi jika Cataline tetap seperti ini, semua impian itu tak akan pernah nyata.

"Rich... bukankah kau berjanji akan menuruti semua inginku? Lantas kenapa kau tak bisa melakukannya kali ini?" Cataline memeluk lengan suaminya dan berkata dengan manja, "Kau akan melakukannya, kan? Usiaku sudah 35 tahun, aku tak ingin semakin tua karena mengandung."

Lelah dengan desakan istrinya, mau tak mau Rich harus mengalah. "Terserah kau saja, lakukan apa yang menurutmu benar." 

"Kau setuju? Rich... aku sangat mencintaimu!" Cataline mencium Rich yang diam mematung.

*** 

[Halo, Nona Jovanka Abigail, kami sudah menemukan klien untukmu. Luangkan waktumu besok untuk menemui calon klien pertamamu. Kami akan mengirimkan pesan selanjutnya untuk tempat dan waktunya, terima kasih.]

Jantung Jovanka berdebar tak karuan membaca pesan yang masuk ke ponselnya. Ini adalah pesan ke dua setelah kemarin dia dinyatakan lulus pendaftaran tahap awal. Tak disangka, hanya kurun waktu satu hari sejak mendaftar di situs itu, Jovanka akan menemui kliennya. 

"Bagaimana ini? Apakah aku harus menolak tawaran ini?" Jovanka bergumam ragu.  "Tapi itu baru calon klien, belum tentu mereka akan memilihku." Dia kembali tenang memasuki kediaman keluarga Hernandez. Gelak tawa semua orang terdengar renyah menyambut kedatangan Jova. Semua orang pasti sedang berbahagia seperti biasanya. Jova tidak perlu ikut bergabung karena dia tak pernah diinginkan hadir di sana. Gadis itu menaiki anak tangga sebelum Adriana memanggilnya.

"Kau pulang, Jovanka?"

Jovanka menghentikan kakinya. Akan disebut tidak sopan jika dia tetap melangkah meninggalkan tempat itu. 

"Selamat malam, semuanya. Maaf, aku pulang terlambat."

"Ya, ini sudah larut malam. Tak ada yang menyebut ini masih siang, kau tak melihat gelap di luar sana?" Bertrand menyindir sambil melirik jam di pergelangannya.

"Jovanka, sebenarnya apa yang kau lakukan di luar sana sampai tengah malam?"

Kali ini Ferry Hernandez yang bertanya dengan nada curiga. Jovanka dibuat tidak nyaman oleh tatapan mereka yang seakan menuduhnya melakukan sesuatu yang salah. 

"Aku beke-"

"Sudahlah, Sayang... jangan terlalu keras pada Jovanka, dia sudah dewasa. Bukankah wajar seorang gadis pulang malam setelah bertemu dengan teman-temannya?" potong Adriana. Nadanya sangat lembut seperti dia bukanlah orang yang kemarin mengutuk Jovanka di kamar. "Sayang, besok desainer interior akan mulai bekerja. Bukankah Jovanka juga seharusnya ikut memberi saran untuk dekorasi ulang tahun Queen? Dia sangat pintar, aku rasa dia memiliki ide," sambungnya menatap lembut sang suami. 

Jovanka bisa menyadari kelicikan ibu tirinya, bahwa wanita itu tak menginginkan Jovanka ada di acara ulang tahun Queen. Hanya saja dia tak langsung mengatakannya dengan gamblang.

"Kau tak boleh di sini sampai acara ulang tahun Queen selesai. Pergilah ke rumah temanmu dan menginap di sana, aku tak ingin seseorang melihat kau ada di rumah ini," perintah Ferry Hernandez. 

Jovanka melihat senyum kemenangan di wajah Adriana, rencananya sesuai dengan yang diharapkan.

"Baik, Ayah." Jovanka berpamitan pergi ke kamarnya dan tak ada yang peduli. Semua orang kembali bercengkrama seperti sebelum Jovanka pulang. 

Menginap di rumah teman? Hahaha! Bahkan Jovanka tak memiliki teman selain Sarah Spencer, dan tak mungkin dia menginap di rumah gadis itu. Sarah tak boleh tau terlalu banyak tentang Jovanka atau dia akan mendapat hukuman dari sang ayah.

Begitulah peraturan di dalam hidupnya. Tak ada yang boleh tahu Jovanka adalah salah satu putri keluarga ini. Sebab itu pula Ferry Hernandez menyuruhnya pergi agar tidak mengundang kecurigaan orang lain. Ferry tak pernah mengakui Jovanka sebagai putrinya di depan umum dan hanya memperkenalkan ketiga anak lainnya. Jadi, Jova tidak boleh terlalu banyak bercerita tentang hidupnya pada Sarah.

Ketika Jovanka menceritakan tentang pesan yang dia dapat, gadis bermata besar itu melotot sampai matanya hampir memenuhi wajah.

"Kau serius? Itu baru kemarin dan mereka langsung menghubungimu?" tanya Sarah tak percaya. "Aku menjadi curiga, mungkin mereka menjual gadis-gadis ke luar negeri, jadi jangan temui mereka!"

"Kau berlebihan, Sarah. Mereka mengajak bertemu di restoran, itu tempat umum. Tak mungkin mereka menculikku di sana."

"Tapi tetap saja, Jovanka! Kau harus hati-hati dan jangan begitu cepat setuju!"

Sepulang kuliah dia pergi ke toko kue dan bekerja seperti biasa. Pukul tujuh malam dia meminta ijin pada Nyonya Green dengan alasan ada acara keluarga. Nyonya Green tidak mempermasalahkannya karena selama ini Jova adalah gadis yang rajin. Dan tentang kesalahpahamannya dengan pelanggan kemarin pun tidak dipermasalahkan wanita tua itu, meski mereka tetap meminta maaf padanya. Jovanka meminjam kamar mandi toko untuk membersihkan diri, mengganti bajunya dan bergegas ke alamat yang dikirimkan pihak pencari jasa ibu pengganti.

Sudah hampir pukul delapan malam saat Jovanka memasuki restoran itu, dia akan terlambat. Teleponnya berdering dan langsung mendapat cecaran dari seberang sana.

"Nona Jovanka, apa kau serius dengan pekerjaan ini? Klien sudah tiba, di mana kau?" 

"Maaf, Nyonya, aku sudah di restoran." Penelepon memberitahu Jova nomor ruangannya dan meminta pelayan mengantarkan. 

"Masuklah, dan jaga pandanganmu. Klien kita bukan orang sembarangan jadi jangan membuat kesalahan." Gadis berusia tiga puluhan itu mengajak Jovanka masuk. 

Di dalam sudah ada pasangan suami istri dan ketua yayasan. Jova berdiri di belakang gadis yang membawanya tanpa berani mengangkat wajah, seperti yang diperingatkan.

"Tuan dan Nyonya Cullen, ini kandidat kedua yang bisa kami kenalkan. Dia Jovanka Abigail, berusia 22 tahun dan berasal dari pinggir kota. Dia masih berkuliah dan ini pengalam pertamanya, seperti yang Nyonya Cullen inginkan."

Persis seperti sebuah barang, Jovanka ditawarkan pada calon klien yang akan memakai jasanya. Dan sebenarnya, hati gadis itu menangis mendapati dirinya tengah menjual harga diri.

"Jovanka, majulah ke depan dan berkenalan dengan calon klien."

Jova merasakan kakinya gemetar. Dia maju ke hadapan orang-orang yang sedang mempertimbangkan dirinya.

"Angkat wajahmu, biarkan calon klien kita melihatmu."

Masih dengan gemetar, Jovanka mengangkat wajahnya ragu-ragu. Betapa terkejut Jova melihat pria yang duduk di sebelah istrinya.

Bukankah itu pria yang kemarin berselisih paham dengannya di toko?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status