Share

5. Si Tuan Takur

Mungkin kakek tua itu seumuran Daniel, papinya. Atau bisa jadi lebih. Uban putihnya menutupi hampir semua kepalanya. Bahkan jambang dan kumisnya yang melintang pun berwarna putih. Mata legamnya yang terbingkai alis lebat itu menatap begitu tajam. Agak mengerikan seperti Tuan Takur Sing di serial India yang sering Bi Sari—asisten rumah tangga di rumah Kakek Ricko—tonton dulu jaman Kavia masih kecil.

Malam ini Javas membawa Kavia ke rumah besar Kakek Javendra. Kakek yang menurut Javas sering berseberangan dengan dirinya. Dari sini Kavia tahu betapa kaya rayanya keluarga Wirahardja itu. Rumahnya serupa penthouse milik almarhum Nani di Florencia. Jika dibanding Fabby yang berasal dari keluarga biasa jelas mantannya itu kalah telak. Tapi Kavia mencintai pria biasa brengsek itu. Jujur dari lubuk hatinya yang paling dalam, dia masih ingin bersama Pria bedebah itu.

Deheman keras membuat Kavia tersentak. Dia segera sadar dari kenyataan bahwa dirinya saat ini berada di ruang tamu besar keluarga Wirahardja. Javas di sebelah mencolek sedikit lengannya dan menunduk seraya berbisik.

"Sapa kakek."

Kavia menelan ludah gugup. Lalu segera mengangguk. Tangannya terangkat dan melambai penuh semangat. "Halo, Kakek. Saya Kavia, saya calon istri Javas. Senang bertemu kakek," sapa Kavia dengan wajah ceria dan senyum lebar.

Namun keceriaannya berubah canggung kala tidak ada tanggapan sedikit pun dari si kakek. Orang-orang di sekitarnya pun tampak ikut mengheningkan cipta. Apa sapaannya tadi salah? Bahkan Javas di sebelahnya pun diam saja. Kavia jadi bingung.

"Selamat malam." Akhirnya si Tuan Takur bersuara. Suara yang berat dan dalam.

Entah bagaimana ceritanya suara itu mampu membuat kuduk Kavia meremang. Benar-benar suara keramat.

Tidak lebar seperti tadi, kali ini Kavia tersenyum kikuk. "Selamat malam, Kek."

"Kita makan malam dulu," ucap Kakek Javendra tegas, lantas berbalik diikuti oleh seorang yang sejak tadi berdiri di sampingnya. Mungkin asisten pribadinya.

"Aku nggak tau kalau kakekmu semenyeramkan ini," bisik Kavia, mencondongkan badan mendekati Javas.

"Kamu kan baru mengenalnya. Daripada menyeramkan, dia lebih ke menyebalkan."

Kavia melotot mendengarnya. Cucu macam apa Javas ini mengatai kakeknya sendiri menyebalkan? Kavia juga punya kakek, tapi ganteng dan ramah meskipun sudah tua. Tapi orang tua memang kadang menyebalkan sih.

Makan malam ini terlalu formal. Tidak ada suara selain denting sendok dan garpu. Suasana macam apa ini? Namun yang menjadi pertanyaan di benak Kavia adalah di mana orang tua Javas berada? Kalau pria lain mengenalkan calon istri lebih utama ke orang tuanya terlebih dulu, tapi Javas malah membawanya ke rumah sang kakek.

Meja makan panjang ini terasa sunyi. Jika bukan karena pelayan-pelayan yang berkeliaran di rumah ini, Kavia yakin rumah besar ini sudah mirip sebuah pemakaman.

"Jadi kapan kalian menikah?" tanya Javendra setelah makan malam itu usai.

Saat ini ketiga orang itu berada dalam sebuah ruangan yang lebih privasi. Bahkan asisten sang kakek diminta keluar lebih dulu.

Kavia mengernyit mendengar pertanyaan itu. Semendesak itukah pernikahan ini?

"Rencananya dua minggu lagi, Kek," sahut Javas.

"Dua Minggu? Apa tidak bisa lebih cepat lagi?"

Hampir saja rahang Kavia terjatuh. Mau secepat apa lagi memangnya?

"Kakek mencoba menantangku lagi?" Rahang Javas tampak mengeras. Dia tahu Kakek sedang marah padanya lantaran dia menolak semua kandidat yang kakeknya pilihkan.

"Kenapa? Bukankah makin cepat makin baik? Kamu tidak bisa mempersiapkan rencana pernikahanmu sendiri? Masih perlu bantuan kakek?" Suara itu terdengar begitu meremehkan. "Sebenarnya apa yang bisa kamu lakukan tanpa kakek, Javas?"

Javas meremas arm rest kursinya dengan erat. Pria tua itu selalu saja membuat kepalanya mendidih. "Kakek tidak perlu mencemaskan itu," ucapnya menyeringai. "Aku bisa mengurus semuanya."

"Memang seharusnya begitu kan?" Alis lebat Kakek terangkat. "Kamu yang memilih wanitamu sendiri, maka kamu pula yang akan mengurus semuanya sendiri." Tatapannya beranjak kepada wanita di samping cucunya yang masih saja diam. "Siapa nama kamu tadi?"

Kavia terperanjat. Dengan gugup dia menjawab, "Ka-Kavia, Kek."

"Cucuku memberi imbalan apa padamu sampai wanita secantik kamu mau menikah dengannya?"

Pertanyaan itu sama sekali tidak pernah Kavia duga. Alih-alih menanyakan tentang bibit bebet bobot, pria tua itu menanyakan sesuatu yang sulit untuk Kavia jawab.

"Ka-kami tidak—"

"Omong kosong apa ini? Aku sudah memenuhi keinginan kakek, tidak bisa kah kakek memuluskan jalan kami saja?" sela Javas terlihat kesal. "Asal kakek tahu." Javas tiba-tiba meraih tangan Kavia dan menggenggamnya. "Kami menikah karena saling mencintai. Jadi, kakek tidak perlu melontarkan pertanyaan yang tidak masuk akal."

Javendra terdiam seraya memandangi wajah cucunya yang penuh emosi. Lagi-lagi pria tua itu masih melihat sikap kekanakan Javas. Banyak pertimbangan yang membuatnya tidak bisa langsung segera menyerahkan hak waris pada cucunya itu. Dengan sikap yang emosianal seperti itu Javas bisa dikalahkan dengan mudah oleh para pesaingnya. Javendra jelas tidak akan membiarkan itu terjadi.

"Baik." Javendra mengangguk. "Lakukan apa yang kamu mau."

***

"Sekarang kamu tau kan betapa menyebalkannya pria tua itu?"

"Hei, pria tua itu kakek kamu. Nggak sopan." Kavia mendengus. "Hubungan kalian tidak akur?"

Javas terdiam. Dua tangannya memegang erat kemudi. Mata cokelatnya lurus memperhatikan jalanan. Dulu hubungannya dengan sang kakek sangat harmonis. Semua menjadi menyebalkan ketika Javas beranjak remaja dan kakek terlalu banyak memberinya aturan. Terlebih setelah peristiwa itu.

"Kamu melihatnya seperti itu?"

Kavia mengangkat bahu. "Percakapan kalian yang membuatku berkesimpulan begitu. Aku juga punya kakek, dan hubungan kami nggak berjarak seperti kamu dan kakekmu."

Javas tidak menjawab. Dia hanya merespons dengan senyum kecil. Jujur Javas juga menyesali hubungannya sekarang dengan pria tua keras kepala itu.

"Dan aku minta maaf kalau lancang. Kenapa kamu tidak mengenalkan aku sama orang tua kamu? Mereka—"

"Kedua orang tuaku meninggal ketika usiaku 15 tahun," potong Javas yang langsung membuat Kavia menyesal.

"Javas, Sori. Aku nggak bermaksud...."

"It's okay. Kamu wajar bertanya. Aku nggak masalah. Mereka meninggal karena kecelakaan ketika aku sedang mengikuti kegiatan kemah bakti. Ibu sempat melarangku ikut, mungkin seandainya aku menurut dia nggak akan mengalami kecelakaan itu bersama Ayah." Javas menelan ludah. Penyesalan terbesar di hidupnya sampai saat ini dia belum bisa patuh sepenuhnya pada sang Ibu.

Remasan di pundaknya membuat Javas makin memegang erat kemudi.

"Jangan menyalahkan diri sendiri. Mereka pergi karena memang sudah takdir. Tidak ada kata 'seandainya' jika Tuhan sudah berkehendak," ucap Kavia. Dia tidak pandai menghibur, entah darimana kata-katanya itu meluncur. "Jangan cerita lagi kalau itu membuat kamu sedih." Kavia menarik napas panjang dan mengembuskannya kasar. "Mungkin sebaiknya kita memikirkan bagaimana cara mempersiapkan sebuah pernikahan dalam waktu sesingkat ini."

Senyum Javas kembali mengembang. "Kamu nggak perlu pusing, Phil akan membuat pernikahan kita sangat istimewa. Jadi, kamu bisa menunjukkan pada mantan dan sahabatmu itu kalau penghianatan yang mereka lakukan tidak akan bisa membuatmu terpuruk sedikit pun."

Terdengar sempurna. Kavia sangat ingin menunjukkan itu pada mereka. Kehilangan Fabby tidak membuatnya rugi sama sekali. Semua akan mengira dialah yang meninggalkan Fabby demi bersama pria yang lebih baik. Harga dirinya terselamatkan. Seperti kata Dian, Kavia tidak layak disingkirkan oleh seorang Fabby, apalagi demi wanita bermuka dua seperti Jemma.

=============

Welcome to the Jagland Family. Sudah tahu kan Kavia itu siapa? Aku tunggu dukungan teman-teman dan ulasannya. Happy reading.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rahmalia Namaku
ceritanya bagus dan lumayan buat greget waktu bacanya. semangat Thor!!!
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status