Sera hanya bisa menundukkan kepala. Tamparan itu semakin membuatnya bergetar. Namun, apa yang bisa dia lakukan? Anggoro pun hanya terdiam lalu meninggalkan semuanya dan masuk ke dalam kamarnya. Pamela semakin tersenyum sambil bersedekap. Dia sangat puas menatap Sera akhirnya kalah mutlak di hadapannya."Aku yang membantumu ketika itu. Aku bisa saja membiarkanmu di sana bersama Bima. Bagaimana jadinya jika anakku menemukanmu di kamar itu?" Simbah semakin mendekati Sera dan mengangkat tongkatnya. Menunjuk tepat di wajah Sera yang masih saja menundukkan kapala."Kau berjanji akan menolong anakku. Jangan pernah membuatnya celaka. Waktumu bertahan hanya satu bulan. Ingat itu."Pamela mendekati Sera setelah Simbah meninggalkan ruangan. "Kau tidak tahu apa pun, budak. Ah, mana mungkin kau mengerti. Seorang budak tanpa pendidikan. Yang diketahuinya hanya melayani karena memang tugasnya adalah pembantu.""Selain pembantu, dia adalah pengkhianat. Mana mungkin istri Bupati bisa menemui calon su
Sera menatap anak itu. Satria pun membalas dengan tatapan tegang. Simbah menarik napas panjang, dan terus berpikir. Memang sejak kehadiran Sera, masalah datang bertubi-tubi. Wanita desa yang kumuh dan sangat berantakan datang ketika itu, yang dianggapnya bisa menurut seperti robot, justru kebalikannya. Sangat pintar dan membahayakan."Waktu saya hanya satu bulan saja bukan?" sela Sera mengejutkan Simbah. Dia berjalan mendekati wanita itu yang masih menatap tegang. "Apa yang bisa seorang budak lakukan? Apalagi malam-malam masuk ke dalam ruangan suaminya. Mencuri? Ya, itulah yang dituduhkan dan aku tidak menyangkal. Untuk apa aku membela diriku sendiri. Seorang budak pasti akan selamanya menjadi maling.""Mengakui diri sendiri. Baguslah, kalau begitu. Sekarang kemasi semua barangmu dan enyahlah--""Cukup, Pamela!" balas Simbah keras. "Tidak akan ada yang pergi dari sini.""Mbok!" teriak Simbah. "Bagaimana dengan dokternya?""Simbah, dokter sudah berada di depan.""Cepat suruh masuk."Mb
Sera benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Anggoro menariknya, lalu menatap dengan sangat dekat. Tubuhnya masih sangat terasa panas. Hal ini tidak bisa Sera biarkan. Dia harus mencegah Anggoro marah, karena tidak baik untuk kesehatannya."Tuan lebih baik beristirahat dulu. Jangan berkata apa pun," ucapnya kemudian menarik selimut itu karena kembali terlepas dari tubuh Anggoro."Jadi kau tidak mau membahasnya? Kamu tidak membenarkan ucapanku? Sera, aku melihatmu dengan mata kepalaku sendiri. Kau berada di jalanan bersama dengan Bima. Apa yang sebenarnya kau rencanakan?" balas Anggoro masih dengan suara yang sangat serak."Kau merencanakan sesuatu untuk membunuhku bukan? Kau memberikan racun itu di dalam gelas ku. Kenapa kau melakukan itu?"Spontan Sera melepaskan tangannya yang semula mencengkeram selimut. Dia menggelengkan kepala. Jelas-jelas akan membantah apa yang sudah dituduhkan oleh Anggoro kepadanya."Untuk apa saya melakukan itu, Tuan? Berada di rumah ini dan menikahi Tuan ..
Sungguh biadab! Itulah rencana Pamela. Apa pun akan dia lakukan untuk memuaskan dirinya. Padahal dia sudah jelas-jelas meninggalkan Anggoro begitu saja dengan lelaki lain. Tapi karena dia merasa tersaingi, dia memutuskan untuk kembali dan melawan. Pamela selalu ingin menjadi wanita satu-satunya yang akan mendampingi Anggoro. Sera hanya bisa menahan napas karena bubuk itu sudah masuk ke dalam tubuhnya. Rasa mual itu semakin hebat dia rasakan. Hingga akhirnya dia memuntahkan semua yang berada dalam perutnya, sampai mengenai tubuh Pamela. "Apa-apaan ini? Kau dasar tidak tahu malu. Wanita miskin pasti selalu seperti ini. Gara-gara kau aku sangat kotor. Kurang ajar!" teriak Pamela segera menjauh dari Sera yang semakin lemah. "Kau ..." Pandangannya pun kabur. "Aku sangat ..." Sera tidak kuat lagi menahan tubuhnya. Mendadak dia terjatuh bersama dengan kursi yang didudukinya. "Hentikan! Sudah hentikan, Nyonya Pamela. Aku mohon hentikan." Tukang kebun itu pun iba melihat Sera. Wajahnya sem
Mbok semakin terguncang. Pamela tentu saja akan mengetahui semua yang berada di sana. Walaupun dengan sangat manis dia menyembunyikan hal itu, apa yang tidak bisa dilakukan Pamela? Dulu ketika Mbok diam-diam tidak melakukan perintah Pamela yang tidak sesuai hatinya, wanita itu segera mengetahuinya. Bahkan tidak segan-segan untuk menampar Mbok. Sejak saat itu Mbok sangat membenci Pamela. Berharap wanita itu pergi dari sana. Seketika Mbok sangat senang melihat kepergian Pamela. Namun, ternyata dia sekarang harus bersedih kembali. Pamela mendadak datang dan membuat keributan untuk kesekian kalinya."Aku melihatmu bersama dengan lelaki Belanda itu. Ah ... tentu saja namanya Willem bukan?" ucapnya membuat Anggoro kini menolehkan pandangan ke arahnya dan memandang tajam. "Apa?" Anggoro sangat terkejut. Sang sahabat yang sudah putus dengannya sejak pertemuan bersama Sera ketika itu, muncul diam-diam di rumahnya? Sebenarnya ada apa ini?"Apa yang kau katakan Pamela? Ingatlah, kedatanganmu
"Aku tidak akan pernah memaafkanmu jika kau membuat wanita ini sangat menderita. Camkan itu, Anggoro."Willem masih saja membenarkan posisi Sera dengan sangat baik. Tidak peduli Anggoro berdiri di belakangnya dan siap untuk mencabik-cabiknya karena marah!"Bahkan kau memarahi istrimu saat dia sangat lemah seperti itu?!" teriak Willem dengan keras sambil menunjuk Sera yang sudah terbaring dengan sangat lemah. "Kau ini sebenarnya binatang atau manusia? Tingkah lakumu tidak seperti seorang Bupati!""Willem, kalau kau dengan nekat membawanya, aku akan menghubungi polisi!" Anggoro mendorong tubuh Willem dengan sangat keras. Untung saja lelaki itu dengan kuat menahan. Tubuhnya terkena tubuh mobilnya. Jika tidak, pasti dia sudah tersungkur ke tanah. Anggoro segera masuk ke dalam mobil itu dan kembali mengangkat tubuh Sera."Bagaimanapun juga dia adalah istriku. Sedangkan kau, bukan siapa-siapa!" Lelaki Belanda itu ingin sekali menarik Sera dan kembali membawanya. "Sialan!" Willem menghenti
Satria mendekati ayahnya yang masih terpaku mendengar perkataannya barusan. Dia berkata, "Ayah, aku bersungguh-sungguh. Jika kau ingin dia selamat, dia sebaiknya segera pergi dari sini saja. Ayah kembali saja kepada Ibu Pamela.""Kau tidur saja dan jangan mengurusi masalah orang dewasa.""Aku harus mengurusi masalah ini. Aku tidak ingin hal apa pun terjadi dengan Ibu keduaku. Aku sudah mengusirnya. Dia harus pergi."Anggoro kemudian mendekati sang istri yang masih terlelap dengan wajah yang pucat. Dia juga tidak pernah menyangka Sera akan menelan obat terlarang itu."Ayah sebaiknya istirahat saja. Bukankah Ayah juga terkena racun? Kira-kira siapa yang sudah meracuni Ayah? sebaiknya Ayah pikirkan semuanya.""Satria," ucap Anggoro sambil menolehkan pandangan ke anaknya. "Biarkan Ayah sendiri dan memikirkan ini semua. Ayah besok banyak pekerjaan. Kau tahu sendiri. Ayah harus menemui Gubernur.""Gubernur yang menginginkan bertemu dengan istri ayah?""Satria jaga ucapanmu. Cepat pergi saja
Anggoro merasakan sesuatu yang sangat sensasional dalam tubuhnya. Bagaimanapun juga, dia lelaki yang sangat normal. Terkadang membutuhkan sesuatu yang sangat liar untuk memuaskan hasratnya yang sudah dia pendam selama ini."Ah ...," desah Pamela.Kedua matanya melirik ke bawah, melihat Pamela dengan sangat liar melakukan aksinya. Membuat dia akhirnya tidak bisa menahan itu semua. Namun, Anggoro berusaha untuk kuat menahan. Bukan ini yang dia mau. Tapi ... Pamela memang memuaskan dirinya."Sangat ... nikmat. Aku sangat ... merindukanmu, sayang."Pamela kini melepaskan bibirnya yang sebelumnya sudah menikmati milik Anggoro di bawah. Dia kembali berdiri, meraba wajah Anggoro yang sedikit berkeringat, lalu tersenyum dengan menggoda."Hanya aku yang bisa memuaskan kamu. Bahkan saat bersamaku, kau selalu saja memintanya setiap hari bukan?" Dia kembali tersenyum, lalu melumat bibir Anggoro dengan sangat liar. Tidak lupa, jemarinya pun merayapi semua tubuh kekar Anggoro."Jangan pernah menola