Queen mencium kening sang papa. Entah, kapan terakhir kalinya mereka bisa sedekat ini, Queen sudah lupa."Selamat malam, Papa," bisik Queen sebelum beranjak pergi. Miranti mengikutinya keluar kamar, menutup pintu perlahan.Seharusnya Queen mendengarkan ucapan Ageng. Kedatangannya malam ini terasa sia-sia dan hanya menyisakan luka. Dia tetap tidak bisa berbicara dengan sang papa yang saat ini sedang istirahat. Bahkan Queen tidak melihat adanya lelehan air mata dari sudut mata Eddy saat dia tinggalkan tadi.Di ruang tamu, Ageng menunggu dengan sabar. Queen berjalan menghampirinya, matanya masih merah dan basah. Tanpa berkata-kata, Ageng merangkul Queen, memberikan kekuatan dalam diam. Mereka meninggalkan rumah itu, membawa beban perasaan yang begitu berat.Selama perjalanan Queen hanya diam dengan tatap mata nanar keluar. Belum pernah Ageng melihat Queen sesedih ini. Ageng sama sekali tidak menduga jika dalam diamnya selama ini, ternyata Queen sangat menyayangi sang papa, atau mungkin l
Eddy duduk di kursi roda, sinar matahari pagi menyinari wajahnya yang terlihat lebih tua dan penuh lelah. Semilir angin membawa aroma bunga dari taman di sekitar mereka. Di sampingnya, Queen duduk dengan tatapan penuh kekhawatiran.“Papa kehabisan modal lagi,” ucap Eddy dengan kepala yang tertunduk begitu dalam karena mau. Kata demi kata yang lirih terdengar hampir tertelan oleh suara burung yang berkicau dan gemericik air terjun buatan.Queen menatap ayahnya dengan prihatin. “Aku ingat, Kak Rey pernah mengajukan pinjaman ke aku.”Queen mengingat beberapa peristiwa yang telah berlalu. Mencoba merangkai benang merah kejadian demi kejadian.Eddy menggelengkan kepala, matanya nanar mengingat Rey. “Anak itu… yang ada dipikirannya hanya uang saja.”Eddy menghela napas panjang, terlihat jelas rasa putus asa di wajahnya. Rey, putra sulung yang dia harapkan mampu melanjutkan dan membesarkan perusahaan yang dia rintis sejak muda, justru menjadi orang yang perlahan-lahan menghancurkan impiannya
Ageng tertegun. Dia tidak menyangka Queen akan bertanya hal itu kepadanya. "Queen, itu bukan seperti yang kamu pikirkan. Aku hanya ingin membantu keluargamu. Perusahaan itu hampir bangkrut, dan ….""Tidak, Ageng," potong Queen. "Papa bilang kamu mengancamnya. Dia dipaksa menyerahkan perusahaan itu. Apa benar begitu?"Ageng menelan ludah, wajahnya berubah serius. Pertanyaan yang baru saja terlontar dari mulut Queen layaknya tusukan dari belakang yang dilakukan oleh Eddy. Setelah semua bantuan yang dia berikan, lelaki yang tidak lain adalah mertuanya sendiri justru memfitnahnya dengan begitu keji.“Untung cinta pada anaknya, kalau tidak … sudah aku tuntut dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan,” gumam Ageng dalam hati, menahan amarah kepada Eddy. “Sudah dalam keadaan sakit, masih belum sadar juga kesalahannya,” sambungnya sambil menggelengkan kepala.Di tatapnya wajah tegas Queen yang bercampur dengan semburat amarah, justru tampak sangat menggemaskan bagi Ageng. Tetapi bukan berarti
Queen mengangkat wajahnya, terkejut. “Apa? Bagaimana bisa?”Queen tidak percaya begitu saja dengan kata demi kata yang baru saja terlontar dari mulut Ageng. Karena dia merasa tidak pernah menorehkan tanda tangan apa pun yang berhubungan dengan perusahaan papanya. Lalu bagaimana mungkin dirinya adalah pemilik baru perusahaan milik papanya.“Untuk lebih meyakinkanmu tentu aku tidak bisa hanya memberi penjelasan dengan kata-kata, mungkin aku harus mengajak Cyrus agar kamu lebih percaya.”“Cyrus?” Pertanyaan yang bodoh. Tentu saja Cyrus, dia bukan hanya sahabat tetapi juga pengacara bagi Wardana Group dan keluarga Wardana.“Ya, dia yang mengurus semua permasalahan hukum perusahaanmu.” Tidak ada yang perlu disembunyikan lagi di hadapan Queen, Ageng pun menyebutnya dengan ‘perusahaanmu’.Queen masih tetap tidak percaya dengan ucapan Ageng, ditatapnya dengan saksama wajah tampan di hadapannya, mencoba untuk mencari kebohongan di sana. Bingung, wajah tenang itu justru membuatnya semakin terta
“Aku hanya melakukan tugasku, papa sedang sakit dan tidak bisa memimpin perusahaan. Jadi ….”“Apa? Kau akan menggantikan papa?” sergah Rey sambil melangkah mendekati Queen dengan wajah yang merah padam. "Kau tidak berhak. Aku yang lebih pantas memimpin perusahaan ini. Kau hanya muncul ketika semuanya hampir selesai."Queen mengalihkan pandanga ke arah Cyrus, dia merasa enggan untuk berdebat dengan sang kakak yang sedang dikuasai oleh amarah. Pembicaraan mereka pasti tidak akan ada titik temunya. Queen hanya tidak ingin jika akhirnya dia mengeluarkan kata-kata yang akan disesali di kemudian hari.Mungkin seandainya yang dihadapi saat ini adalah orang lain, tentu Queen akan bisa berbicara dengan lebih lepas. Tetapi saat ini yang dia hadapi adalah kakaknya sendiri, sosokyang seharusnya berbagi kasih sayang dalam segala keadaan.Cyrus melangkah maju, mengambil alih situasi. "Maaf Pak Rey, sekali lagi saya tegaskan jika kedatangan Bu Queen ke sini adalah sebagai pemilik perusahaan, dan mu
Laras duduk di bangku taman, matanya terpaku pada bunga-bunga yang bermekaran. Pikirannya melanglang buana, terperangkap antara rasa sesal dan kecewa yang mendalam. Sejak tadi Selo Ardi masih setia berada di hadapannya, menyampaikan hasil penyelidikannya dengan suara tenang."Sampai sebanyak ini dia memberikan uang untuk Rahma?" Laras menggelengkan kepala tidak percaya dengan laporan yang dibacanya."Dan sepertinya tidak sebanding dengan hasil yang diharapkan," Selo menambahkan, matanya menatap langsung pada Laras, seakan mencari reaksi."Menurutmu mengapa dia sampai melakukan hal selicik ini?" tanya Laras, suaranya mengandung keputusasaan yang ia coba sembunyikan."Jika tujuannya untuk menghancurkan Wardana Group, saya rasa apa yang dia lakukan sangat bertele-tele dan tidak efektif," jawab Selo dengan nada datar.Laras menarik napas dalam-dalam, mencoba memahami situasi yang semakin rumit. "Jadi, menurutmu dia melakukan ini memang untuk merusak rumah tangga Arum?""Mengingat masa lal
Ageng berdiri di ambang pintu rumah Eddy, wajahnya tak tergoyahkan oleh senyuman atau ramah tamah. Tidak ada rasa keakraban antara dirinya dan keluarga ini, meskipun ia adalah saudara ipar. Pandangannya tajam dan nadanya tegas saat ia berkata, "Aku ingin bertemu dengan papamu."Rani, yang menyambutnya, merasakan gugup menyelinap di balik senyum yang dipaksakannya. Jarang sekali mereka bertemu, dan pesona yang dipancarkan oleh Ageng membuat hatinya bergetar. Ia tak bisa mengabaikan ketampanan dan wibawa pria itu meski sikap dinginnya menakutkan."Waktuku tidak banyak, aku ingin bertemu dengan papamu," ucap Ageng sekali lagi, lebih dingin dan tegas. Rani teringat akan tindakan kekerasan Ageng terhadap Queen yang pernah membuat keluarganya bersedih. Ayahnya jatuh sakit karena kejadian itu, namun Rani tak bisa memalingkan pandangan dari wajah tampan Ageng. Kengerian bercampur dengan rasa kagum yang tak bisa ia tolak."Papa sedang di ruang kerja bersama Kak Rey," kata Rani setelah mampu m
Dengan langkah yang Anggun Arum memasuki sebuah kafe. Istri Danu itu terlihat dengan bangga menunjukkan perutnya yang sudah mulai menyembul.“Selamat siang!” ucap Arum saat menghampiri seorang wanita muda dengan wajah yang sendu. “Sudah lama menunggu?” tanya Arum sambil mendaratkan bobot tubuhnya dengan posisi saling berhadapan.“Mbak Arum hamil?” tanya Rahma, matanya terpaku pada perut Arum. Palung hati terdalam merasakan iri yang sangat dengan segala kelebihan dan keberuntungan yang didapat oleh Arum.Arum yang terlahir dari keluarga kaya, menikah dengan seorang pria yang baik dan setia. Rahma merasakan bagaimana sulitnya merayu dan mendapatkan perhatian dari Danu. Sampai-sampai harus menggunakan Jelita, anaknya yang sepantaran dengan Ardan untuk bisa mendapatkan perhatian dari Danu. Hanya rasa kemanusiaan yang membuat Danu sampai menyempatkan diri untuk bersama dengannya dan juga Jelita.Sementara itu Arum tersenyum menyeringai mendengar pertanyaan retoris yang dilontarkan oleh Rah