Sosok tak asing di mata. Mengenakan pakaian terlalu santai di badan. Namun kemeja putih dengan dua kancing tak terpasang sungguh memamerkan keseksian di raga. Seolah ingin menggoda setiap kaum hawa yang memuja fisiknya.Lucius yang menyaksikan kehadiran itu malah mendecih tiba-tiba. Mendadak suasana hatinya semakin memburuk sekarang.“Mau apa kau ke sini? Kami ingin istirahat,” ucapnya tanpa sopan santun.Sang pangeran yang mengganggu justru tertawa. Sungguh ia merasa terhibur setiap berurusan dengan pemuda di depannya. Sebuah buku dalam kondisi terbuka di tangan kanan perlahan tertutup sempurna. Ia pun mendekat dan memegang bahu Lucius, “Behella dan ayahku ingin bertemu kalian. Kamu tidak keberatan bukan?”Lucius pun menghela napas jengah. Jujur saja ini sangat menyebalkan, entah apa yang diinginkan dua rakun tua itu sehingga mengganggu istirahatnya.“Lucia, raja dan adiknya ingin bertemu dengan kita. Kamu tidur saja biar aku yang mengurusnya,” ujarnya sambil menatap lekat sang kakak
Di saat bersamaan namun lokasi yang berbeda, tampak seorang laki-laki sedang menggendong sesosok gadis muda. Entah akan dibawa ke mana namun jalan ini jelas tak menuju tempat peristirahatan Lucia.Untung saja tak ada pelayan atau penjaga di sekitar, jika tidak tak bisa dibayangkan bisikan serta lirikan mata mereka.Sebuah pintu terbuka, dengan hati-hati sang penolong pun menurunkan gadis itu di ranjang yang ada. Menatap lekat dan melantunkan kata-kata lemah lembutnya.“Apa ada yang sakit?”Lucia menggeleng. Tapi jelas di mata orang itu kalau perempuan di pandangan tidak baik-baik saja. Tubuh gemetar serta kedua tangan yang memegang erat pakaian koyaknya sedang berusaha menutupi area dada.Helaan napas pelan pun terlontar dari sang penanya. “Jujur saja, aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Sid jika adikmu mengetahui ini.”Evelin tersentak. Di sela-sela air mata yang berjatuhan tatapannya pun memperlihatkan keterkejutan. Ia langsung mendongak dan mencengkeram lengan laki
Di kamar Olea, sebuah pemandangan yang tak disangka-sangka menari di sana. Adegan mesra di mana Lucius mencium lembut sang pemilik ruangan di pangkuannya.Padahal tadi ia berniat memberikan buku bawaan sang tuan putri, tapi entah kenapa semua malah jadi begini. Terlihat keduanya begitu menikmati aktivitas panas mereka sampai-sampai desahan sesekali terlontar saat tangan Lucius bergerilya di raga gadis di depannya.Kecupan-kecupan menggoda ia hiasi di area dada, sosoknya tak bodoh untuk tidak meninggalkan jejak percintaan di leher tuan putri kerajaan Darkas. Bisa-bisa dirinya dihukum mati kalau sampai ketahuan.“L-Lucius,” lirih Olea dengan wajah memerah. “A-aku—”Namun ucapannya terpotong saat bibir sang pemuda membungkam mulutnya. Bahkan lumatan yang kian menuntut melumpuhkan fungsi otak Olea, sampai-sampai dirinya tak sadar kalau tubuhnya sudah hampir telanjang di depan laki-laki yang lebih cocok menjadi adiknya.“Jangan menahannya, Putri. Mendesahlah, karena aku menyukainya,” bisik
“Lucius. Kamu kenapa?” bingung Evelin melihatnya. Terlebih pemuda itu menjatuhkan kasar badan ke ranjang kakaknya.“Aku lelah.”“Memangnya kamu habis melakukan apa?” Pemuda yang menatap langit-langit kamar itu pun melirik sekilas. Mulutnya sedikit terbuka namun tak terdengar suara. Membuat sang penonton bingung dengan tingkahnya. “Hei, aku bertanya padamu.”Lucius hanya terkekeh pelan, memaksa Evelin yang rebahan di sofa membenarkan posisi duduknya.“Apa yang lucu?” bingung gadis itu.“Tidak ada.”Decihan pun terlontar. Jelas kakaknya merasa kesal, terlebih respons aneh yang diberikan adiknya tidak menyamankan hati. Sosoknya pun langsung menghampiri Lucius dan duduk di tepi ranjang.“Lehermu kenapa?” tunjuknya pada area bawah telinga sang pemuda. Terlihat jejak kemerahan seperti digigit serangga.“Ah,” pemuda itu terdiam sejenak. Perlahan guratan di bibir terkesan meremehkan, dan semakin mengundang rasa heran juga penasaran Lucia. Kakaknya benar-benar tampak polos di mata.“Kamu seben
Evelin tertegun. Jujur ia tak menyangka kalau orang ini mengetahui tentang dirinya dan Lucius. Tapi sosoknya juga penasaran dari mana sang adik mendapatkan berita tentang laki-laki ini sebagai ladang informasi liar di Darkas.Terlebih perawakan yang mirip bangsawan gelap benar-benar mengusik perasaan gadis itu saat bertatapan dengannya.“Tentang kerajaan ini, apa pun itu aku butuh semua informasinya.”Permintaan Lucius pun membuat sang kakak mengernyitkan dahi. Tapi ekspresi berbeda dipamerkan orang di hadapan mereka. Dia tersenyum lalu mengulurkan tangannya.“Kalau begitu bagaimana jika kita berkenalan dulu? Namaku Drain.”Dua bersaudara itu terdiam sejenak. Beberapa saat kemudian barulah Lucius membalas perkenalannya.“Lucius, dan ini kakakku Lucia.”Walau hanya sang pemuda yang membalas jabat tangan Drain, tapi sosok itu menatap lekat telapak tangannya. Menimbulkan lirikan aneh dari kakak beradik di depannya.“Ada apa?” bingung Lucia.Masih tak ada tanggapan. Walau pandangan si ram
“Kau!” pekik Evelin.Tapi terlambat. Pedang sudah diayunkan Fabina ke arah keduanya. Dengan cepat Lucius menarik kakaknya agar mereka menunduk menghindar.“Lihai juga,” seringai pengendali hewan itu. Bersamaan dengan gumamannya, berisik dari gagak di sekitar terasa kian menakutkan.Tanpa aba-aba hewan itu mulai berterbangan ke arah dua bersaudara Tenebris. Lucia dan Lucius pun terperangah sehingga tanpa pikir panjang mereka langsung lari dari sana.Berusaha keras menghindari amukan para pemakan daging yang menggila.“Sial! Kita harus melawannya!”Lucius yang mendengar ucapan itu menggeram. Memang benar perkataan Lucia, sampai kapan mereka bisa lari? Posisi yang memasuki hutan di belakang menara jam jelas tidak aman.Tanpa basa-basi ia tarik pedangnya. Senjata terselubung yang membuat Evelin berhenti di sampingnya.“Lucius!”“Larilah!”“Apa!”“Kembalilah ke istana dan katakan kalau Orion menyerang!”“Jangan gila! Aku tak mungkin meninggalkanmu!” hardik Evelin tak terima.Tapi sekejap m
Pertarungan sengit menghiasi dua sosok dengan usia yang terpaut tidak begitu jauh.Fabina dan Lucius.Begitu banyak helaian sayap gagak berguguran. Bahkan mayat hewan pemakan bangkai itu juga berserakan. Bunyi bilah pedang yang saling beradu melukiskan sesuatu.Arti dari keseimbangan kemampuan.Walau begitu, tak dapat dipungkiri kalau wajah Fabina terlihat tertekan. Bahkan jika goresan sama-sama menghiasi pipi kiri mereka, seringai lebar malah menyeruak ke permukaan. Milik Lucius yang tampak senang.“Kau gila!” sang pengendali hewan mengumpat. Bahkan di sela-sela adu kekuatan, pembunuh bayaran itu sempat-sempatnya menebas gagak yang tersisa. Dan memaksa darah di mata pedang agar terbang berceceran.Andai Fabina tak menghindar, maka itu akan menjadi senjata makan tuan. Di mana darah hewan yang dikendalikan hampir mengenai mata.Sayup-sayup tawa pelan mengalir ke pendengaran. Tak jelas apa yang lucu, tapi Lucius mulai mengambil jarak. Dahi berkerut karena penasaran menjadi jawaban dari
Seringai lebar membelah wajah pemuda itu. Sosok berusia 18 tahun, namun mampu menyudutkan musuhnya.Gemuruh di langit sana seolah mendukung sang pemuda, dan jangan lupakan sensasi menakutkan dari bilah aneh miliknya.Pedang hitam namun tak henti-hentinya memamerkan asap.‘’Kau, siapa kau sebenarnya?’’ Fabina bersuara. Sayangnya pertanyaan itu lolos begitu saja di pendengaran.Terlihat kalau sosok Lucius tidak berniat menjawabnya.‘’Pedang itu,’’ akhirnya Kaizer pun bersuara. Tatapan tajam yang ia miliki sukar menggertak lawan. Sungguh ia tak menyangka kalau sosok pembunuh bayaran yang ia buru ternyata sehebat ini. ‘’Aku ingat tentang kisah di masa lalu. Sebuah kisah tentang sebuah kerajaan yang terobsesi dengan kekuatan. Mereka memicu perperangan di balik layar, menumbalkan banyak nyawa demi senjata gila di sana.’’Fabina menatap tak percaya sang pangeran. Berbeda dengan Lucius yang memasang ekspresi datar. ‘’Apa mungkin kau keturunan mereka? Keturunan kerajaan iblis, Tenebris.’’Raha