“Sabar, mungkin Allah mau angkat drajat kamu Mbak.”
“Aamiin.”
“Dia pasti enggak akan tinggal diam melihat pengorbanan seorang istri demi mempertahankan rumah tangganya.”
“Aku berharap begitu, tapi aku paling lemah jika masalahnya tentang pengkhianatan.”
“Posisimu kuat Mbak, ada mereka di sisi kamu! Mas Raka pasti bakal mikir ulang buat kembali sama mantannya itu.”
Hana melirik pada kedua putranya yang kini telah menyuapkan sendok demi sendok berisi es krim. Melihat mulutnya yang berantakan. Wanita mengusap kedua wajah putranya dengan tisu secara bergantian.
“Enak?”
“Enak, Bunda. Makasih,” ucap Rafa.
“Lihat mereka La, yakin masih takut buat menikah?”
“Hm, lucu sih, tapi enggak mau ah. Nanti kalau dapat mertua jahanam macam Mbak, bisa mati berdiri aku.”
“Haha mana ada orang mati berdiri, ngarang aja kamu
Hari itu mempertimbangkan permintaan putra dan menantunya. Pria berusia 56 tahun itu, untuk pertama kalinya menyambangi sel, tempat Sina ditahan.Melihat kedatangan mantan suaminya. Ekspresi Sina yang seperti ogah-ogahan itu, mendadak berubah. Ia tak menyangka jika yang datang kali ini Adi.“Sehat?” tanya Adi.“Mau apa ke sini?”Bukannya menjawab pertanyaan Adi, Sina justru memalingkan wajahnya ke arah lain.“Bertemu kamu.”“Enggak perlu, di antara kita enggak ada hubungan apa pun.”“Aku tahu, saya ke sini juga bukan untuk membahas hal itu.”“Terus mau apa?”“Menantumu –““Kenapa lagi dengan dia? Menggodamu lagi? Belum puas mendapat putraku, masih berharap orang lain.”Mendengar kalimat pedas dari mulut Sina. Adi malah terkekeh pelan. Sudah hampir sebulan ia melewati masa taha
Petang itu Raka tiba di kediamannya dengan wajah yang tampak lelah. Ia melangkah gontai, memasuki ruangan demi ruangan mencari Hana yang rupanya tengah berada di tempat favoritnya, di taman belakangWanita itu sibuk memotong dedaunan yang mulai menguning, lantas menyiram beberapa tanaman lain di sekitarnya. Saking asyiknya, sampai-sampai wanita itu tak menyadari akan kehadiran suaminya.Raka mendekatinya diam-diam, lantas tanpa basa-basi ia memeluk tubuh wanitanya itu dari arah belakang. Hana sedikit mengerjap. Hingga refleks menjatuhkan gunting dalam genggamannya.Hana tersenyum, saat ia merasakan kepala Raka menyelusup di antara telinga dan pundaknya. Hana mengusap kepala Raka perlahan. Sejenak ia membiarkan bahunya menjadi sandaran bagi pria yang kali ini dilanda gundah yang entah.Wajahnya yang muram, sudah cukup mengartikan apa-apa yang coba dia sembunyikan di bilik perasaannya.“Capek?” tanya Hana.“Banget.”
“Dulu aman-aman aja, enggak pernah ada yang mencurigakan. Dia karyawan yang baik, bahkan Abang milih dia, karena nurut dan enggak neko-neko.”“Terus sekarang kenapa jadi begini? Bagaimana kalau itu racun, obat atau—“Raka meletakan telunjuknya tepat di bibir Hana.“Makanya sekarang kita cari tahu siapa dalangnya.”Hana mendesah. Ia tahu setelah rujuk, mustahil semuanya akan baik-baik saja. Meskipun, ia ingin selalu mendamaikan semua orang, tetapi ia sendiri tak menampik. Rasa cemas sering kali menyertai setiap langkahnya. Apa lagi sekarang bahkan tempat yang paling nyaman, bisa menjadi ancaman yang paling nyata.Sepasang suami istri itu, masih memperhatikan gerak-gerik Daniah lewat CCTV. Sampai ketika layar laptop itu memutar ke waktu yang sedang berjalan. Ia melihat Daniah sedang berdiri mondar-mandir di depan kamar mereka.Wanita itu bahkan terlihat menempelkan daun telinganya pada pintu.&l
Raka mendatangi kediaman Sina, sebuah bangunan bergaya eropa modern tempat ia dibesarkan. Bangunan yang tampak kotor, karena lama ditinggalkan penghuninya itu kini terlihat cukup rakaki ada sekitar 5 orang berseragam kebersihan tengah sibuk mengelap dan menyapu lantai serta halaman rumah yang antah berantah. Tampak sebagian tanaman juga mengering, karena tak dirawat dengan baik.Tak jauh dari ambang pintu. Seorang wanita paruh baya tengah berkecak pinggang, sambil menunjuk-nunjuk beberapa sudut rumahnya. Volume bicaranya terus saja meningkat, tak peduli jika hari semakin gelap.Nyatanya Sina nekat menempati rumah itu.“Kamu? Kenapa ke sini lagi?”Wanita itu sedikit heran, tetapi melihat cara Raka memandangnya yang seperti diselimuti amarah itu. Ia sedikit kikuk.Raka duduk tepat di kursi di mana sejak tadi Sina berdiri sembari mengawasi para petugas kebersihan. Bukannya menjawab Raka justru merogoh saku ho
“Hay.”Hana mendekatkan diri pada Raka yang sejak tadi duduk sembari menunduk. Belaian lembut dari Hana seolah memberi kekuatan tersendiri bagi pria yang hatinya dilanda gelisah.“Sayang, Abang belum siap.”“Hm.”Seolah memberi jeda, ia membiarkan pria itu merunduk di bawah rengkuhannya. Sampai ketika ia rasa pundak itu mulai berguncang hebat. Wanita itu sedikit membungkuk.Ia raih kedua tangan suaminya itu dalam genggaman, lalu membuatnya menengadah. Selayaknya orang yang tengah meminta pengampunan dan doa.Raka perlahan mengangkat kepalanya, bulir-bulir bening yang menggenang di kelopak matanya yang memerah, cukup menjelaskan seberapa sesal itu telah begitu menyiksanya.“Jangan berhenti berdoa!”“Dia akan hidup ‘kan, Sayang?”Hana hanya mengangguk.“Cuci muka dulu, ambil wudu terus salat hajat. Biar aku yang berjaga di sini?”&l
“Aku masih berharap kalau kita masih punya solusi lain. Long distance marriage itu enggak mudah. Apa lagi buat kita yang sebelumnya belum pernah melakukannya,” ucap Hana sembari melipat pakaian yang hendak ia masukan ke dalam koper.“Semua hal baru memang sulit, tapi akan mudah kalau sudah terbiasa.”Raka yang sejak tadi sibuk dengan laptopnya kini membalikan punggungnya. Ia menatap Hana yang tengah memajukan bibirnya. Merasa gemas, pria itu menghampiri Hana, lantas mulai membantu memasukan tumpukan pakaian ke dalam koper.“Aku bisa sendiri!”“Ngambek?”“Enggak.”“Terus kenapa ini maju terus? Kayak jambu –““Enggak usah diterusin!” pangkas Hana yang semakin memajukan bibirnya.“Tuh ‘kan ngambek.”Hana memilih menghembuskan nafas kasar. Ia lelah berpura-pura kuat, tetapi melihat pria di hadapannya. Hatinya sea
“Kamu seharian di rumah sakit? Enggak pulang?” tanya Sina.Tak terasa sudah sepekan ia dirawat di rumah sakit. Namun, rada penasarannya muncul mana kali ia tal pernah mendapati Hana berada di sisi putranya. Padahal biasanya wanita itu kerap kali menempel ke mana pun Raka pergi.“Aku di sini, buat Mamah.”“Mamah tanya istrimu?”Raka tersenyum sekilas.“Kenapa Mamah kangen, mau ketemu Hana?”Sontak saja Sina berpaling sejenak. Ia mendecak. Bukan itu, hanya saja ini terlalu aneh. Sudah malam hari, Raka masih saja betah berlama-lama mengurusnya. Apa lagi ia masih lengkap dengan pakaian dinasnya.“Kamu enggak ganti baju dulu? Istrimu marah, karena kamu sibuk ngurus Mamah, sampai-sampai kamu enggak sempat ganti baju?”“Hana enggak pernah marah.”“Terus saja membanggakan istrimu itu.”Pria itu malah tersenyum bodoh,
“Enggak usah dipikirin! Ayo aku bantu bangun.”Kecanggungan mustahil tal terjadi. Namun, tak banyak yang bisa Sina perbuat. Selain menahan malu, rasa sungkan membiarkan putranya membersihkan kotorannya.Sina didiagnosis mengalami inkontinensia usus, yang suatu kondisi di mana ia tidak.mampu mengendalikan kentut atau kotoran yang menyebabkan buang air besar tanpa dikendaki.Sampai dokter memberikan penjelasan pada Raka. Pria itu diam-diam melirik ke arah Sina, yang masih murung.“Mamah denger apa yang tadi dokter bilang ‘kan? Ini normal terjadi pasca kecelakaan, akan sembuh secara bertahap.”“Mereka terus bilang tenang, akan sembuh, semua normal. Mereka enggak pernah ngalamin, Raka! Mereka enggak tahu rasanya jadi orang cacat. Beber-bener enggak berguna. Aaa!”“Astaghfirrullah. Istighfar Mah, kita lagi berusaha buat Mamah sehat lagi. Prosesnya memang enggak mudah, tapi sabar.”