Pisah Terindah #16"Gimana, gimana, gimana?" tanya Windi mendesak begitu aku membukakan pintu. "Gimana apanya?" Aku mengerutkan kening karena tak paham akan rentetan tanya tak jelas dari sahabatku itu. "Kabar kamu, dong! Masak tetangga kamu," jawab Windi seenaknya. Aku membuang napas kasar. Kalau bertemu menyebalkan, kalau tidak bertemu-temu ya rindu. Begitulah yang kurasakan terhadap makhluk yang tengah berjalan sejajar denganku sekarang ini. "Bagaimana perkembangan hubungan kalian?" tanyanya lagi begitu menghenyakkan bokong di kursi. Aku ikut duduk bersama Windi. "Biasa aja," jawabku tak antusias. Windi memutar posisi duduknya. Kali ini dia menghadap padaku. Tatapannya serius. "Nggak ada jawaban lain? Bosan aku dengar jawaban yang itu-itu mulu." "Kamu bikin aja jawaban sendiri. Biar bisa sesuai keinginan kamu," ketusku. "Kamu mau selamanya seperti ini? Betah seperti ini?" Aku balik menatap Windi dengan tatapan bingung. Melihat ekspresiku, Windi terlihat seperti tengah ge
Pisah Terindah #17Sabtu menjelang siang, kami sudah sampai di resort yang dimaksud Windi. Sesuai arahan Windi, kami pun langsungcheck in. Setelah mendapat informasi dari resepsionis, kami bermaksud hendak langsung menuju kamar yang akan kami tempati. Tak disangka, di saat bersamaan dari arah dalam Mbak Tania juga memasuki lobi. Aku pun menghampirinya, ternyata dia sudah sejak semalam berada di sini. Katanya, sekalian tadi pagi dia ada janji dengan calon client-nya. Ketika kami masih ngobrol datang Aliya, putri Mbak Tania. Dia bersama papanya, Mas Adit. Gadis kecil itu langsung berlari girang ke arah kami. "Halo, kakak cantik! Dari mana?" tanyaku ketika Aliya sudah mendekat. "Kakak!" sambut Shahna tak kalah girang. Mereka berpelukan melepas rindu seakan sudah lama sekali tidak bertemu. "Habis beli camilan," jawab Aliya begitu Shahna melonggarkan pelukan. Dia pun menunjukkan paper bag yang dipegang Mas Adit. "Baru sampai?" sapa Mas Adit berbasa-basi. "Iya, baru aja," balas Mas
Pisah Terindah #18 Selesai makan siang, kami sempat ngobrol-ngobrol ringan beberapa saat. Setelah itu kembali ke kamar. Shahna tengah tidur. Begitu juga dengan Mas Danar, dia ikut ketiduran padahal niatnya hanya mengeloni Shahna. Aku memilih untuk tidak tidur siang. Rasanya terlalu sayang jika di tempat mewah dengan suasana yang memanjakan mata ini akan dihabiskan untuk sekadar tidur siang. Apalagi aku juga tidak merasa lelah. Aku mencari tempat yang nyaman untuk duduk. Setelah itu, jbeberapa saat mengedarkan pandangan menikmati keindahan di sekeliling dan menghirup udara dalam-dalam. Aku pun membuka HP melihat kembali foto-foto yang dikirim oleh Windi. Benar kata Windi, foto kami bagus-bagus. Entah karena kamera HP Windi yang teramat canggih atau memang karena dia memahami teknik fotografi. Menurutku, foto-foto yang dihasilkan tak jauh beda seperti jepretan fotografer profesional yang sering kuakses di media sosial Instagram. Beberapa foto berlatarkan laut dan sebagian lagi me
Pisah Terindah #19 Awal minggu telah kembali datang. Artinya tiga hari ke depan Mas Danar tidak akan ada di rumah ini. Tak bisa dipungkiri seiring berjalannya waktu aku mulai terbiasa dengan keadaan seperti ini. Pada hari-hari di mana Mas Danar tidak di rumah, keseharianku terasa lebih santai. Jumlah cucian dan setrikaan sudah pasti berkurang. Begitu juga dengan kegiatan di dapur. Mas Danar termasuk orang yang agak ribet kalau masalah makan. Lauknya sebisa mungkin harus yang baru dimasak dan harus beberapa macam. Memang tidak harus makanan yang harganya mahal-mahal. Lauk pauk sederhana saja tidak masalah, cuma tetap saja aku harus memasak pagi dan sore. Beruntung Shahna tidak mewarisi hal itu. Aku dan Shahna cukup simple untuk urusan makanan. Yang penting sehat dan bergizi. Setelah mengantarkan Shahna sekolah, aku sering bingung mau melakukan apa. Pekerjaan rumah sudah beres sebelum Mengantarkan Shahna ke sekolah. Mau menunggu di sekolah juga membosankan. Di sekolah Shahna hanya
Pisah Terindah #20Sepertinya Mas Danar baru menyadari kalau ada kendaraan lain yang parkir di halaman rumah. Dia melayangkan pandangan ke arahku yang telah sedari tadi tak lepas pandangan darinya. Tatapan kami bertemu. Ada ekspresi yang menunjukkan kekagetan di wajah Mas Danar. Pelan-pelan bibirnya bergerak. Sepertinya tengah mengeja namaku. Aku balas menatapnya dengan tajam. Sementara pintu mobil terbuka semakin lebar. Lalu muncullah kepala seorang wanita dengan posisi menghadap ke Mas Danar. Wanita dalam balutan dress warna marun kembali berbalik badan ke arqh mobil. Sepertinya akan mengambil sesuatu. Di saat itulah aku sempat melihat wajahnya. Sepertinya dia juga tidak menyadari keberadaanku. Sebelum dia menyadari kalau aku tengah mengamatinya, aku buru-buru melanjutkan mengambil kue-kue di bagasi. Aku bergegas mengantarkannya ke teras dan meletakkan ke meja. "Dara pamit, ya, Bu." Aku meraih tangan ibu mertua sebelum dia mengulurkannya. Setelah menyalami aku kembali menuju mo
Pisah Terindah #21"Aku harap ibu tidak terlalu jauh ikut campur masalah kita. Jika pun ibu ikut campur, cukuplah menjadi penengah. Bukan untuk memperjelas kecondongannya," ujarku dengan melirik sekilas pada Mas Danar. "Emangnya ibu ikut campur bagaimana?" tanya Mas Danar dengan wajah bingung. "Nggak usah pura-pura nggak tahulah, Mas," sergahku "Aku benar-benar nggak tahu," jawab Mas Danar pelan. Aku mengembuskan napas dengan sedikit keras sebagai pelambiasan kekesalan yang bersarang di dalam dada. Perlu sekali harus ada pengelakan dari Mas Danar. Seolah-olah dia tidak tahu watak ibunya saja. "Mas, aku tahu bahkan sangat tahu malah kalau ibu nggak pernah benar-benar bisa menerima aku. Tapi nggak harus juga ibu ngerecokin sampai ke hal-hal yang seharusnya cuma antara aku dan kamu. Lagian, kamu juga bukan lagi anak kecil yang apa-apa harus ngadu sama ibu," ujarku setengah bersungut. Mas Danar seketika menoleh begitu mendengar kalimat terakhirku. Dia pasti tidak suka mendengar kat
Pisah Terindah #22Mudah diucapkan, tetapi tidak untuk dilakukan. Meskipun aku telah bertekad untuk terlihat baik-baik saja dan menampilkan kesan bahwa pernikahan kami tidak pernah dilanda prahara. Nyatanya, begitu sulit. Aku harus bertarung menaklukkan diriku sendiri. Aku harus mati-matian berjuang mengesampingkan perasaan yang sebenarnya. Hati yang telah retak bahkan patah berkeping-keping harus terlihat seakan masih utuh, mulus tiada cela. Entah mimpi apa yang menjambangiku hingga harus seperti ini yang kulalui. Mimpi? Oh, tidak! Andaikan ini hanya sebatas mimpi tentu takkan berarti apa-apa. Toh, ketika terbangun mimpi pun akan buyar. Sayangnya, ini adalah kenyataan yang benar-benar nyata. Tengah terjadi dan aku adalah salah satu pemeran utamanya. Dan hanya akan berakhir jika secara sadar diakhiri. Lagi-lagi wajah wanita bernama Lalisa itu menghinggapi otakku. Berputar-putar, menghentak-hentak di kepala. Menimbulkan kesakitan yang teramat sangat. Benar-benar menyiksa. Aku
Pisah Terindah #23"Mas Ada di mana?" Akhirnya telepon dariku diangkat juga setelah beberapa kali aku mengulang panggilan. "Di rumah sakit." Suara Mas Danar terdengar datar saja. "Di rumah sakit mana?" "Rumah sakit Kasih Bunda." "Okey." Aku menutup telepon tanpa kata basa-basi. Rumah Sakit Ibu dan Anak Kasih Bunda, di sinilah aku berdiri sekarang. Persis menghadap ke pintu utama. Sehabis mengantar Shahna aku sengaja ke sini. Beberapa hari yang lalu aku sempat melihat brosur digital rumah sakit tersebut di galeri ponsel Mas Danar. Feeling-ku mengatakan kalau di rumah sakit itulah istri kedua suamiku itu akan melaksanakan persalinannya. Tadi pagi aku menguatkan hati untuk menghampiri ke sini. Ternyata benar Mas Danar ada di sini. Harusnya hari ini, aku dan Mas Danar berada di aula sekolahnya Shahna untuk menyaksikan penampilan putri semata wayang kami. Namun, tentu saja hal itu tidak terlaksana karena Mas Danar lebih memilih memfokuskan waktu dan perhatiannya pada anaknya yang