“Halo?”
“Ya. Aku baik-baik saja. Thanks sudah membantuku,” jawab Ruby setelah berhasil menenangkan diri.
Hanya saja, dia sadar pria tampan di depannya ini tampak mengamati penampilan Ruby, juga sepatu yang masih menggantung di tangannya.
“Jangan salah paham. Aku ke sini sebenarnya untuk menenangkan diri, bukan untuk hal lain yang mungkin terlintas di pikiranmu.”
Ck!
Ini semua salah Liv. Sahabatnya itulah yang memaksa Ruby berpakaian seperti ini dengan dalih untuk melepas penatnya. Namun, wanita itu bukannya menemaninya bicara malah asyik sendiri menikmati dunianya di klub malam.
“Menenangkan diri?” Pria itu mengernyit, “apa kamu mabuk?”
“Aku hanya minum beberapa gelas. Mungkin dua tiga gelas. Tidak sampai satu botol jadi aku tidak mabuk.”
Ruby lantas menjatuhkan sepatunya tepat di sampingnya lalu duduk di atas hamparan pasir putih yang lembut.
“Oh, iya. Namaku Ruby.” Dia mengulurkan tangannya, “Ruby Estella.”
Pria di depannya itu tampak ragu sebelum akhirnya menjabat tangan Ruby. “Louis Winston.”
“Nama yang bagus,” puji Ruby lalu mengalihkan pandangannya kembali ke lautan lepas.
Hal ini membuat Louis menaikkan alisnya. Apakah wanita ini benar-benar tidak mengenalnya?
“Hal buruk apa yang sudah terjadi padamu? Kamu bahkan bepergian dengan pakaian seperti ini.”
Tanpa basa-basi, Loius membuka jasnya lalu menyelimutkannya ke kaki Ruby yang jenjang dan terbuka.
“Aku tidak ingin membahasnya,” jawab Ruby seketika itu juga.
Dia memang tidak ingin membahasnya. Membuka kembali lukanya akan membuat dirinya kembali mengingat bagaimana kedua orang itu saling bersentuhan di atas ranjang. Hal itu membuat Ruby hampir muntah dan pusing.
“Apa itu yang membuatmu menenggak alkohol dan berharap bisa melupakannya?”
Ruby mengangguk. “Kamu tahu banyak ternyata.”
“Aku hanya menebaknya.”
Louis tersenyum. “Jadi kamu sama sekali tidak mau memberitahuku alasan kenapa kamu tiba di sini dengan pakaian seperti ini? Apa kamu dipecat oleh atasanmu karena keteledoranmu?"
Ruby tertawa kecil mendengar tebakan Louis, "Seandainya saja masalahnya hanya itu.”
“Memangnya apa masalah yang lebih parah dari itu?”
“Aku memergoki kekasihku bersama laki-laki lain, di atas ranjang di dalam apartemen milikku sendiri.”
Louis tampak menyipitkan matanya. “Kamu bilang laki-laki …?”
“Yes. Laki-laki. Parahnya, mereka sudah bersama selama dua tahun.” Ruby memaksa dirinya untuk tersenyum. “Aku hanya dijadikan tameng selama ini.”
“Aku paham maksudmu.” Louis tiba-tiba berdiri mengambil dua botol alkohol dan menyerahkannya satu pada Ruby.
Namun, gadis itu justru menggeleng. “Aku tidak bisa minum lebih banyak lagi,” tolaknya.
Louis tampak mengangguk.
Dia tidak memaksa Ruby dan fokus meminum alkoholnya sendiri.
Keduanya diam untuk waktu yang lama.
Namun, Ruby tak menyadari jika Louis mengamati wajahnya.
Keinginan-keinginan alami pria normal memang seharusnya bangun begitu tatapannya turun ke bagian-bagian tertentu tubuh Ruby. Sayangnya, dia tak menyadari karena selama ini berpacaran dengan pria yang tertarik pada pria.
“Pemandangannya sangat indah,” kagum Ruby.
“Memang sangat indah.”
Ruby lantas menengok ke arah Louis dan menelan ludahnya kasar kala menyadari tatapan pria itu.
Jantungnya seketika berdebar membuat Ruby merasa jika dia sedikit gila.
Bukankah Arden baru saja menghabisi sisi emosionalnya secara membabi buta dengan berselingkuh dengan pria? Tapi kenapa dia tidak sanggup menolak pesona Luois?
Untungnya, keduanya kembali terlarut dalam pembicaraan.
Mulai dari film, hingga astronomi!
“Ini sudah pukul dua belas malam.” Louis tiba-tiba menunjukkan jam tangannya kepada Ruby. “Haruskah kita pulang?”
Lagi keduanya kembali bertatapan.
Namun berbeda dengan tadi, secara alami tiba-tiba saja bibir keduanya sudah berpagutan.
Enam tahun berhubungan dengan Arden, Ruby tidak mendapatkan apa pun, bahkan sekadar ciuman.
Entah karena Louis pro atau karena Ruby tak pernah merasakannya, sensasi ini begitu luar biasa.
Ada sebuah peringatan dari dalam diri Ruby untuk segera mengakhiri itu dan pergi dari sana.
Namun, getaran hangat menjalar kala tangan Luois pindah ke punggungnya yang terbuka membuatnya hilang akal.
Ruby justru memeluk tubuh kekar Luois dengan erat!
“Emph….”
Cukup lama mereka berciuman, sampai Ruby merasa kehilangan napas.
“Maaf.” Louis meletakkan kedua tangannya di wajah Ruby yang panas karena ulahnya.
Dengan lembut dia mengelus wajah Ruby dan menyadari jika wajahnya sangat mungil hingga telapak tangannya terlihat seperti raksasa di sana.
Ruby menggeleng, dia masih menunduk.
Bukankah ini salahnya juga? Bisa-bisanya dia mencium pria yang baru dikenalnya.
“A-aku harus kembali,” ucap Ruby melepaskan pelukannya dari tubuh menjulang Louis.
Sayangnya, dia justru tanpa sengaja limbung, hingga jatuh ke batas ombak.
Byur!
Tubuh Ruby seketika basah kuyup.
Gadis itu berusaha berdiri, namun sebuah ombak kecil menabraknya dan membuatnya kembali jatuh.
Untungnya, Louis segera mengangkat tubuh Ruby saat sebuah ombak yang sedikit lebih besar bersiap menjatuhkannya lagi.
“Kamu basah kuyup.” Louis menatap Ruby yang berantakan. “Ayo. Villa di sana adalah milikku. Mereka punya pakaian ganti untukmu.”
Dingin membuat Ruby tidak bisa menolak tawaran Louis yang menggendongnya tanpa beban seolah dia adalah boneka kain yang ringan.
Dia memeluk leher Louis dan tanpa sadar menempelkan tubuhnya pada Louis untuk menyerap suhu panas dari sana.
Tak menyadari tindakannya membuat sesuatu yang Louis cegah untuk bangun–semakin meronta.
***
“Kamu harus mengganti pakaianmu segera.”
Begitu sampai di Villa, Louis menurunkan Ruby dengan hati-hati.
Pria itu membuka pintu dan menggenggam tangan Ruby masuk ke dalam kamar.
Tak lupa, diserahkannya sebuah bathrobe putih dari dalam lemari pada Ruby.
Meski terkejut, Ruby sadar bahwa dirinya tak punya pilihan lain.
Gaun mini hitamnya dan rambutnya basah. Dirinya begitu berantakan!
Dengan cepat, dia pun ke kamar mandi dan membersihkan dirinya dari sisa pasir yang menempel.
Setelah itu, Ruby mengenakan bathrobe dan mengambil sebuah handuk kecil untuk mengeringkan rambutnya.
Hanya saja, saat membuka pintu kamar mandi … Louis sudah berdiri di sana.
Pria yang sudah berganti pakaian dengan bathrobe yang sama dengan yang dipakai Ruby itu tampak menunggu dan menatapnya dalam.
Deg!
Ruby seketika mematung. “A-apa yang kamu lakukan, Louis?”
Bugh!
Alih-alih menjawab pertanyaan gadis itu, Louis malah mendorong Ruby hingga tubuhnya menempel ke dinding.
Dia menunduk, kembali mencium bibir Ruby lebih intens dari yang dia lakukan di pantai tadi.
"Ahh...."
Merasa bahaya, Ruby mencoba menolak. Didorongnya tubuh Louis yang menghimpitnya. Namun, kedua tangan Louis langsung meraih dan menyatukan kedua tangannya ke atas kepala gadis itu. “Emmph….” Louis kembali mencecap bibir Ruby dengan penuh hasrat. Sentuhan Louis membuat Ruby hilang kendali. Mungkin juga karena alkohol yang diteguknya di klub sebelumnya? Di sisi lain, Louis--yang merasa Ruby tak lagi menolak--melepaskan tangan Ruby hingga kedua tangan wanita itu bergerak ke pinggangnya. Telapak tangannya menyentuh wajah Ruby, membelainya sebelum kemudian bergerak menyugar rambut Ruby yang masih lembab. “Ruby, bolehkah aku...?” Bola mata Louis menjelajahi tubuh Ruby yang akhirnya mengangguk pelan. Dalam hitungan detik, Ruby sudah berada dalam pelukan Louis yang membawanya ke luar dari kamar mandi dan meletakkannya di atas ranjang. Tangan Ruby menahan tubuh Louis yang menjulang di atasnya. Tubuh gadis itu bergetar gugup. Dia tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya dengan laki
Jujur, Louis tidak pernah terpikir jika dia kelak akan berkenalan dengan wanita yang baru saja ditemuinya. Biasanya, dia akan menghindar terlebih karena dia tahu wanita-wanita yang mendekatinya hanya memanfaatkan ketenaran dan uang yang dimilikinya. Namun, Ruby berbeda. Dia sepertinya tidak mengenalinya sebagai Winston, sosok turun temurun yang memiliki dinasti perusahaan perhotelan terbesar di negeri ini. Louis sekali lagi menatap sepanjang garis pantai milik keluarganya tersebut setelah dia sudah memakai kembali pakaiannya. Dia duduk sebentar di kursi rotan, masih berharap jika Ruby akan kembali. Hanya saja, pria itu tiba-tiba ingat tentang tujuan awalnya datang ke pantai! Louis lantas merogoh kantong jasnya dan mengeluarkan sebuah cincin berlian.“Aku pikir sekarang waktunya aku melepaskannya."Dua tahun sejak pernikahan wanita yang dicintainya, Louis akhirnya merasa yakin tak ingin terikat selamanya.Terlebih, dia menemukan sosok Ruby yang mampu memutarbalikkan prinsipnya.Lo
Sementara itu, Ruby yang jadi sumber kegelisahan dua pria tadi, kini merebahkan tubuhnya dan menatap langit-langit kamar. Dia tengah kembali mengingat semua yang sudah dilakukannya tadi malam bersama Luois. Louis begitu memikat sampai-sampai dia lupa betapa mengenaskannya kisah cintanya yang sudah berakhir. Untung saja, ini akhir pekan jadi dia bisa menghindari berondongan pertanyaan yang pasti akan diajukan teman-teman kerjanya. Namun, semalam itu merupakan malam terbaik bagi Ruby. Seperti memiliki magisnya sendiri, setiap detik yang dia lewati bersama Luois memiliki sisi positifnya. Setidaknya dia bisa melupakan Arden untuk sementara waktu. Bersama Louis, dia tidak ingat jika dia baru saja gagal bertunangan!“Dan dia benar-benar sangat tampan.” Tanpa sadar, Ruby tersenyum. Tubuhnya kembali dialiri hawa panas saat mengingat betapa lihainya Louis menguasai dirinya. Mereka bahkan melakukan hubungan itu bukan hanya sekali, namun tiga kali sepanjang malam. Dan kenyataan jika Louis
Wajah Ruby memerah saat Liv bertanya soal pengaman. Tadi malam dia tidak terlalu memperhatikan hal lain selain tubuh Luois. Matanya hanya terfokus pada pria itu seolah dia terhipnotis.Namun, dia ingat-ingat kalau tadi malam Louis menggunakan sesuatu di tengah-tengah permainan panas itu. Seharusnya, dia menggunakannya, kan?Ruby melirik sekelilingnya untuk memastikan tidak ada orang yang mendengar pembicaraan mereka. Kemudian dia berbisik, “Aku rasa dia menggunakannya.”“Aku rasa?" Liv berdecak. "Kamu tidak melihat dengan jelas dia menggunakannya?”Ruby salah tingkah. Dia berdehem, lalu menatap Liv lagi. “Tidak. Malah aku tidak terpikir tentang hal itu.”Liv terbelalak. Dia tidak tahu harus mengatakan apa saking merasa shock dengan pengakuan polos Ruby. "Ruby, itu poin penting ketika kamu melakukannya dengan pria. Tidak lucu jika dua bulan lagi kamu mendapati dirimu tengah...” Liv melirik sekitarnya lagi. “Hamil!”Hamil?Ruby langsung bergidik mendengar kata hamil yang dilontarkan L
“Ke mana kita sekarang?” Setelah puas, Liv membereskan barang-barangnya dan menjejalkannya ke dalam tas setelah mereka terlalu lama menghabiskan waktu di coffe shop.Tatapan para pelayan coffe shop pada mereka sudah cukup menjadi sinyal jika mereka harus segera angkat kaki. Biasanya keduanya tidak melakukan hal itu, seperti sengaja duduk berlama-lama demi menikmati layanan wifi gratis. Mereka hanya punya banyak hal yang harus dibahas dan dibicarakan, namun mereka lupa jika waktu yang mereka gunakan cukup banyak.Ruby menyandang tas dan jaketnya. “Nanti saja kita bicarakan. Kita harus segera keluar dari sini.”Liv mengikuti Ruby keluar dari coffe shop. Keduanya tertawa cekikikan saat mengingat bagaimana para staff sengaja lalu lalang lewat di samping mereka untuk sekedar mengingatkan waktu. Setelah menyadari jika mereka memang sudah duduk di sana selama hampir tiga jam, Ruby seketika merasa bersalah. Di luar sedang turun hujan dengan lebat. Orang-orang banyak memadati coffe shop h
Louis menatap lautan lepas di hadapannya, menunggu matahari menghilang di ufuk barat. Cahaya keemasannya dan suara-suara burung laut yang hendak kembali ke sarang masing-masing membuat suasana semakin hangat dan menenangkan. “Masih menunggunya di sini?” Edd menyusulnya, berdiri di samping Louis dengan kedua tangan diselipkan ke saku celana.Louis tidak menyahut. Dia menyisir seluruh pantai itu, berharap diantara puluhan orang yang memenuhi pantai, Ruby-lah salah satunya. Namun selama satu jam berada di sana, dia tidak menemukan sosok wanita yang dicarinya.“Mungkin dia turis,” Edd membuka kaca mata hitam yang menggantung di hidungnya yang tinggi. “Bukankah dia bilang dia baru saja mengetahui perselingkuhan kekasihnya? Bisa jadi sebenarnya dia berasal dari luar kota dan datang ke sini hanya untuk melihat kebenaran tentang kekasihnya. Karena dari berapa orang yang bernama Ruby yang sudah diselidiki, tidak ada satu pun mengarah ke ciri-ciri yang kamu sebutkan.”“Kamu sudah memeriksa s
Ruby hanya diam saat mendengar perintah pemecatannya dan menunggu hingga Dick keluar meninggalkan mejanya. Saat Ruby memungut pulpennya yang rusak, teman-temannya yang lain mengerumuninya.“Ruby, kamu baik-baik saja?”“Astaga By. Dick si Gempal memecatmu, kamu yakin tidak apa-apa?”“Bagaimana dengan proyek novel barumu?”Ruby hanya mendesah mendengar pertanyaan demi pertanyaan dari teman-teman kerjanya. Ruby tersenyum.“Semuanya akan baik-baik saja.”Dia membereskan barang-barang miliknya. Toh dia memang tidak betah lagi bekerja di sana sejak Dick menjadi atasannya. Walau perusahaan ini memberinya banyak hal, termasuk kenangan berharga yang tidak bisa dibelinya, keberadaan Dick membuatnya tidak ingin berlama-lama lagi di sana. Selama lima tahun bekerja di Quantum Media, Dick-lah satu-satunya penghalang yang berbahaya.Dengan santai Ruby meninggalkan perusahaan setelah membuat laporan resmi ke ruangan HRD. Dia sepakat akan tetap menyelesaikan naskah yang sedang dikerjakannya dan men
“Kamu sungguh-sungguh dipecat?” Liv menatap Ruby yang membaca buku dengan serius.Ruby hanya menganggukkan kepalanya, menyesap kopinya lalu membuka lemaran baru buku yang dipegangnya. “Jadi sekarang apa rencanamu?” tanya Liv lagi.Ruby memilih menutup bukunya. Dia mengamati Liv yang terlihat simpati padanya. Dia bergumam pendek, terlihat menimbang-nimbang. “Aku akan menulis secara independen.”“Lalu karya-karyamu?”“Karena sebelumnya aku sudah menandatangi kontrak dengan Quantum Media, maka karya yang kubuat di sana harus tetap kubagi dengan perusahaan itu. Dan aku juga masih harus mengerjakan dua proyek lagi. Setelah menyelesaikannya, aku akan mulai menulis sendiri.”Liv menyeruput kopinya, mengangguk-angguk setuju. “Kamu masih menggunakan nama samaranmu yang lama? Perusahaanmu tidak keberatan?”“Tidak. Aku tetap bisa menggunakannya, sudah ku bicarakan dengan mereka.”“Ada buktinya?”“Tentu saja.” Ruby tersenyum, mengeluarkan selembar kertas dari dalam tasnya. “Aku tidak akan melupa