"KELUAR!!!" geramnya berteriak di depan pintu kamar mandi.
Dua tangannya bertumpu pada dinding dan melakukan lompatan untuk menendang pintu kuat-kuat. BRAK! Penghalang ruangan berbentuk persegi itu tumbang. Menampakkan seorang pria bertubuh tambun sedang merapikan jas juga rambutnya. Seketika matanya terbelalak saat menyadari dari pantulan cermin siapa yang mendobrak pintu. "Pa–Pak Almeer?!" Bastian berpikir itu adalah sepupunya yang biasa mengerjai saat dia bersenang-senang dengan seorang karyawati. Ya, dengan alasan tertentu, Direktur yang sudah saatnya pensiun itu sering bermain-main dengan para perempuan di kantornya. Dengan iming-iming sejumlah uang dan dinaikkan jabatan di perusahaan, rela melakukan hal kotor di sela pekerjaan. "Menjijikkan! Mulai hari ini keluar dari perusahaan ini!" teriaknya menghantamkan satu pukulan ke wajah pria yang lebih pendek darinya itu. Fendy menahan lengan atasannya saat sudah terangkat akan kembali memberi pukulan pada Bastian. "LEPAS!" sentak Almeer menarik tangan dari Fendy yang memberi isyarat pada Bastian dengan gelengan kecil. "Biar saya yang urus semuanya, Sir!" pangkas Fendy memutar tubuh boss-nya keluar kamar mandi. Almeer berbalik, keluar kamar mandi dan berdiri mematung menatap sosok perempuan yang sudah tak karuan kondisinya. Yumna menangis tersedu-sedu memeluk kakinya dan terus menjambak rambut. Membenturkan kepala pada lutut dan seperti menahan rasa sakit yang mendalam. Traumanya kembali! Pria yang berjalan seperti robot itu mendekati Yumna yang beringsut mengeratkan pelukan pada kaki yang ditekuk. Seperti ketakutan dan menggigil, menggigiti bibirnya hingga lecet dan berdarah. "It's Okey ... Kamu sudah aman sekarang." bisik Almeer mengulurkan tangan. Tapi Yumna semakin terisak dan mundur walau sudah di pojok sofa. Sorot matanya tak fokus dan gusar, benar-benar ketakutan. Pria itu melepaskan jasnya dan menyelimutkan pada bahu Yumna. Sedikit membungkuk dan menangkup tubuh yang meringkuk itu dalam dekapannya sekaligus. Mengangkatnya perlahan meski si pemilik tubuh memberi penolakan. Beberapa detik dalam pelukan Almeer, perempuan itu berangsur tenang, tak lagi meronta. Napasnya pun lebih tenang dan isakan mulai berkurang. "Aku tak akan menyakitimu. Percayalah ...," bisiknya lembut, membawa Yumna ke ruangan. Sengaja dibuat khusus untuknya tempat beristirahat berupa sebuah kamar pribadi yang disekat dengan lemari buku besar. Tak banyak yang tahu tempat rahasia CEO Perusahaan itu. Setelah membaringkan Yumna yang masih saja meringkuk memeluk dirinya sendiri, pria itu keluar. Membuatkan segelas minuman hangat dan dibawa lagi ke ruangan rahasia "Minumlah dulu! Tenangkan dirimu!" ucapnya meletakkan gelas yang mengepulkan asap panas di atas nakas. "Ja–jangan, jangan! Jan–ngaaan!" racaunya disela isakan yang tertahan. Yumna terus menggeleng dan berusaha menegakkan tubuh beringsut menghindar dari Almeer yang hendak duduk di tepi ranjang. "Oke, Oke! Tenanglah! Aku tidak akan melakukan apapun padamu. Kamu aman di sini, tenanglah!" Nevan berdiri lagi dan mengangkat dua tangannya di atas kepala. "Aku akan keluar dari sini saat kamu percaya padaku. Jadi tenanglah! Minum selagi hangat, hem?" lanjutnya. Pria itu kembali mengambil gelas dan menyodorkan ke arah Yumna yang masih saja menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri, tanda menolak. "Apa kamu tahu? Aku juga memiliki trauma, sepertimu?" katanya sambil duduk di lantai berselonjor kaki dan bersandar di nakas samping tempat tidur. Kepalanya mendongak dan menatap langit-langit. "Aku bukan ingin menghiburmu, tapi kembalinya aku ke Indonesia adalah–" "Sir? Pak Nevan? Mister Nevan!" Fendy terlihat di pembatas kaca satu arah yang tak terlihat dari sisi luar. Pria berkaca mata itu celingukan dan mencari keberadaan Tuannya ke sana kemari di setiap sudut ruangan. "Lihat kan? Kamu aman di sini! Nggak ada yang tahu kamar ini," kekehnya, "sekarang kamu juga sudah mengetahuinya," lanjut Almeer menoleh pada Yumna yang sudah berhenti terisak. "Bibir kamu bengkak dan berdarah!" Berdiri dengan bertumpu pada tepi ranjang dan kaki kiri tetap lurus tanpa bisa ditekuk, Nevan berusaha agar tak terlihat kaku di depan perempuan yang masih asing untuk tahu sebuah rahasia besarnya. "Kakiku kesemutan," kekehnya saat menyadari Yumna memperhatikan dan menampakkan wajah bingung. 'Apa dia sungguhan robot? Dia juga terus saja mengatakan tak akan menyakitiku? Dia tak punya keinginan terhadapku seperti kebanyakan pria?' Dalam hatinya terus bertanya sembari mengalihkan pandangan. Enggan bertemu tatap dengan dua bola mata kecoklatan itu. "Tunggu di sini! Aku akan memesankan gaun untukmu!" Setelah berpesan pada Yumna dia pergi keluar ruang rahasia itu. Gerak-geriknya masih bisa dilihat dari partisi kaca dalam bilik rahasia dimana Yumna berada sekarang. Pria dengan langkah kaki kaku dan seperti tak memiliki lutut yang bisa ditekuk itu mengambil kotak P3K lalu tampak menghubungi seseorang melalui ponselnya. Yumna melihat ke sekeliling dengan perasaan takjub. Orang kaya membuang-buang uangnya hanya untuk membuat ruangan rahasia. Sedangkan dirinya yang miskin sampai rela berhutang demi mengenyangkan perut saja. Pemandangan yang sangat kontras dibanding dengan kamarnya di rumah. Saat sedang membenahi kerudungnya, Yumna tersentak kaget dan mempercepat merapikan meski masih asal-asalan. Merapatkan pakaian di dadanya yang tadi terkoyak. Dia masuk ke dalam selimut dan semakin gemetaran. Menyadari bahwa dirinya mungkin akan berakhir sama saja dengan dua puluh tahun silam. "Heeei ... Yumna? Kamu benar-benar takut padaku?" kekeh CEO itu meletakkan paper bag berlogo sebuah butik muslimah, "ganti pakaianmu dan keluarlah!" lanjutnya memberi perintah. Tak ada gerakan dari Yumna yang masih larut dalam ketakutannya. "Aku akan memotong dari gajimu agar kamu tak merasa berhutang! Ambillah!" tegasnya lagi sedikit mengancam tapi tetap dengan tersenyum. "Bukan itu, Pa–Sir. Saya ... tidak bisa bekerja seperti ini. Maaf, ini tidak bisa saya lanjutkan," ucap Yumna lirih sambil menundukkan kepala. "Hhhh ... aku tahu, pasti berat jadi kamu, Yumna! Ini adalah pekerjaanmu yang pertama sebelum kamu bekerja di Panti 'kan? Kalo kamu tidak menerima pekerjaan ini bagaimana dengan pengobatan ayahmu, hem?" Yumna terkesiap menatap pada Almeer yang tahu banyak tentangnya. "Dari mana Anda tahu, Sir?" tanyanya ragu. "Bagaimana jika menjadi istriku?""Menikahlah denganku!" Tanpa ragu dan menatap penuh wajah ayu Yumna, pimpinan perusahaan internasional itu kembali mengatakan hal konyol."A–apa?" gumam Yumna semakin mengeratkan selimut di tubuh dengan menggigit bibir bawahnya."Seminggu lalu aku melihatmu menemani anak-anak di sekolah difable, terlihat sangat tulus. Aku kagum padamu sejak pandangan pertama, Yumna." ungkap Almeer tak mengalihkan pandangan dari perempuan yang tampak lebih tenang dari sebelumnya.Perempuan itu hanya mengerjapkan mata mendengar kalimat yang mengalun lembut di telinganya. Sekalipun dia tak pernah memperhatikan pria manapun kecuali ayahnya. Almeer, pria pertama yang memandang Yumna tanpa terpancar kabut ga-irah di matanya.Dua pasang netra itu bertemu beberapa detik bagai pedang yang tajam menghunus membunuh kewarasan pemiliknya.Almeer mulai bergerak duduk di tepi ranjang yang sama di mana Yumna beringsut mundur hingga terantuk headboard."Pa–Paak, ja–ngan!" desis Yumna menggeleng kuat dan mulai mengalir
"Jangan Pak! Aku akan memakai masker saja! Berniqab bagiku adalah sebuah beban berat yang harus kupertanggung jawabkan kelak di hadapan Allah. Aku belumlah sempurna imannya," ucapnya bertukar pandang dengan Almeer."Baiklah ... tapi dengan satu syarat ....""Sya–rat?" tanya Yumna dengan suara bergetar."Pertemukan aku dengan Ayah kamu, sekarang juga!" balas Almeer menatap serius."Tap-"Tangan pria itu menyambar lengan Yumna dan menariknya cepat berjalan keluar ruangan di kantornya. Banyak pasang mata menatap Sang CEO yang tiba-tiba saja menggandeng perempuan dengan gamis mewah keluar dari lift khusus petinggi.Sopir pribadi Almeer mengangguk patuh saat diberi isyarat menyiapkan mobil. Tak sempat memperhatikan siapa perempuan bermasker yang beruntung digandeng atasannya yang terkenal dingin pada semua perempuan itu."Biar saya bawa sendiri, Pak!" Almeer membukakan pintu kabin depan untuk Yumna yang mematung."Masuklah! Hati-hati!" titahnya mengarahkan perempuan yang tiba-tiba saja sep
'Pria ini benar-benar tahu banyak tentangku? Siapa dia sebenarnya?' Batin Yumna bertanya-tanya."Sudah kubilang 'kan? Seminggu tiba di Indonesia aku langsung ketemu bidadari yang bisa bikin jantungku berdebar? Dan aku rasa kamulah satu-satunya perempuan yang bisa bikin aku percaya diri," sahut Almeer menoleh dan tersenyum pada Yumna yang membelalakkan matanya.Lagi-lagi pria yang baru dikenalnya satu jam lalu itu tahu segala tentang dirinya. Yumna tak bisa berkata-kata lagi, bahkan tak berniat menggerutu dalam hati. Bibirnya terkatup rapat dan melangkah menuju sebuah ruangan yang terdapat 6 brangkar di dalamnya.Satu di paling pojok bernomor 2A terbaring seorang pria tua yang hampir seluruh rambutnya telah putih. Matanya terpejam dengan beberapa alat medis melekat di tubuh. Dia tampak tenang dan damai dalam lelapnya.Yumna menyentuh telapak tangan keriput yang tak terpasang jarum infus dengan lembut, sambil memanggilnya lirih, "Bapak?"Kelopak mata berkerut itu mulai terbuka dan seula
Perlahan wajah ayu bersih belum berkeriput itu mendongak. Pandangan dua pasang netra bertemu, semakin dekat dan Yumna mendorong tubuh Almeer kasar. Plak! Satu tamparan keras mendarat di rahang tegasnya.. Yumna mengangkat tangan, menatap telapak yang sedikit memerah dengan gemetaran dan berlinang air mata. "Andai tangan ini mampu melakukannya sejak dulu ...," Yumna berucap lirih. Almeer mengerjapkan mata memegang pipinya yang tak terasa sakit. Justru dalam bayangannya pukulan itu bagai sentuhan lembut tangan wanita yang begitu menggemaskan. "Hari itu, Bunda membawanya pergi ke panti asuhan ...," ucapnya mulai bercerita dengan menatap kosong. Perempuan dengan penutup kepala dan bayi baru lahir di gendongannya itu berlari cepat agar tak ada yang memergoki. Saat sampai di depan pintu gerbang Panti, dia meletakkan dengan menyertakan beberapa pakaian bayi dalam tas di dekatnya. Perempuan bernama Saroh itu menengok kanan dan kiri, memerhatikan sekitar yang masih sepi. Sedikit
"Yumna! Kamu mau ke mana? Berhenti!" teriaknya berlari mengejar dengan susah payah.Pria itu terseok-seok membawa tubuhnya sendiri, bahkan dia baru kali ini tahu rasanya melangkah dengan tempo yang cepat. Napasnya sudah tersengal dan menatap Yumna tak telihat lagi menyelinap di semak belukar. Langkahnya terhenti dan mengirup udara sebanyak-banyaknya. Mengedarkan pandang ke sekeliling, tak ada orang atau pun bangunan di sana.Persimpangan jalan di tengah hutan buatan yang memisahkan dua desa. Dia tak mengenal tempat ini dan jaringan ponsel pun tak tersedia. Almeer mengumpat kecil dan kembali memasukkan gawai ke saku celana. Berjalan ragu ke arah yang telah dilaluinya, di mana mobil berada."Yumna ... aku akan menunggumu, kembalilah!" gumamnya sebelum masuk ke dalam kendaraan lagi.Selang beberapa menit, ada seorang pria paruh baya melintas dengan memikul dua ikat kayu melewati mobilnya."Maaf, Pak! Permisi bertanya, apakah di depan ada jal
"Tunggu!" Terdengar bentakan keras dari arah pintu ruangan VVIP dan semua orang menoleh padanya."Gue duluan, minggir!""Saya disabilitas harus didahulukan, Nona!"Dua orang saling berebut di ambang pintu geser ruangan yang terbuat sari kaca transparan. Saling bersitatap dengan wajah tak mau mengalah. Sama-sama ingin memasuki ruangan VVIP yang ditempati Qais."Nevan?""Oleef?"Sepasang pria dan wanita yang baru saja khusuk melaksanakan akad nikah kompak memanggil. Sama-sama saling mengenali siapa dua orang yang berebut melewati pintu itu."Bunda, kenapa menerima pernikahan ini?""Daddy, are you sure? Menika–hi ... gadis muda i–ni?"Sepasang anak muda yang terlihat seumuran itu terperangah bergantian meneliti wajah orang tua masing-masing dalam keterkejutan."Kemarilah!" Almeer menarik keluar pemuda yang berjalan pin cang itu ke luar lagi.Setelah keduanya keluar dari ruang rawat, satu
Tak ada jawaban hingga suara seseorang mengalihkan perhatian semua orang."Dad ...." Suara itu terdengar bergetar, "I hate Mommy, i'm scared ...," lanjut pria yang terduduk lemah di sofa dengan tubuh menggigil ketakutan."It's oke, Nev! She is gone and will never be able to touch you again, hem?" Almeer mendekat dan merangkul putranya. Menenangkan dengan berkata bahwa perempuan itu sudah pergi dan tak akan pernah bisa menyentuhnya lagi.Yumna mengedikkan bahu menoleh pada Oleefia–anak gadisnya, meminta penjelasan apa yang dikatakan Almeer.Gadis manis dengan kulit sedikit gelap itu mendekat dan berbisik di telinga sang ibu. Perempuan yang baru saja resmi berstatus sebagai istri itu mengangguk dan menatap sendu pada dua pria beda usia di sofa.'Dia juga memiliki putra yang sakit sepertiku? Pantas saja dia seperti tahu menghadapiku saat di kantor siang tadi,' batin Yumna menyentuh dada.Degup jantungnya memacu cepat, tak biasa. Keringat dingin mulai keluar dari pori kulitnya. Pandangan
"Jangan! Jangan Kak, ini dosa! Kakak, jangaaan!" teriak gadis yang masih mengenakan seragam putih abu-abu itu meronta di bawah kendali beberapa pemuda."Tidaaaak!" Napas Yumna terengah-engah bangun dari tidurnya memeluk lutut dengan berlinangan air mata.Sudah lebih dari dua puluh tahun mimpi buruk itu terus saja menghantui malam-malamnya. Dua tangan berbalut kaos rajut putih itu meremas rambutnya kuat-kuat. Berharap semua kenangan itu tercabut bersama rontoknya surai di kepala. Sekeras dan sebanyak apapun mahkota hitamnya tercabut dari akar, memori kelam tak kunjung hilang. Mahkota yang sesungguhnya telah terenggut tak 'kan bisa kembali utuh.Sore itu dia harus pulang terlambat karena mempersiapkan kegiatan kelulusan angkatannya. Keluar dari gerbang sekolah dengan bersenandung riang sembari berlarian kecil menuju rumahnya."Cantik? Kok baru pulang? Mau Abang anterin?" Salah seorang dari lima pemuda berpakaian layaknya preman jalanan menghentikan keceriaan Yumna.Gadis itu memutar ara