Share

Bab 4 Satu Syarat

"Menikahlah denganku!" Tanpa ragu dan menatap penuh wajah ayu Yumna, pimpinan perusahaan internasional itu kembali mengatakan hal konyol.

"A–apa?" gumam Yumna semakin mengeratkan selimut di tubuh dengan menggigit bibir bawahnya.

"Seminggu lalu aku melihatmu menemani anak-anak di sekolah difable, terlihat sangat tulus. Aku kagum padamu sejak pandangan pertama, Yumna." ungkap Almeer tak mengalihkan pandangan dari perempuan yang tampak lebih tenang dari sebelumnya.

Perempuan itu hanya mengerjapkan mata mendengar kalimat yang mengalun lembut di telinganya. Sekalipun dia tak pernah memperhatikan pria manapun kecuali ayahnya. Almeer, pria pertama yang memandang Yumna tanpa terpancar kabut ga-irah di matanya.

Dua pasang netra itu bertemu beberapa detik bagai pedang yang tajam menghunus membunuh kewarasan pemiliknya.

Almeer mulai bergerak duduk di tepi ranjang yang sama di mana Yumna beringsut mundur hingga terantuk headboard.

"Pa–Paak, ja–ngan!" desis Yumna menggeleng kuat dan mulai mengalirkan bulir bening lagi dari matanya.

Pria itu menggeleng dan malah terkekeh, "obati lukamu! Mulai sekarang jangan gigiti bibirmu seperti itu di depan laki-laki. Itu akan meningkatkan has-rat seorang laki-laki dewasa terhadap wanita!" Sang atasan beranjak dan meletakkan kotak obat di atas kasur dan keluar dari ruang rahasia.

'Laki-laki meningkat has–ratnya? Dia juga laki-laki 'kan? Tapi ....' Yumna memegang dadanya yang tak lagi berdetak kencang.

Perasaannya sedikit tenang dan seperti berada di dekat sang ayah. Nyaman dan merasa terlindungi.

"Menikah? Dengan Pak Almeer?" cicitnya menatap tempat persegi bertuliskan P3K.

Tangannya me-raba bibir kemudian meringis. Amis dan anyir bercampur perih terasa di dua sudutnya. Air mata kembali mengaliri kulit pipi yang belum menampakkan keriput meski sudah hampir paruh baya.

'Apapun yang kita lakukan nggak akan bisa menjadikan putri kita menikahi enam ba-ji-ngan itu, Bund ....'

'Lalu kita harus menerima ini? Yumna hamil tanpa suami dan baru lulus SMA, Pak! Bagaimana kita menyembunyikan dia dari tetangga?'

'Pasung dia hingga bayinya lahir, dan bawa ke Panti Asuhan setelahnya!'

'Tapi bagaimana kalo ada yang bertanya tentang Yumna? Dia sudah mendapat beasiswa ke Universitas di kota, Pak!'

Semua percakapan ayah Yumna dan mendiang ibunya terngiang kembali di kepala. Saat itu dia memutuskan menjauh dari masyarakat dan hidup menyendiri di sebuah pinggiran perdesaan. Ada sebuah hutan kecil yang sengaja ditanami pohon untuk rantingnya digunakan sebagai bahan bakar memasak.

Gadis belia yang direnggut kesuciannya oleh enam preman sekaligus dalam satu waktu itu menjalani masa kehamilannya sendirian. Setiap seminggu sekali Bundanya mengirim beras dan bahan makanan lain untuk persediaan Yumna.

"Bunda ... perut Nana sakiiiit!" rintihnya meringis menahan nyeri di perut seperti dorongan ingin keluar dari janin di dalamnya.

"Ya Allah, bagaimana ini, Na?! Kalo sakit tarik napas dalam-dalam lalu keluarkan perlahan dari mulut, ya? Terus seperti itu sampai Bunda kembali!"

"Bund ... jangan pergi! Te-mani Nana, Bundaaa!" jeritnya mengatur napas dengan mengejan kuat-kuat.

Oweeek oweeek oweeek ...

Bayi dengan ukuran kecil dan masih terbungkus selaput tipis itu keluar dari sela dua kaki Yumna yang langsung terbaring di atas tanah.

"Astaghfirullah! Na, Yumna bangun, Nak!" Bunda mengguncang tubuh putrinya agar tetap sadar.

"Minuuum, Bund ... Nana ha-us!" lirihnya tersengal dengan mata masih terpejam.

"Jangan katakan apapun pada Bapak, kalo Nana sudah melahirkan, Bund! Nana akan rawat anak ini di sini. Ya Bund?" pinta Yumna memeluk bayi yang memiliki fisik tak sempurna itu masih dalam posisi tergeletak di atas daun kering.

Perempuan yang usianya masih belum genap 17 tahun itu beringsut hendak duduk. Dia dikejutkan dengan sesuatu yang aneh di tubuh sang anak.

"Bund ...," lirihnya memanggil ibunya yang terisak dengan wajah penuh air mata.

"Kita bawa saja ke panti asuhan, suatu saat kita akan mengambilnya lagi, hem? Tentunya setelah kamu menikah nanti," ucap Bunda memberi penguatan pada putrinya yang baru saja menjadi ibu.

"Belum ganti baju juga?"

Sapaan Almeer yang kembali masuk mengejutkan Yumna yang melamun. Mengingat Bundanya yang menginginkan dia menikah suatu saat nanti. Tapi ....

"Kok malah bengong? Kamu nggak mau ganti dulu sebelum aku antarkan ke rumah sakit tempat ayah kamu dirawat?" Almeer lagi-lagi mengagetkan Yumna yang refleks menggeleng dan menunduk.

"Pak Almeer tidak boleh menemui Bapak, dia sakit jantung. Nggak boleh diberi kabar yang membuatnya cemas." terangnya dengan memainkan jemari di balik selimut.

"Tenang, gantilah bajumu! Aku tunggu 5 menit!" titah pria keturunan Inggris itu seenaknya sendiri lalu melangkah keluar dengan berbalik kaku.

Beberapa menit dilalui Yumna di dekat boss-nya, hatinya benar-benar dibuat nyaman. Rasa takutnya menghilang walau masih tersisa sedikit ragu. Tapi perempuan itu merasakan hal berbeda dari lawan jenis yang biasa dekat atau mendekatinya selama ini.

"Allah ... lindungi hamba dari segala bentuk takdir buruk yang akan menimpaku dan juga Bapak, Ya Allah ...." gumamnya meminta pertolongan Yang Maha Kuasa.

Lima menit yang dijanjikan ditepati oleh Yumna, perempuan yang sekarang telah mengenakan gamis panjang berwarna peach berpadu dengan hijab senada berjalan menunduk malu-malu keluar dari ruang rahasia.

"Apakah aku baru saja menyelamatkan seorang bidadari?" celetuk Almeer menatap tak berkedip sosok yang berdiri di depan lemari bukunya.

Mendengar penuturan Nevan, perempuan itu semakin tak berani menampakkan wajahnya. Hawa panas seperti menjalar di permukaan kulitnya. Mungkin jika dilihat dari cermin, pipinya sudah semerah tomat. Hatinya juga kalang kabut bagaikan seekor kodok di tanah gersang disirami dengan hujan. Bernyanyi riang gembira, mungkin kata yang tepat untuk mendiskripsikan perasaan Yumna.

"Pakai ini! Kamu tak akan dikenali sebagai Yumna saat keluar dari sini!" Almeer mendekat dan menyerahkan selembar kain penutup wajah.

Yumna menatap kain lebar dengan dua tali panjang diujungnya itu lalu mendongak penuh tanya.

"Anda memintaku memakai cadar?"

Tanpa menjawab apapun, pria yang usianya terpaut 3 tahun lebih darinya itu mengikis jarak. Membentangkan kain setinggi hidung lalu melingkarkan di kepala. Almeer memakaikan cadar berwarna hitam itu menutup seluruh wajah hingga hanya mata hazel Yumna yang terlihat.

"Kamu akan lebih aman dan terjaga dari para pria hidung belang di luar sana, Yumna! Mulai sekarang aku berjanji akan melindungimu, apapun yang terjadi!" katanya mengikatkan tali di belakang kepala perempuan yang menahan napas hampir tak berjarak dengan dada sang CEO.

Gerakan mengangguk Yumna yang entah siapa yang memerintahkan otak untuk merespon demikian, membuat perempuan itu merutuki dirinya sendiri dalam hati.

"Apa yang kamu lakukan, Yumna! Menutup wajah dalam Islam bukan sekadar gaya atau tren berbusana! Segala tindak tanduk terutama hati haruslah lebih ditutup dari fisik yang tak terlihat. Ini nggak main-main, Na! Tolak! Ayo lepaskan cadar ini! Setelah memakainya itu artinya kamu harus semakin taqwa dan takut pada Allah!"

Perang batin di dalam hati Yumna bergemuruh, dadanya naik turun dan tenggorokannya tercekat. Tangannya kali ini berani menahan lengan Almeer yang berada di dua sisi telinganya.

"Jangan Pak! Aku akan memakai masker saja! Berniqab bagiku adalah sebuah beban berat yang harus kupertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah. Keimananku belumlah sempurna, Pak," ucapnya bertukar pandang dengan pria yang kadang dipanggil Sir kadang Pak oleh Yumna.

"Baiklah ... tapi dengan satu syarat ...."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status