Setelah berkeliling ke beberapa rumah karib kerabat dekat mereka, kini Fahri dan Dinda mengunjungi rumah terakhir, salah seorang sepupu ibu Fahri dari pihak ibunya, yang juga merupakan saudara Dinda dari pihak ayahnya. "Eh, pengantin baru ... mari masuk." Seorang perempuan paruh baya, berwajah mirip pemeran ibu judes di beberapa sinetron, menyambut mereka. "Mau minum apa?" tanya perempuan yang biasa disapa Tek Anis itu oleh Fahri dan Dinda, yang juga merupakan istri dari paman mereka. "Nggak usah repot-repot, Tek. Nda ke sini cuma mau menyampaikan pesan dari umi dan ibu." Dinda menyodorkan bingkisan yang sudah disiapkan oleh ibunya pada Anis. Anis urung meninggalkan pasangan pengantin baru itu. "Oh, iyo ... terima kasih, ya," ucapnya dengan senyum yang terlihat dibuat-buat. "Om mana, Tek?" tanya Dinda berbasa-basi saat mendudukkan dirinya di sofa rumah yang cukup mewah itu. "Oh, Om lagi ngawasin panen, mungkin baru sore baliknya."Dinda hanya membalas dengan ber-oh ria. "Berunt
Setelah perdebatan kecil yang terjadi saat mereka di perjalanan pulang, baik Dinda maupun Fahri, tak mempunyai waktu untuk bicara berdua dan menyelesaikan pertengkaran begitu mereka sampai di rumah. Mereka kembali disibukkan dengan menemui kerabat yang masih berdatangan untuk mengucapkan selamat atas pernikahan mereka. Hanya sesekali, Dinda dan Fahri bertemu mata. Namun, Dinda memilih untuk menghindar. Biasanya Dinda lebih mudah untuk kembali bersikap biasa, tetapi kali ini ada canggung yang ia rasakan saat bersitatap dengan Fahri. Satu hal yang Dinda tangkap dari kalimat tajam yang diucapkan Fahri saat diperjalanan tadi adalah, ia hanya pelarian dari patah hati yang Fahri rasakan. Dinda paham, efek rasa kehilangan dan dicampakkan yang dirasakan Fahri tak akan bisa disembuhkan dalam waktu semalam. Kondisi psikologis Fahri sedang tidak baik, tetapi Dinda masih saja merasakan sedikit perih ketika mengingat kalimat yang diucapkan Fahri di perjalanan tadi. Rasa lelah baru Dinda rasakan
Setelah seminggu berada di kampung, pasangan suami istri itu harus kembali ke kota kediaman Fahri. Pesta ternyata masih belum usai, masih ada resepsi ngunduh mantu yang diadakan Emi di kota kembang, kota di mana Fahri dibesarkan. Resepsi yang digelar Emi ternyata tak kalah besar dengan resepsi yang mereka adakan di kampung. Bahkan resepsi kali ini diadakan di ballroom sebuah hotel. Tentu saja, karena tamu undangan pada resepsi kali ini adalah kolega bisnis Emi dan Fahri. Meskipun sahabat kampret Fahri sudah menghadiri acara resepsi yang digelar di kampung, tetapi kali ini mereka tetap datang untuk merayakan kembali masa melepas lajang sahabat mereka."Selamat ya, kalian. Semoga lekas berkembang biak." Dony yang tidak menghadiri acara akad nikah kedua mempelai itu mengucapkan selamat."Njir! Berkembang biak pisan!" Fahri tergelak mendengar kalimat yang dilontarkan Dony. "Ri! Aya (ada) mantan!" Gustaf yang turut menemani Dony ke panggung pelaminan, menyikut Fahri yang masih cengenges
"Nda," panggil Fahri pelan. Dinda yang tengah menekuri ponsel, mendongak menatap Fahri yang baru saja keluar dari kamar mandi. Aroma sabun khas hotel menguar dari tubuhnya yang hanya berbalut handuk. Butuh beberapa detik untuk Dinda menyadari, sebelum ia mendadak panik, melempar ponsel, dan menutup wajah dengan kedua telapak tangan. "Uda pakai baju dulu, ih!" seru Dinda dari balik telapak tangannya. "Kenapa masih kaku gitu, sih? Kan kamu udah halal ngeliat aku kayak gini." Fahri yang tadinya berinisiatif hendak meminta maaf perihal kejadian di ballroom tadi, mendadak terkekeh-kekeh melihat Dinda menyembunyikan wajahnya di balik telapak tangan. "Uda senang, ya, kalau Nda kena serangan jantung?" Dinda makin menenggelamkan wajahnya di balik telapak tangan. Pipinya mendadak terasa panas. Fahri masih terkekeh saat ia mengatakan, "Kita senam jantung aja, yuk!" Lalu dengan santainya, duduk di samping Dinda dan menarik tangan perempuan yang malah memejamkan matanya erat-erat itu. "Uda m
Dinda perempuan yang kuat. Ia mulai terbiasa dengan kata pedas yang sering dilontarkan Fahri. Keceriaan selalu ia tunjukkan, terlebih lagi saat melayani suaminya itu. Meskipun kebiasaannya menjawab perkataan Fahri dengan kalimat asal, belum juga hilang. Setelah menikah, Fahri memboyong Dinda pindah ke rumah yang terletak di pinggiran kota Jakarta, sesuai dengan kesepakatan sebelum mereka menikah. Rumah tersebut pemberian Emi—uminya Fahri—yang bersikeras membelikan mereka rumah sebagai hadiah untuk pernikahan Fahri dan Dinda. Bahkan Emi menyerahkan tanggung jawab pengelolaan show room mobil milik keluarga mereka di bawah kepemimpinan Fahri. Dinda perempuan yang beruntung. Begitu kata orang-orang. Mempunyai suami berwajah tampan, hidup mapan, dan mertua yang sangat menyayangi. Kehidupannya terlihat begitu sempurna dari luar, tanpa ada yang yang tau bahwa diam-diam Dinda masih saja memendam rasa rendah diri dan tak dihargai oleh suami sendiri. Semenjak mereka pindah, Fahri mulai disib
"Ya sudah, kita berangkat sekarang. Daerah Kuningan macetnya ampun-ampunan," pungkas Fahri, memilih untuk mengalah, dari pada mood-nya rusak pagi-pagi dengan meladeni Dinda. Setelah menandaskan isi piringnya, Fahri bangkit dan meninggalkan piring bekas makannya di meja. "Tapi Uda nggak telat, kan ngantor?" Dinda mengekori Fahri yang telah lebih dulu keluar rumah, masih belum percaya bahwa Fahri menawarkan diri untuk mengantar. "Kan aku yang punya kantor," sahut Fahri dengan wajah angkuhnya saat hendak masuk mobil. "Oh, iya. Nda lupa.""Apa yang Nda ingat tentang aku, sih? Semuanya aja lupa," sungut Fahri saat mereka sudah berada di dalam mobil dan meninggalkan pekarangan rumah. "Galaknya doang." Singkat, tapi tajam. "Anjir!" Fahri tertawa miris. "Terus itu, apa yang kita lakuin selama ini untuk menghasilkan keturunan, nggak keinget gitu?" Fahri tak berani menatap Dinda. Tatapannya lurus ke jalanan yang masih gelap, tetapi sudah dipadati oleh kendaraan yang mungkin juga membawa pe
"Nda!" Dinda berbalik dari menatap pintu lift yang masih tertutup, mendapati Gibran berjalan menyusulnya dengan langkah panjang. Ia lalu mengulas senyum tipis saat Gibran berada tepat di hadapannya. "Aku pikir kamu nggak jadi ngelamar.""Jadi dong. Mana mungkin Nda nyia-nyiain kesempatan jadi wanita karir," balas Dinda dengan tawa pelan. Dinda tak mampu menahan senyum yang terbit di bibirnya. Rasanya pagi ini matahari terbit lebih cerah dari biasa. Melihat Gibran yang terlihat rapi dengan kemeja marun, kontras dengan warna kulitnya yang putih bersih. Tanda pengenal perusahaan dengan foto Gibran tersenyum, terpasang pada kantong kemeja lelaki itu. Melihat Gibran dengan senyum ramahnya yang tak pernah berubah, membuat Dinda bisa mengenyahkan sejenak rasa rendah diri yang ia rasakan ketika bersama Fahri. Dari dulu, ketika berada di dekat Gibran, rasa percaya dirinya meningkat. Seolah ada energi yang ditransfer lelaki itu. "Kan jadwalnya pukul sembilan. Kok pagi banget datengnya?" Sama
Setelah menjalani serangkaian tes yang memakan waktu selama kurang lebih lima jam, akhirnya Dinda bisa bernapas lega. Entah hasilnya bagaimana, Dinda hanya pasrah. Seperti yang ia katakan pada Gibran tadi, Dinda tak mau terlalu berharap. Dinda tak lagi bertemu Gibran saat ia meninggalkan ruangan. Demi sekedar basa-basi, ia mengirimkan pesan pada lelaki itu. Namun, saat jemarinya membuka aplikasi pesan, matanya terpaku pada belasan pesan yang dikirim Fahri. Dari kalimat yang dikirimkan Fahri, kentara sekali lelaki itu kesal karena Dinda mematikan ponsel. [Kamu benaran tes kerja apa mau kencan sama laki-laki lain?] Itu kalimat pesan terakhir yang masuk. Alih-alih kesal, Dinda terkikik geli membaca pesan Fahri. "Cemburu? Bilang, Bos!""Nda!" Wajah Dinda langsung pias saat mendengar suara lelaki yang baru saja ia tertawakan itu. "Ya Allah, ampunin Nda. Kenapa jadi terngiang-ngiang suara Da Ari segala.""Dipanggil malah bengong!" "Astaghfirullah!" Dinda mengucek matanya saat melihat sos