Kegiatan Dinda di hari pertama ternyata cukup padat. Selesai olah raga pagi, mereka diberi waktu untuk bersiap-siap, sarapan, dilanjutkan dengan penyuguhan materi. Mereka hanya diberi waktu beberapa kali istirahat salat, makan, kemudian kelas materi kembali dilanjutkan. Dinda bahkan tak sempat memeriksa ponselnya. Karena waktu yang diberikan untuk istirahat hanya sedikit. Pada kelas materi terakhir diisi oleh Gibran. Selama kelas berlangsung, Dinda memperhatikan dengan serius lelaki itu menyajikan materi. Begitu luwes dan penuh percaya diri. Tak lupa wajah ramah itu selalu ia tunjukkan. Gibran dari dulu memang tak pernah berubah, senyum ramahnya masih terlihat sama. Hanya saja, perasaan Dinda yang menatap Gibran kali ini sudah berbeda. Tak ada lagi getar kuat yang dulu ia rasa setiap kali menatap wajah itu. Tak sadar Dinda mengulas senyum tipis, mengingat bagaimana dulu ia pernah begitu mendamba sosok Gibran sebagai pendampingnya. Meminta berkali-kali dalam setiap doanya, agar kelak
Akhir minggu yang Dinda tunggu pun tiba. Sejak tadi malam tidurnya tak nyenyak. Berharap Fahri benar-benar datang menemuinya. Namun, ketika jam sudah menunjukkan pukul 10.00, Fahri masih tak bisa dihubungi, pun tak memberi kabar. Ketakutan mulai menyelimuti pikiran Dinda. Jangan-jangan Priska kembali datang menemui Fahri di kantornya. Membuat Fahri kembali berpaling pada mantannya itu. Setelah sarapan tadi, Dinda kembali ke kamar, ia tak bersemangat untuk melakukan apa-apa. Yang ada dipikiran Dinda saat ini hanya Fahri, tak ada yang lain. Bahkan ajakan Nunik untuk pelesiran ke Kota Bogor ia tolak, dengan alasan suaminya akan datang. "Duh, enaknya yang punya suami," goda Nunik tadi saat Dinda menolak ajakan teman sekamarnya itu."Enak apanya, yang ada Nda kena PHP mulu," gumam Dinda menahan tangis. Akhir-akhir ini, jika menyangkut tentang Fahri, air mata Dinda mudah luruh. Setelah tinggal sendirian di kamar, Dinda memilih berselancar di dunia maya. Jemarinya iseng membuka kembali me
Saat tersadar Dinda meninggalkannya, Fahri yang juga tengah emosi akibat perjuangannya sia-sia, memilih meninggalkan tempat itu. Padahal tadi pagi ia begitu bersemangat hendak bertemu Dinda. Ia bahkan lupa membawa ponsel karena tergesa agar tak macet di jalanan. Perjuangannya tak sampai di situ, saat berada di jalan tol, dua ban mobilnya kempes secara bersamaan. Berhubung ponselnya ketinggalan ia tak bisa menghubungi mobil derek atau bantuan semacamnya. Fahri terpaksa menunggu pengguna jalan tol atau petugas patroli yang menyadari bahwa ia tengah butuh bantuan. Beruntung ada salah seorang karyawannya yang lewat mengenali mobil Fahri yang berhenti di bahu jalan, sehingga Fahri mendapat bantuan untuk memanggil mobil derek. Begitu sampai di hotel, yang ia temui malah Dinda tengah duduk berdua dengan Gibran. Hatinya benar-benar terasa panas. Sambil menggumamkan makian, Fahri beranjak ke mobilnya. Membanting pintu dengan keras. Kemudian memukul-mukul kemudi mobil untuk meluapkan amarahny
Tidak jadi makan, bertemu mantan, pikiran Fahri makin terasa kacau. Setelah memenangkan diri sesaat, Fahri kembali memutar mobilnya ke arah hotel tempat Dinda berada. Mengingat kembali tujuannya ke tempat itu. Fahri merutuki kebodohannya. Kenapa malah meninggalkan Dinda, seolah memberi celah pada Gibran untuk kembali masuk ke hati istrinya itu. "Bodoh!" umpat Fahri berkali-kali. Begitu sampai di hotel, Fahri mendatangi resepsionis. Meminta agar memanggilkan Dinda untuk turun ke lobi. Tetapi jawaban yang ia dapat sungguh mengecewakan. "Ibu Adinda sedang tidak ingin bertemu siapa-siapa, Pak.""Tapi dia ada di kamar?""Ada," balas resepsionis itu dengan senyum sumpulnya. "Boleh saya tau nomor kamarnya, Mbak?" tanya Fahri penuh harap. "Maaf, Pak. Yang bersangkutan berpesan agar tidak diganggu. Kami tidak bisa melanggar permintaan tamu." Resepsionis itu memasang wajah menyesal dengan menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Fahri mengembus napas kasar. Akhir minggu yang ia
Ada yang mengatakan bahwa, permintaan maaf akan selalu mudah diucapkan oleh mereka yang memiliki rasa cinta yang lebih besar. Dinda menyadari itu, perasaannya terhadap Fahri semakin hari semakin tumbuh besar. Rasa takut kehilangannya pun sama."Nda lagi PMS?" tanya Fahri tiba-tiba. Dinda melonggarkan pelukannya, menggeleng dengan kening berkerut. "Nggak. Kenapa memangnya?""Abisan uring-uringan nggak jelas gitu.""Uda yang mulai." Dinda memberengut sembari menghenyakkan bokongnya di samping Fahri. Rasanya sudah lama sekali mereka tak duduk berdampingan seperti ini. Biasanya walaupun sering bertengkar, pada akhir hari mereka akan tetap tidur seranjang dan saling memeluk. Namun, semenjak Dinda berada di tempat pelatihan, komunikasi mereka pun terbatas. Dinda begitu sibuk dengan segala pengayaan materi dan tugas yang diberikan selama pelatihan. "Lapar nggak, Nda?" Fahri memilih untuk. menghentikan perdebatan yang ia tau tak akan pernah berkesudahan. Dinda mengangguk cepat. "Nda sengaj
Setelah pertengkaran kecil mereka, Fahri dan Dinda kini menikmati akhir minggu di sebuah tempat wisata menunggang kuda. Akhir minggu yang romantis impian Dinda terwujud juga. Dengan jantung terasa berlompatan tak karuan, Dinda duduk dengan posisi memunggungi, dan punggung menempel ke dada Fahri. Fahri yang memegang tali kendali kuda tunggangan mereka. Romantis, bukan? Menunggangi kuda mengitari hamparan kebun teh yang hijau, dengan udara yang sejuk, bersama orang yang dicintai. Apa ada lagi yang kurang? Susah payah mengendalikan detak jantungnya, berimbas pada sikap Dinda. Semenjak kuda yang mereka tunggangi mulai memasuki jalan setapak di antara perkebunan teh, Dinda tak lagi berceloteh. Dia sibuk dengan buncahan rasa hangat yang menari-nari di perutnya. Sama seperti jantungnya, seperti ada benda-benda yang berlompatan membuat aliran darahnya menjadi tak teratur. Seolah darahnya mendadak naik ke wajah. Sehingga, entah beberapa kali Dinda menekan-nekan wajahnya dengan kedua telapak t
Tak terasa waktu mereka habis hanya dengan cerita tentang pengalaman Dinda selama pelatihan, Fahri tak menyadari. Rasanya sudah terlalu lama mereka tak duduk berdua seperti ini. Padahal baru satu minggu terlewati tanpa kehadiran Dinda di rumah. Fahri baru menyadari arti Dinda di hatinya kini. Rasa takut kehilangan kini mulai mendominasi. Pengalamannya saat Priska pergi masih menyisakan trauma. Fahri tak mau hal itu terjadi lagi. Ia terus saja menyangkal perasaan yang kini mulai terasa nyata. Ia makin enggan menyatakan cinta yang dituntut oleh Dinda. Fahri takut, ketika nanti ia telah memberikan hatinya kepada perempuan yang akhir-akhir ini selalu mengganggu pikirannya itu, ia kembali ditinggal dengan rasa kecewanya. Fahri tidak ingin kembali terluka. Untuk saat ini ia hanya ingin Dinda tetap berada di sampingnya. "Uda capek, ya, dengerin Nda cerita?" tanya Dinda begitu menyadari tatapan Fahri menerawang entah ke mana. Kembali lagi prasangka itu hadir, mengira Fahri kini tengah memik
Saat menunggu lift menuju lantai di mana kamarnya berada, Dinda bertemu Nunik yang baru turun. Gadis itu terlihat manis dengan balutan sweater rajut berwarna marun dipadukan dengan high waist jeans. Rambut sebahunya tersisir rapi, dan wajahnya dipoles riasan yang cukup tebal. "Eh, Nik! Mau ke mana?" tanya Dinda dengan tatapan heran, penampilan Nunik terlihat seperti hendak pergi kencan. "Pak Syahid ulang tahun, beliau mengadakan pool party, semua trainee diundang. Kan di-share di grup. Kamu nggak baca?" terang Nunik dengan cepat. "Tadi aku juga wa kamu, tapi nggak dibaca. Keasyikan setoran sama suaminya, ya?" todong Nunik sambil cengengesan.Dinda membalas dengan cengiran lebar."Kamu mau bareng, apa mau ganti baju dulu?" tanya Nunik saat mendapati jawaban dari Dinda hanya cengiran saja."Memangnya harus datang, ya?" Dinda saat ini sedang ingin menyendiri. Perasaannya masih berantakan akibat pertengkaran dengan Fahri barusan."Nggak wajib, sih. Tapi yang ngadain Pak Syahid, nggak en