Sayup-sayup kumandang takbir bergema di beberapa ruas jalan yang Dinda dan Fahri lewati menuju kota tujuan mereka. Memasuki jalan tol, kendaraan mereka mulai tersendat. Tak hanya Dinda dan Fahri yang melakukan perjalanan menuju luar kota, beberapa kendaraan lainnya juga terlihat tengah melakukan perjalanan untuk merayakan lebaran di kota yang mereka tuju. Terlihat dari beberapa kendaraan yang membawa bagasi di atas mobil. Begitu pun pada saat memasuki rest area, antrian di tempat makan dan kamar kecil lebih ramai dari hari biasa. Bahkan mereka juga sulit menemukan tempat untuk memarkirkan kendaraan. "Uda capek, nggak?" tanya Dinda saat mereka hendak meninggalkan rest area. "Kenapa? Emang mau gantiin nyetir?" tanya Fahri dengan nada sedikit merendahkan. Sifat aslinya memang masih belum hilang, terkadang ia masih saja menganggap Dinda perempuan kampung yang tak mengerti apa-apa. "Boleh, kalau Uda capek.""Jangan, deh. Takut uda muntah di jalan," tolak Fahri sambil mencebik. "Uda mer
Pukul 12.10, saat mobil Fahri berhenti di depan sebuah rumah mewah berlantai dua dengan gaya Mediterania. Seorang lelaki akhir lima puluh tahun bergegas membukakan pintu gerbang dari besi tempa yang di cat warna tembaga itu, ketika mengenali mobil Fahri berhenti di depan gerbang. Lelaki yang mengenakan jaket tebal, dengan kepala ditutup kupluk hingga menutup telinga itu membungkuk sekilas saat Fahri mengucapkan terima kasih dan melajukan mobil ke dalam pekarangan rumah yang cukup luas itu. Bandung sangat dingin malam ini efek diguyur hujan. Dan dinginnya tak hanya terasa di luar, tetapi hingga ke dalam hati Dinda. Satu fakta mengejutkan kembali terungkap. Kucing yang begitu ia sayang selama ini ternyata peninggalan bersejarah dari hubungan Fahri dan Priska. Mendadak Dinda merasa seperti orang bodoh. Pantas saja selama ini Fahri terlihat begitu menyayangi Goofy, ternyata ada kisah di balik kehadiran Goofy dalam hidup Fahri. Tak hanya fakta itu saja yang membuat hati Dinda hancur, ses
Suara takbir menandakan kemenangan, terdengar sahut menyahut di luar sana. Di luar masih terlihat gelap, tetapi suasana di luar kamar sudah terdengar sibuk. Suara Emi, yang serak mendominasi, sedikit teredam oleh dinding kamar. Akan tetapi Dinda yakin, Emi tengah memberi arahan ke beberapa orang pekerja yang membantunya di rumah itu. Dinda bangkit dari tempat tidur, menoleh ke pojok ruangan tempat pet cargo yang berisi jasad Goofy berada. Air mata Dinda kembali luruh. Biasanya kucing oren itu tidur di ujung tempat tidur, meringkuk di kaki Dinda atau Fahri. Dinda beralih menoleh ke sisi tempat tidur di sebelahnya, Fahri masih tertidur dengan dengkuran yang cukup keras. Ia terlihat begitu lelah, karena menempuh perjalanan dengan kemacetan yang cukup padat. Perlahan, Dinda mengoyang-goyangkan tangan Fahri. "Uda, bangun. Sudah subuh."Seperti biasa, Fahri susah untuk dibangunkan. Lelaki itu makin mengeratkan gelungan selimutnya, merubah posisi, membelakangi Dinda. "Uda." Dinda mengulan
Fahri tak melepas tatap dari Dinda yang tengah asyik bercengkrama dengan keluarga besar uminya yang datang bertamu pagi itu. Tak bersisa raut kesedihan yang tadi terlihat pada kedua netra bening istrinya itu. Dinda tampak ceria, juga makin terlihat cantik dengan balutan gamis betwarna lilac dan kerudung berwarna senada dengan motif abstrak. Fahri tak berkedip memperhatikan Dinda yang tengah sibuk meladeni anak-anak dari sepupunya di ruang tengah, sementara Fahri berkumpul dengan para tamu laki-laki di ruang tamu. Dinda seolah tak peduli dia menjadi satu-satunya perempuan dewasa yang berada di tengah-tengah para bocah yang super aktif dan sangat berisik itu, atau terlihat merasa disisihkan karena para perempuan dewasa di rumah itu berkumpul di halaman belakang, entah apa yang mereka ceritakan di sana, karena terdengar begitu riuh. Sesaat tatap mata mereka bertemu, Dinda mengulas senyum tipis. Sementara Fahri gelagapan karena tertangkap basah tengah memperhatikan Dinda. "Cie, yang sek
Dinda tak berhenti tersenyum semenjak mereka tiba di bandara dan menaiki pesawat hingga pesawat mendarat di Bandara Internasional Minangkabau. Udara yang cukup menyengat menyambut, begitu kontras dengan udara di dalam pesawat yang sangat dingin. Dinda harus beberapa kali menyeka keringat yang mengalir di pelipisnya. "Ngelap keringatnya jangan pakai baju, kenapa, sih?" protes Fahri saat melihat Dinda yang berkali-kali menyeka keringatnya dengan lengan baju. "Biar praktis Uda. Lagian biar hemat tisu juga," sahut Dinda sekenanya. "Padahal dia sendiri yang suka sok higienis," sungut Fahri sambil mencebik. "Udah, deh, protes mulu," sahut Dinda seringan bulu. Ingin Fahri melontarkan kalimat tajam seperti biasa, tetapi ia tahan. Akhir-akhir ini Fahri memilih banyak mengalah daripada memperpanjang masalah. Karena Dinda mulai hobi merajuk dan mendiamkannya, Fahri tak kuasa didiamkan istrinya itu. *** Setibanya mereka di kampung halaman, Niar menyambut mereka dengan antusias. Ia hampir lu
Fahri menatap pasrah tatkala melihat Dinda menyeret kopernya keluar kamar. Dinda menarik benda itu ke ruang tengah dan menghenyakkan tubuhnya di sofa. Mengeluarkan ponsel dari tas kecil yang selalu ia bawa ke mana saja. Tak menyadari tatapan suaminya yang menatapnya intens semenjak tadi. "Berangkat jam berapa?" tanya Fahri saat melihat Dinda tengah asyik menekuri ponsel. Dinda mendongak, mengulas senyum termanis yang penah Fahri lihat. "Ini Nda lagi pesan taksi online dulu." "Biar diantar saja," tegas Fahri begitu Dinda kembali menunduk menatap layar ponsel."Nggak usah, Uda. Nanti Uda capek, ke puncak kan macet weekend begini," tolak Dinda. Dinda tidak ingin merepotkan siapapun, termasuk Fahri, meskipun lelaki itu adalah suaminya, ia sudah terbiasa melakukan apa pun seorang diri dan tak mau merasa ketergantungan dengan orang lain. Terlebih lagi semenjak menikah, Dinda sudah terbiasa melakukan apa pun seorang diri. "Memangnya kenapa Nda nggak mau diantar? Uda cuma mau mastiin Nda
Pagi ini Dinda bangun dengan suasana hati yang sangat baik. Mengingat rencana yang telah dilontarkan Fahri untuk menikmati pagi di daerah puncak, membuat Dinda bangun dengan penuh semangat. "Nda jangan pakai rok, kita mau jalan ke atas bukit," tukas Fahri saat melihat Dinda mengeluarkan pakaian dari koper. Gerakan Dinda terhenti. Dia mendongak menatap Fahri. "Pakai sepatu olahraga," imbuh Fahri sebelum Dinda sempat bertanya. Dinda menelan rasa penasaran, memasukkan kembali pakaian yang tadi sempat ia pilih, kemudian menarik keluar pakaian kasual. "Kalau baju ini nggak apa-apa?""Iya, yang itu saja." Fahri mengangguk setuju. Selesai sarapan, Fahri mengendarai mobil Pajero Sport-nya menuju area perkebunan teh. Kabut masih menggantung, menutupi pucuk pepohonan yang berada di sebelah sisi jalan yang terlihat seperti jurang. Jalanan masih sepi dan terasa sunyi, tak ada kendaraan lain yang turut bersama mereka. Hanya suara mesin mobil yang dikendarai Fahri yang terdengar di sepanjang p
Keseruan yang dirasakan Dinda bersama Fahri harus berakhir saat Dinda menyadari jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Dengan berat hati, ia harus kembali ke hotel. Untuk pertama kali, Dinda bisa menikmati kebersamaannya dengan Fahri. Hampir satu tahun menikah, ini adalah kesempatan pertama Dinda merasa memiliki seorang pendamping. Di sepanjang perjalanan menuju hotel, bibir Dinda tak henti mengulas senyum. Tak mengapa belum ada kalimat pernyataan cinta dari bibir Fahri, untuk hari ini Dinda merasa cukup. Pengalaman hari ini disimpan Dinda baik-baik dalam pusat memori. Menikmati liburan mewah yang tak pernah ada dalam bayangannya selama ini."Masih lapar nggak?" Suara berat Fahri memecah lamunan Dinda. Dia menoleh ke arah suaminya yang tengah fokus menyetir. "Memangnya Uda lapar lagi?" Dinda balik bertanya. "Ditanya, malah balik nanya," ketus Fahri. Dinda cengengesan. Dia sudah mulai terbiasa dengan sikap suaminya yang bisa dihitung dengan jari untuk bersikap manis. "Lapar, sih.