Pagi ini Dinda bangun dengan suasana hati yang sangat baik. Mengingat rencana yang telah dilontarkan Fahri untuk menikmati pagi di daerah puncak, membuat Dinda bangun dengan penuh semangat. "Nda jangan pakai rok, kita mau jalan ke atas bukit," tukas Fahri saat melihat Dinda mengeluarkan pakaian dari koper. Gerakan Dinda terhenti. Dia mendongak menatap Fahri. "Pakai sepatu olahraga," imbuh Fahri sebelum Dinda sempat bertanya. Dinda menelan rasa penasaran, memasukkan kembali pakaian yang tadi sempat ia pilih, kemudian menarik keluar pakaian kasual. "Kalau baju ini nggak apa-apa?""Iya, yang itu saja." Fahri mengangguk setuju. Selesai sarapan, Fahri mengendarai mobil Pajero Sport-nya menuju area perkebunan teh. Kabut masih menggantung, menutupi pucuk pepohonan yang berada di sebelah sisi jalan yang terlihat seperti jurang. Jalanan masih sepi dan terasa sunyi, tak ada kendaraan lain yang turut bersama mereka. Hanya suara mesin mobil yang dikendarai Fahri yang terdengar di sepanjang p
Keseruan yang dirasakan Dinda bersama Fahri harus berakhir saat Dinda menyadari jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Dengan berat hati, ia harus kembali ke hotel. Untuk pertama kali, Dinda bisa menikmati kebersamaannya dengan Fahri. Hampir satu tahun menikah, ini adalah kesempatan pertama Dinda merasa memiliki seorang pendamping. Di sepanjang perjalanan menuju hotel, bibir Dinda tak henti mengulas senyum. Tak mengapa belum ada kalimat pernyataan cinta dari bibir Fahri, untuk hari ini Dinda merasa cukup. Pengalaman hari ini disimpan Dinda baik-baik dalam pusat memori. Menikmati liburan mewah yang tak pernah ada dalam bayangannya selama ini."Masih lapar nggak?" Suara berat Fahri memecah lamunan Dinda. Dia menoleh ke arah suaminya yang tengah fokus menyetir. "Memangnya Uda lapar lagi?" Dinda balik bertanya. "Ditanya, malah balik nanya," ketus Fahri. Dinda cengengesan. Dia sudah mulai terbiasa dengan sikap suaminya yang bisa dihitung dengan jari untuk bersikap manis. "Lapar, sih.
Dinda mengembuskan napas kasar. Satu kata yang sering Fahri ucapkan tadi sebelum ia berlalu, kembali terngiang di benaknya. Jika bersama Fahri, Dinda tak mampu membaca apa yang tersirat dari setiap kalimat dan perbuatan suaminya itu. Kemampuan Dinda selama ini yang telah mendalami tentang ilmu kejiwaan, hilang seketika ketika berhadapan dengan Fahri. Sebegitu kacau perasaannya jika berhubungan dengan Fahri. Iya, dia memang sudah terlalu berbesar kepala saat mengartikan sikap Fahri belakangan ini sebagai tanda cinta. Dan memang benar ia telah menumbuhkan harapan suaminya itu sudah mulai ada rasa terhadap dirinya. Akan tetapi sesuatu di dalam dirinya kembali menyangkal, mana mungkin Fahri akan secepat itu mencintainya. Tujuh tahun kebersamaan Fahri dengan Priska tentu saja tak akan bisa dihapus hanya dengan beberapa bulan kebersamaannya. "Nda baru pulang?" sapaan dari seseorang bersuara renyah itu memecah segala pemikiran Dinda. Dia menoleh ke arah asal suara dan mengulas senyum. "Iya
Pagi ini Dinda bangun dengan perasaan campur aduk. Semalam Fahri tak mengangkat telepon darinya, entah berapa kali Dinda mencoba, tetapi suaminya itu tak jua menjawab. Berbagai pikiran buruk mulai menyambangi, bagaimana jika ternyata setelah membalas pesannya semalam, Fahri malah pergi dengan perempuan lain. Keyakinan bahwa suaminya adalah lelaki setia, terkalahkan dengan segala prasangka yang bergentayangan di benaknya. Setelah selesai melaksanakan salat subuh berjamaah bersama peserta pelatihan lain, Dinda buru-buru menelpon Fahri. Pikirannya tak tenang sebelum mendengar suara lelaki itu. Ada yang terasa hilang dari rutinitas paginya kali ini. Karena hampir satu tahun, Fahri lah yang menjadi alasan Dinda bangun lebih pagi. Menyiapkan sarapan dan bekal untuk suaminya, lalu mengantar Fahri ke depan rumah untuk berangkat kerja.Entah berapa kali deringan, Fahri tak jua menerima telponnya. Dinda semakin gusar. Berkali-kali pula ia mengirimkan pesan menanyakan ke mana Fahri, tetapi tak
Kegiatan Dinda di hari pertama ternyata cukup padat. Selesai olah raga pagi, mereka diberi waktu untuk bersiap-siap, sarapan, dilanjutkan dengan penyuguhan materi. Mereka hanya diberi waktu beberapa kali istirahat salat, makan, kemudian kelas materi kembali dilanjutkan. Dinda bahkan tak sempat memeriksa ponselnya. Karena waktu yang diberikan untuk istirahat hanya sedikit. Pada kelas materi terakhir diisi oleh Gibran. Selama kelas berlangsung, Dinda memperhatikan dengan serius lelaki itu menyajikan materi. Begitu luwes dan penuh percaya diri. Tak lupa wajah ramah itu selalu ia tunjukkan. Gibran dari dulu memang tak pernah berubah, senyum ramahnya masih terlihat sama. Hanya saja, perasaan Dinda yang menatap Gibran kali ini sudah berbeda. Tak ada lagi getar kuat yang dulu ia rasa setiap kali menatap wajah itu. Tak sadar Dinda mengulas senyum tipis, mengingat bagaimana dulu ia pernah begitu mendamba sosok Gibran sebagai pendampingnya. Meminta berkali-kali dalam setiap doanya, agar kelak
Akhir minggu yang Dinda tunggu pun tiba. Sejak tadi malam tidurnya tak nyenyak. Berharap Fahri benar-benar datang menemuinya. Namun, ketika jam sudah menunjukkan pukul 10.00, Fahri masih tak bisa dihubungi, pun tak memberi kabar. Ketakutan mulai menyelimuti pikiran Dinda. Jangan-jangan Priska kembali datang menemui Fahri di kantornya. Membuat Fahri kembali berpaling pada mantannya itu. Setelah sarapan tadi, Dinda kembali ke kamar, ia tak bersemangat untuk melakukan apa-apa. Yang ada dipikiran Dinda saat ini hanya Fahri, tak ada yang lain. Bahkan ajakan Nunik untuk pelesiran ke Kota Bogor ia tolak, dengan alasan suaminya akan datang. "Duh, enaknya yang punya suami," goda Nunik tadi saat Dinda menolak ajakan teman sekamarnya itu."Enak apanya, yang ada Nda kena PHP mulu," gumam Dinda menahan tangis. Akhir-akhir ini, jika menyangkut tentang Fahri, air mata Dinda mudah luruh. Setelah tinggal sendirian di kamar, Dinda memilih berselancar di dunia maya. Jemarinya iseng membuka kembali me
Saat tersadar Dinda meninggalkannya, Fahri yang juga tengah emosi akibat perjuangannya sia-sia, memilih meninggalkan tempat itu. Padahal tadi pagi ia begitu bersemangat hendak bertemu Dinda. Ia bahkan lupa membawa ponsel karena tergesa agar tak macet di jalanan. Perjuangannya tak sampai di situ, saat berada di jalan tol, dua ban mobilnya kempes secara bersamaan. Berhubung ponselnya ketinggalan ia tak bisa menghubungi mobil derek atau bantuan semacamnya. Fahri terpaksa menunggu pengguna jalan tol atau petugas patroli yang menyadari bahwa ia tengah butuh bantuan. Beruntung ada salah seorang karyawannya yang lewat mengenali mobil Fahri yang berhenti di bahu jalan, sehingga Fahri mendapat bantuan untuk memanggil mobil derek. Begitu sampai di hotel, yang ia temui malah Dinda tengah duduk berdua dengan Gibran. Hatinya benar-benar terasa panas. Sambil menggumamkan makian, Fahri beranjak ke mobilnya. Membanting pintu dengan keras. Kemudian memukul-mukul kemudi mobil untuk meluapkan amarahny
Tidak jadi makan, bertemu mantan, pikiran Fahri makin terasa kacau. Setelah memenangkan diri sesaat, Fahri kembali memutar mobilnya ke arah hotel tempat Dinda berada. Mengingat kembali tujuannya ke tempat itu. Fahri merutuki kebodohannya. Kenapa malah meninggalkan Dinda, seolah memberi celah pada Gibran untuk kembali masuk ke hati istrinya itu. "Bodoh!" umpat Fahri berkali-kali. Begitu sampai di hotel, Fahri mendatangi resepsionis. Meminta agar memanggilkan Dinda untuk turun ke lobi. Tetapi jawaban yang ia dapat sungguh mengecewakan. "Ibu Adinda sedang tidak ingin bertemu siapa-siapa, Pak.""Tapi dia ada di kamar?""Ada," balas resepsionis itu dengan senyum sumpulnya. "Boleh saya tau nomor kamarnya, Mbak?" tanya Fahri penuh harap. "Maaf, Pak. Yang bersangkutan berpesan agar tidak diganggu. Kami tidak bisa melanggar permintaan tamu." Resepsionis itu memasang wajah menyesal dengan menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Fahri mengembus napas kasar. Akhir minggu yang ia