"Mikir apa sih aku, ini!" gumam Aleena sambil memukul pelan kepalanya sendiri. Ia menggelengkan kepalanya sesekali sambil menarik napas pelan, mencoba untuk menormalkan detak jantungnya sendiri yang mendadak berdegub dengan cepat."Fokus, Aleena. Itu cuma kecelakaan. Lagipula Aksa nggak bakalan inget kok," ujarnya pada dirinya sendiri.Saat gadis itu akan berbalik, ia seketika memekik saat seorang lelaki sudah berdiri di belakangnya dengan dua tangan yang terlipat di depan dada."Juan! Ngagetin, tahu!" seru Aleena marah.Sedangkan lelaki dengan hoodie berwarna abu-abu itu hanya terkekeh. Ia melongok ke arah wastafel di mana ada mangkok juga gelas bekas Aksa beberapa saat yang lalu."Dia masih di sini?" pria itu bertanya.Aleena mengangguk sekenanya, ia kemudian berjalan ke arah meja makan dan duduk sambil memangku dagu.Juan mengikuti, ia duduk tepat di sebelah sang kawan."Iya, malah lagi sakit sekarang," jawab Aleena lirih.Omong-omong, Juan adalah tetangga sekaligus teman Aleena
Hari berikutnya saat Aleena terbangun kaget. Ia terkejut karena suara berisik seperti peralatan masak yang saling beradu.Dengan mata setengah terpejam ia menuruni tangga, sesekali menguap juga menggaruk rambutnya sendiri yang terlihat seperti singa jantan.Langkah setengah terseret ia bawa ke arah dapur, bersembunyi di balik tembok saat netranya tanpa sengaja melihat sosok pemuda berbahu lebar tengah berkutat dengan peralatan dapur. Tentu saja Aleena tahu siapa sosok lelaki dengan punggung tegap itu, ia adalah Aksa.Namun yang membuatnya merasa heran, sedang apa pria itu pagi-pagi sekali ada di dapur. Memangnya ia sudah baikan?"Kemari saja dan cicipi masakanku," kata pria itu tiba-tiba.Ia masih sibuk berkutat dengan beberapa makanan di depannya, berbalik dengan celemek abu-abu yang menggantung di tubuh tetapnya juga dua mangkok berisi makanan di masing-masing tangan.Untuk sejenak Aleena terdiam. Melihat Aksa dalam balutan celemek membuat pria itu terlihat berbeda.Maksudku, sudah
"Aleena! Aksa!"Wanita baya itu berseru. Dua manusia lainnya memisahkan diri dengan cepat, Aleena segera merapikan rambutnya dan Aksa hanya bisa berdeham sambil memalingkan wajah ke arah lain."Apa yang sudah kalian lakukan? Ibu meninggalkan kalian belum lama dan kalian sudah berbuat…."Perkataan wanita baya itu menggantung. Namun dilihat dari ekspresinya saja Aleena sudah mengerti dengan teramat jelas apa yang Ibunya maksud.Ia menggeleng dengan segera, juga menggoyangkan tangan dengan gestur penolakan dan membentuk tanda silang di depan dada.Membantah mentah-mentah apa yang jadi asusmsi wanita yang melahirkannya sekarang ini."Tidak, bu. Sungguh kami tidak melakukan…"Belum selesai Aleena menjelaskan, Aksa sudah menyela lebih dulu. Dengan gaya sok pahlawan (ini menurut Aleena) pria itu mengambil tempat ke depan si wanita. Membuat Aleena bisa mengukur tinggi badannya yang hanya sampai bahu Aksa saja."Maafkan saya, Bu. Semuanya adalah kesalahan saya, jadi biarkan saya bertanggung j
Bisa Aleena dengar bisik-bisik tapi berisik yang dilakukan oleh beberapa tamu undangan. Beberapa di antara mereka (yang kebanyakan perempuan) menyanjung apa yang dilakukan Aksa.Sedangkan pria yang saat ini tengah menyimpan sepatu heelsnya di dekat kursi pelaminan tersenyum tipis ke arah sang istri yang justru menatapnya ganas.Aleena justru berpikiran jika Aksa tengah cari muka di hadapan para tamu undangan.Acara hari itu berjalan lancar juga khidmat. Aleena yang sudah merasa teramat lelah menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang.Ia yang semula memejamkan mata dengan damai seketika melotot saat mendengar suara gemericik dari arah kamar mandi.Gadis itu segera bangkit dan menatap horor ke arah pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Haruskah ia kabur lagi dan membawa Coco turut serta? Atau ia bisa saja mengancam Aksa untuk menceraikannya dengan segera. Oh, mengambil langkah ekstrem, bagaimana dengan mengadukan kelainan Aksa pada orang tuanya?Tunggu,
"Apa maksud kamu?"Aleena menyemprot Kasa dengan pertanyaan menyentak. Pria yang tengah mengemasi bajunya itu menoleh dengan satu alis terangkat."Apa?" tanya nya.Aleena mendengkus. Ia bersedekap dan menatap Aksa dengan galak."Apa maksud kamu dengan mengatakan akan membawaku ke rumahmu? Dalam Perjanjian tidak ada kata-kata untuk pindah dari rumah ini, kau tahu.""Memangnya aku pernah berjanji? Sudahlah, lebih baik kamu kemasi saja barang-barang mu, kita akan berangkat tidak lama lagi," sahut Aksa.Aleena menghembuskan napas tidak percaya, ia kemudian merebut baju yang hendak Aksa masukan ke dalam tasnya. Bermaksud agar pria itu memusatkan perhatian dan mendengarkan apa yang akan dirinya katakan. Namun sepertinya Aksa memiliki tanggapan berbeda.Pria itu menghela napas, menatap perempuan yang kini berstatus istrinya itu sebentar sebelum berusaha merebut kaus berwarna hitam dari dalam genggamannya.Karena Aleena yang tidak kunjung memberikan kaus tersebut, membuat Aksa mau tidak mau
Aksa kian mendekatkan tubuhnya, pria itu menyunggingkan senyum miring yang terlihat begitu menyebalkan di mata Aleena."Mundur! Atau aku akan berteriak!" seru si wanita keras.Bukannya menurut, Aksa justru terkekeh kecil dan kian semangat mendekatkan tubuhnya. Suasana saat itu begitu mencekam layaknya film horor bagi Aleena.Jarak diantara mereka hanya tersisa sejengkal, dan Aksa justru memajukan wajahnya hingga membuat sang istri memejamkan mata secara otomatis.Lama keduanya dalam posisi itu, hingga kemudian Aleena bisa mendengar suara kekehan kecil si pria yang perlahan mulai mengeras.Aleena membuka mata, dan hal yang pertama kali ia lihat adalah wajah Aksa yang tengah tertawa.Jujur saja pria itu terlihat cukup manis saat tertawa, terlebih cekungan pada pipi sebelah kirinya yang membuat kesan tersendiri.Melihat Aleena yang termenung, tersemat ide jahil di kepala Aksa. Ia dengan segera mengangkat tubuh sang istri ala bridal style dan menjatuhkannya di atas ranjang.Belum sempat A
"Kamu kenapa?" Aleena bertanya dengan mata mengedip. Pasalnya, setelah Aksa mendengar perkataan Aleena soal bulan madu, pria itu jadi terdiam dan urung menyantap makanan di depannya.Padahal sebelumnya ia begitu lahap."Apa yang kamu bilang tadi? Bulan madu?" ulang Aksa dengan nada tidak yakin.Aleena mendengkus, ia mengangguk-angguk kan kepala tanpa minat."Iya. Bukankah wajar saat pengantin baru melakukan bulan madu?" "Tidak, bukan begitu. Hanya saja, bukannya kemarin-kemarin kamu begitu keras menolak untuk menikah denganku? Dan kamu juga melakukan semuanya demi Coco. Tapi sekarang, kamu berencana melakukan bulan madu?"Aksa masih tidak habis pikir. Apa yang dilakukan Aleena sekarang seperti berbanding terbalik dengan apa yang diperbuatnya sebelumnya."Kemarin ya, kemarin. Sekarang ya, sekarang. Setelah ku pikirkan lagi, memiliki suami kaya seperti mu bukan hal buruk. Setidaknya aku harus mendapat keuntungan dari pernikahan ini, bukan?"Alis Aksa menukik. Keuntungan?"Biar ku perj
Aksa melotot. Sesuatu dalam dadanya serasa ditalu, berdetak begitu cepat saat benda kenyal juga basah itu menempel pada bibirnya.Pria itu segera beranjak, ia memegangi bibirnya sendiri selama beberapa waktu dan mengalihkan pandangannya ke arah Aleena yang syukurnya masih terlelap nyaman dalam tidurnya.Pria itu menghela napas lega. Ia kemudian melangkah ke luar kamar dengan segera.Setelah kepergian Aksa, Aleena membuka mata dengan perlahan. Ia yang memang pada dasarnya sudah terbangun semenjak Aksa mulai mendekatkan wajahnya itu sontak terduduk.Ia menatap ke arah pintu, menarik napas dan menghembuskannya pelan."Harusnya dia tidak seperti itu. Jika memang tidak menyukaiku tidak perlu sampai bersikap seolah aku adalah virus yang harus dijauhi!" gerutunya."Kan masih bisa berteman," sambungnya.Ia mendengkus, merasa kesal dengan apa yang dilakukan Aksa beberapa saat lalu. Bukannya dia yang mendekat lebih dulu, lalu kenapa dia yang juga tiba-tiba menjauh dan bersikap seolah dirinya a