"Kamu kenapa?" Aleena bertanya dengan mata mengedip. Pasalnya, setelah Aksa mendengar perkataan Aleena soal bulan madu, pria itu jadi terdiam dan urung menyantap makanan di depannya.Padahal sebelumnya ia begitu lahap."Apa yang kamu bilang tadi? Bulan madu?" ulang Aksa dengan nada tidak yakin.Aleena mendengkus, ia mengangguk-angguk kan kepala tanpa minat."Iya. Bukankah wajar saat pengantin baru melakukan bulan madu?" "Tidak, bukan begitu. Hanya saja, bukannya kemarin-kemarin kamu begitu keras menolak untuk menikah denganku? Dan kamu juga melakukan semuanya demi Coco. Tapi sekarang, kamu berencana melakukan bulan madu?"Aksa masih tidak habis pikir. Apa yang dilakukan Aleena sekarang seperti berbanding terbalik dengan apa yang diperbuatnya sebelumnya."Kemarin ya, kemarin. Sekarang ya, sekarang. Setelah ku pikirkan lagi, memiliki suami kaya seperti mu bukan hal buruk. Setidaknya aku harus mendapat keuntungan dari pernikahan ini, bukan?"Alis Aksa menukik. Keuntungan?"Biar ku perj
Aksa melotot. Sesuatu dalam dadanya serasa ditalu, berdetak begitu cepat saat benda kenyal juga basah itu menempel pada bibirnya.Pria itu segera beranjak, ia memegangi bibirnya sendiri selama beberapa waktu dan mengalihkan pandangannya ke arah Aleena yang syukurnya masih terlelap nyaman dalam tidurnya.Pria itu menghela napas lega. Ia kemudian melangkah ke luar kamar dengan segera.Setelah kepergian Aksa, Aleena membuka mata dengan perlahan. Ia yang memang pada dasarnya sudah terbangun semenjak Aksa mulai mendekatkan wajahnya itu sontak terduduk.Ia menatap ke arah pintu, menarik napas dan menghembuskannya pelan."Harusnya dia tidak seperti itu. Jika memang tidak menyukaiku tidak perlu sampai bersikap seolah aku adalah virus yang harus dijauhi!" gerutunya."Kan masih bisa berteman," sambungnya.Ia mendengkus, merasa kesal dengan apa yang dilakukan Aksa beberapa saat lalu. Bukannya dia yang mendekat lebih dulu, lalu kenapa dia yang juga tiba-tiba menjauh dan bersikap seolah dirinya a
Aksa melotot. Sesuatu dalam dadanya serasa ditalu, berdetak begitu cepat saat benda kenyal juga basah itu menempel pada bibirnya.Pria itu segera beranjak, ia memegangi bibirnya sendiri selama beberapa waktu dan mengalihkan pandangannya ke arah Aleena yang syukurnya masih terlelap nyaman dalam tidurnya.Pria itu menghela napas lega. Ia kemudian melangkah ke luar kamar dengan segera.Setelah kepergian Aksa, Aleena membuka mata dengan perlahan. Ia yang memang pada dasarnya sudah terbangun semenjak Aksa mulai mendekatkan wajahnya itu sontak terduduk.Ia menatap ke arah pintu, menarik napas dan menghembuskannya pelan."Harusnya dia tidak seperti itu. Jika memang tidak menyukaiku tidak perlu sampai bersikap seolah aku adalah virus yang harus dijauhi!" gerutunya."Kan masih bisa berteman," sambungnya.Ia mendengkus, merasa kesal dengan apa yang dilakukan Aksa beberapa saat lalu. Bukannya dia yang mendekat lebih dulu, lalu kenapa dia yang juga tiba-tiba menjauh dan bersikap seolah dirinya a
Aleena mematut diri sekali lagi di depan cermin. Mengoleskan perona bibir sekali lagi dan merapikan rambutnya yang sengaja ia curly.Gadis itu tersenyum, memastikan penampilannya untuk yang terakhir sebelum bergumam.“Aku cantik, aku pintar, aku beruntung. Aku bisa melakukan semuanya tanpa harus merepotkan siapapun.”Afirmasi yang hampir tiap hari ia gumamkan agar selalu percaya diri dalam menghadapi hari. Aleena kemudian berjalan, menyambar tas selempang yang tergeletak di ranjang dan berjalan menuruni anak tangga.Hari ini ia ada janji. Bertemu dengan salah satu rekan kerja yang kebetulan menawarkan kerja sama.Langkah kaki Aleena sempat terhenti. Ia menatap ke arah piano yang ada di rumahnya selama beberapa saat sebelum kemudian berlalu.Manggo Cafe. Aleena menunggu sang rekan dengan sabar, sesekali ia mengecek ponsel juga penampilan.Sampai tidak lama kemudian seorang lelaki tinggi berjalan pelan menghampirinya dan duduk tepat di hadapan gadis itu.“Sorry telat. Tadi macet,” pria
Suasana saat itu hening. Bahkan suara debur ombak juga burung-burung yang terbang di atas langit senja seolah tidak lagi terdengar di telinga Aksa.Pria itu sibuk memperhatikan Aleena yang juga tengah menatap ke arahnya dengan tatapan sendu. Mata serta hidung gadis itu memerah.“Menikah? Bukannya kita sudah menikah?”Pertanyaan spontan Aksa merubah suasana seketika. Aleena menghembuskan napas kasar dan memalingkan wajah. Sementara Aksa terlihat kebingungan.“Aku tidak tahu kamu sebodoh itu. Ku pikir kamu sudah tahu maksud ku.”Aksa menggaruk tengkuk. Berpikir sejenak, mengira-ngira apa maksud gadis di sebelahnya ini.Tidak mungkin bukan jika Aleena mengajaknya untuk benar-benar menjalani pernikahan sesungguhnya. Maksudku, pernikahan yang terjadi di antara mereka sebelumnya adalah hasil ketidaksengajaan juga kesalahpahaman. Lalu, pernikahan macam apa yang ia maksud sekarang?“Aku ingin kita menjalani pernikahan yang sesungguhnya. Bukan karena paksaan, kerja sama ataupun kesalahan. Aku
Mengikuti kemana arah pandangan Aksa, dengan cepat Aleena menutup area atas dan bawah tubuhnya dengan dua tangan. “Apa yang kamu lakukan di kamarku?!!” teriak Aleena kencang.Wajahnya terlihat merah padam akibat malu bukan main.Sadar dengan situasi, Aksa kemudian membalikkan tubuhnya. Ia berdeham sebentar sebelum menjawab pertanyaan Aleena dengan menunjuk ke arah di mana ia meletakkan tas milik gadis itu.Melihat Aleena yang masih saja bersungut-sungut kesal, Aksa kemudian berbalik. Tapi baru sedetik pria itu membalikkan badan, si gadis sudah berteriak kembali.“Jangan berbalik! Tetap seperti itu!” titahnya.Aksa menghela napas. Ia kemudian berkata.“Aku harus keluar karena kamu harus berganti pakaian. Dan satu-satunya jalan untuk sampai ke pintu keluar ya dengan melewati kamu. Atau kamu mau saya tetap di sini selama kamu ganti baju?” Bukannya menenangkan, Akksa justru memancing rasa kesal Aleena. Oh, lihat saja. Wajah gadis itu kian memerah, sudah dipastikan rasa kesalnya mencapai
“Oma, Anya?”Aleena menelan ludah dengan gugup. Tiba-tiba saja napasnya seperti tercekat dengan degub jantung yang berdetak hebat.Kenapa wanita baya itu ada di sana? Duduk diam dengan tatapan tajam juga aura mematikan yang seolah ditujukan untuknya.Bukankah Aksa bilang jika yang akan berkunjung hanya ibunya saja. Tapi ini apa?“Mau sampai kapan kamu berdiri di situ?” suara Oma Anya terdengar dingin dan ketus.“Oh, iya.”Aleena yang seolah tersadar segera beranjak mendekat, menyalami dia orang tua di hadapannya dan tersenyum kikuk.“Mama sama Oma apa kabar? Seharusnya bilang aja kalau mau datang, biar Aleena bisa jemput,” ucap Aleena memulai percakapan.“Baik, sayang. Nggak perlu repot-repot, kata Aksa kamu juga kan kerja.” Aleena mengangguk saja membenarkan.Kemudian wanita yang mengenakan terusan berwarna cream itu tersenyum. Dan menyeka sedikit keringat yang rupanya mengalir di dahi Aleena karena rasa gugup.“Kamu pasti capek baru pulang, mau Ibu buatin minum, sayang?”Cepat-cepat
Aksa dengan segera menyodorkan segelas air pada Aleena yang kemudian ia minum hingga setengah. Wanita itu sempat melirik ke arah Aksa dengan ekspresi aneh, seperti memintanya untuk mengambil alih suasana.“Kami belum kepikiran sampai ke sana, Oma. Lagipula urusan anak kami pasrahkan saja pada Tuhan. Biar berjalan sesuai apa adanya,” jawab Aksa sekenanya.“Tapi jika dilihat dari reaksi Aleena tadi, sepertinya dia nggak mau buru-buru punya anak, ya?”Aleena menghela napas lirih. Ia mengunyah makanan di mulutnya dengan amat sangat lambat, cukup merasa kesal juga dengan perkataan yang baru saja terlontar dari mulut Oma Anya.Setelah menelan makanan dengan setengah tertahan, Aleena menghembuskan napas. Coba memberanikan diri untuk menatap wanita baya yang duduk tepat di hadapannya itu.“Maaf jika aku lancang, Oma. Tapi seperti apa yang sudah dikatakan Aksa tadi. Untuk urusan momongan kita tidak mau terlalu memaksa, kami hanya akan mengikuti kehendak Tuhan saja,” jawabnya berusaha terdenga