Seren mulai gundah karena tidak bisa mendapatkan hati Bowo. Malah ia merasa terabaikan oleh pria itu. Ia gegas menemui Frans yang dilihatnya berada di parkir mobil. Wanita itu berlari sebelum pria dengan jaket coklat itu masuk ke mobil. Ada hal yang akan dibicarakan. “Frans tunggu,” ujar Serena. Frans mengernyitkan dahi melihat Serena berlari dengan kencang. Napasnya masih tersengal-sengal saat sampai dihadapan pria itu. “Aku mau bicara.” “Di dalam saja!” titah Frans. Serena masuk ke mobil, sudah pasti Frans bisa menebak apa yang akan dibicarakan oleh Serena kali ini. Pria itu gegas meminta wanita itu cepat berbicara. Dirinya malas berbasa-basi hal yang tidak penting. “Frans, kenapa kamu kabur dari pernikahan itu?” tanya Serena. “Karena aku nggak siap. Aku belum siap menikah, Ser.” Frans menjawab cepat. “Bagaimana kamu bilang nggak siap.Aku sudah mengorbankan diri, membantu kamu agar bisa tidur dengan Alexa. Kenapa kamu sia-sia, kan? Bukannya kamu mencintai Alexa?” Serena ter
Di rumah sakit yang sama Pak Hardi—ayah Joan di rawat karena penyakit yang sudah lama dideritanya. Pria dengan perut buncit itu masih saja mengeluh sakit saat Dokter memeriksanya. “Kapan saya sembuh, Dok. Bosan disini, saya nggak bisa main golf,” tutur Pak Hardi. “Sabar, Pak. Sebentar lagi juga sehat, mau kegiatan apa pun pasti bisa dilakukan. Asal Bapak makanan dan minumannya di jaga dan tidak lupa meminum obat teratur.” Penjelasan Doktermembuat Bu Delima—istri Pak Hardi menatap sang suami agar mendengarkan apa. penjelasan sang Dokter. Akhir-akhir ini Pak Hardi seperti menerobos pantangan. Seperti tidak peduli dengan kesehatannya. Kolesterol yang sudah menjadi langganan penyakitnya sering membuat ia kewalahan. Namun, tetap saja tak pernah memantang makanan bersantan dan berminyak. Dokter pamit berkunjung ke ruangan lain, Sesil masuk setelah menelepon Joan. Menghampiri pria itu dengan senyum. “Sudah kamu telepon Abangmu?” tanya Bu Delima. “Sudah, Tan. On the way kayanya, s
"Sudahlah kamu juga enggak akan mengerti. Ini masalah pribadi. Ayo masuk lagi, aku mau pamit." Joan masuk kedalam lagi, dia tak bisa berlama-lama di ruangan itu karena malas pasti membahas masalah tidak penting. Aku ada urusan, tapi dengarkan Joan baik-baik. Jangan menjodohkan Joan dengan siapa pun karena saya sudah memiliki wanita yang terbaik. Nanti saya kenalkan pada kalian.” Terpaksa Joan mengaku pada kedua orang tua. Pikirannya kini hanya ada wajah Alexa dan kebahagiaan mereka. Tidak peduli dengan perjodohan itu, Joan kembali bergeming. Tidak mungkin ia mengenalkan Alexa pada kedua orang tuanya saat ini karena kehamilannya. Mungkin nanti setelah melahirkan, atau bisa saja akui jika anak Alexa adalah darah dagingnya. “Jangan bercanda, pernikahan kamu dengan Felisia akan lebih memperkuat bisnis papa. Perusahaan kita akan lebih maju dengan kekuatan bisnis papa Felisia!” hardik Pak Hardi. “Ya, sudah. Papa saya yang menikah dengan Felisia!” Joan kembali mengeluarkan suara.
“Bagaimana keadaan istri saya Dok?”tanya Joan saat melihat Dokter ke luar dari ruang UGD. “Anda suaminya?” “Iya.” “Istri Anda mengalami keguguran. Sebenarnya bayinya tidak berkembang, terlihat dari ukuran atau berat dan umur janin di dalam rahim tidak sesuai. Kita harus menjalani kuretasi. Jika setuju bisa tanda tangan di bagian administrasi.” Penjelasan Dokter membuat pria tampan itu bimbang. Joan bingung harus melakukan apa, untung saja Bu Maria datang tepat waktu. Dia pun mengikuti apa yang disarankan ibu mertuanya. “Cepat tanda tangan saja.” Bu Maria menginterupsi sang menantu. Joan langsung menuju ruangan administrasi untuk mengurus semua kebutuhan Alexa. Lalu, setelah selesai ia kembali menemui ibu mertuanya. “Bagaimana bisa Alexa keguguran?”tanya Maria. “Saya tidak tahu, saat saya pulang, keadaan Alexa sudah pingsan dan berlumuran darah. Langsung saya bawa ke UGD.” Joan kembali menceritakan jika memang janin dalam rahim Alexa tidak berkembang. Bu Maria menyes
Bu Maria keluar dengan perasaan kesal, Joan berani sekali melawannya dan mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan. Setelah sang ibu keluar, Alexa merasa tidak enak dengan Joan dan menghampiri suaminya. Berharap Joan tidak sakit hati dengan ucapan sang ibu. “Mama sedang emosi. Jangan masukan kehati, Jo.” Alexa sedikit berbicara untuk meredakan emosi sang suami. Joan mengusap wajah kasar, entah mengapa sikap sang mertua berubah drastis setelah ia menjadi menantunya. Sebelum menikah dengan Alexa, Bu Maria sangat baik sampai ia merindukan sosok ibunya. “Mungkin Mama kamu berpikir saya akan mengambil harta keluarga kamu. Demi Allah, saya tidak berniat sama sekali dengan harta kamu, Lex.” Joan menatap wajah sang istri, berharap wanita itu percaya dengan apa yang dikatakannya. Alexa percaya dengan penuturan Joan. Bahkan ia merasa memang Joan tulus menikahinya. “Saya mencintai kamu,” ujar Joan. “Tapi aku nggak cinta sama kamu, Jo.Aku nggak pantas untuk kamu,” tutur Alexa. Tidak a
"Kenapa Jo?" tanya Alexa. Joan tak menjawab, sebenarnya dia malas mengantar Alexa untuk ke kampus mengurus cuti kuliah. Dia berpikir pasti akan bertemu dengan Frans juga Bowo. Dia pria yang membuatnya jengkel. Yang satu mantan kekasihnya, yang satu sahabat yang sok jadi pahlawan kesiangan. Alexa menunggu jawaban pria itu, tapi Joan tetap saja tidak bergerak dari tempat duduknya. "Mau nganter enggak?" tanya Joan lagi. Walaupun dia mengatakan tidak akan mengantar, Alexa pun bisa nekad pergi sendiri. Hal itu tidak mungkin bisa dibiarkan olehnya. Bisa-bisa nanti Alexa terpengaruh oleh Frans lagi atau malah bersama Bowo. "Pak suami, jadi enggak atau ---" "Iya aku antar, tapi sebenarnya menurut saya kalau yang mengurus biar saya sendiri. Kamu kan baru habis kuret, dan harus banyak istirahat." Joan mencoba mencari alasan agar Alexa tak jadi pergi ke kampus. "Jo, jangan aneh-aneh deh. Aku sudah sehat, lagian naik mobilkan enggak motor. Ke kampus doang abis itu pulang. Ayo, Jo
Bowo menarik Frans menjauh dari Alexa. Di sebuah toilet dan dia pun memastikan tidak ada yang mendengar perdebatan mereka. Keduanya beradu argumentasi dan pada akhirnya hantaman keras mengenai perut Bowo. Frans begitu emosi dan tak bisa menahan kemarahannya. “Pukul aja sesuka lu! Tapi ingat, ada gua yang bakal melindungi Alexa dari manusia biadab seperti lu!” “Jangan jadi pahlawan kesiangan lu,Bow. Dia juga nggak akan suka sama lu,” ujar Frans. Bowo tersenyum sinis sembari mencoba bangkit. Pria itu memandang Frans dengan tatapan membunuh. “Setidaknya dia menikah dengan pria yang tepat,” ujar Bowo. “Lu jangan lupa, kalau di perutnya ada anak gua. Gua bisa saja mengambilnya.” Frans dengan percaya diri mengatakan hal itu. Bowo tidak lupa hal itu, tapi setidaknya keluarga Alexa pun tidak akan bodoh membiarkan Alexa memberikan anak mereka. “Terserah, lu!” Bowo beranjak keluar. Belum saja keluar di sudah di tunggu Seren. Seperti biasa, wanita itu selalu mencari alasan untu
Alexa menggigit bibir bawah, dia tahu sangat sakit pastinya saat Joan mendengar apa yang keluar dari mulutnya. Tapi, hanya itu yang bisa membuat Joan melepaskan dirinya. Sesampainya di rumah, Joan langsung masuk tanpa mengajak Alexa masuk. Sepertinya ia kecewa dengan sikap Alexa kali ini. Pria itu langsung memasuki dapur dan meminta dibuatkan kopi oleh Bi Rumin. Alexa melihat sang suami seperti itu merasa bersalah. Namun, ia pun tidak bisa memungkiri jika memang perkataan sang ibu benar. Alexa langsung masuk ke kamar tanpa menunggu Joan. Bi Rumin menyediakan kopi di meja Joan. Wanita yang sudah lama bekerja di rumah keluarga Alexa itu bisa membaca situasi tidak baik dengan hati suami anak majikannya. “Jo, eh Mas Joan kenapa suntuk?” tanya Bi Rumin. “Bi, panggil saya seperti biasa saja. Joan saja,” pinta Joan Joan langsung meminum kopi yang dibuatkan Bi Rumin. Sejenak ia melepaskan penat, tapi masih saja terbayang permintaan cerai dari Alexa. Menikahi Alexa adalah kebahagia