Mahesa menatap Riana, dan Riana langsung kembali menggelengkan kepalanya dengan tegas.“Tetap tidak boleh, Kenzie. Papa Mahesa tidak boleh menginap di rumah kita. Sebaiknya biarkan saja dia menunggu hujannya agak reda,biar dia bisa pulang dan membawa mobilnya ke bengkel,” kata Riana yang kemudian membuat Kenzie kembali menghembuskan napas kecewa.“Mama tega sekali. Dia mau Papa pulang, padahal hujannya sangat deras di luar sana.” Kenzie memanyunkan bibir.“Sudahlah, Papa tidak apa-apa. Lagipula Papa memang sudah berniat akan pulang kok. Jadi, jangan cemas. Oke?” Kenzie mengangguk, kemudian Mahesa memeluknya.Riana menatap dua lelaki berbeda generasi itu yang saat ini sedang berpelukan. Hatinya sebenarnya merasa tidak tega juga pada Mahesa.Riana tahu sederas apa hujan di luar sana.Namun, ada janji pada Aram yang harus ia pegag teguh. Juga Mahesa bukankah suaminya, tidak akan baik rasanya jika lelaki itu menginap di rumahnya meski hanya satu malam.Sampai kemudian Mahesa mendapat telp
“Kita akan pergi ke mana? Kau belum memberitahuku ke mana kau akan membawaku, Mahesa?” tanya Riana pada Mahesa yang saat ini sedang sibuk mengemudikan mobilnya. Sembari matanya lurus menatap pada jalanan yang terhampar di depan sana.“Mahesa? Ke mana hilangnya panggilan ‘tuan’ seperti saat kau memanggilku ‘tuan’ di restoranku?” Mahesa menoleh, melempar senyum mengejek.Riana memutar bola mata.“Aku hanya memanggilmu ‘tuan’ saat kita sedang berada di area restoran. Tapi sekarang aku tidak sedang bekerja, jadi aku tidak perlu seformal itu.”“Wow. Aku senang dengan sikapmu yang berterus terang, Riana,” ejek Mahesa lagi.“Terserah kau saja. Kau belum menjawabku, kau mau mengajakku pergi ke mana?” Riana melipat kedua tangannya di depan dada.Sementara matanya menyipit pada Mahesa.Bukannya menjawab, Mahesa malah mengedikan bahu.“Kau akan tahu sendiri setelah kita sampai di tempat itu.”Alhasil, bibir Riana manyun lima senti karena lelaki di sampingnya masih saja merahasiakan ke mana dia a
Malam ini, Riana diantar pulang oleh Mahesa dikarenakan tidak ada satu pun angkutan umum yang lewat saat Riana sudah menunggu di pinggir jalan selama nyaris setengah jam.Dan kini, mobil Riana sampai di depan pelataran rumah wanita itu.“Terima kasih sudah mengantarku pulang,” ucap Riana sambil membuka sabuk pengaman yang membelit perutnya.“Terima kasih juga karena sudah menemaniku ke panti asuhan hari ini,” balas Mahesa, seraya melemparkan senyum manisnya pada Riana.Riana terdiam. Enggan membalas senyum itu. Sebab, entah mengapa jantungnya malah terus berdetak cepat tak karuan.Mereka berdua pun sama-sama turun dari mobil. Kening mereka berkerut melihat Kenzie yang keluar dari rumah dan berdiri di depan pintu sambil berpangku tangan.“Mama dan Papa habis darimana?” tanya bocah itu yang lantas menumbuhkan kernyitan di alis orang tuanya.“Darimana apanya? Tentu saja Mamamu baru pulang dari restoran tempat kerjanya,” jawab Mahesa.“Tapi saat aku akan pulang sekolah, aku mendengar ayah
Riana akan menolak, namun Kenzie malah menggoyangkan tangannya dan memohon.“Mama ikut naik juga ya! Aku mau dengan Mama. Mau ya, Ma,” pinta Kenzie.Wajah memohon bocah itu tentu saja membuat Riana tak tega melihatnya.Meski tidak ingin, akhirnya Riana pun menganggukan kepala sembari mengusap rambut Kenzie yang hitam legam.“Oke, Mama akan naik juga.”“Horee!” Kenzie berseru senang. Sementara Mahesa mengusap dadanya seraya menghembuskan napas lega.*** Tiba saatnya giliran mereka naik bianglala yang tingginya cukup membuat detak jantung Mahesa berdegup tak karuan itu. Mahesa dan Riana naik di kursi bianglala yang sama. Sementara Kenzie berada di tengah-tengah mereka. Ketiganya telah mengenakan sabuk pengaman agar tidak ada yang jatuh.“Kenapa wajah Papa pucat sekali? Bianglalanya ‘kan belum berputar.” Kenzie bertanya, menoleh ke arah wajah ayahnya yang tampak tegang dan pucat pasi.“Eh, siapa yang pucat? Papa biasa saja. Itu hanya perasaanmu.”“Serius Papa tidak akan turun? Nanti k
“Jika ingin menghabiskan waktu berdua dengan Kenzie, apakah ibunya juga harus ikut?” tanya Nessie sambil berpangku tangan dan kembali melirik sinis ke arah Riana.Riana hanya berdiri dan memasang wajah datar saat Nessie melangkah menghampirinya.“Oh, aku tahu. Riana pasti memanfaatkan kesempatan saat dia jauh dari Aram agar bisa berdekatan denganmu. Riana sendiri yang memaksa ikut denganmu, ‘kan?” tuduh Nessie. “Memang dasar wanita murahan,” cetus Nessie akhirnya.“Nessie, jaga bicaramu!” Mahesa kesal, mengacungkan telunjuknya di depan wajah Nessie.“Jika bukan murahan, lalu apa? Wanita penggoda?” “Nessie, cukup! Kau memang tidak bisa jika tidak berdebat dengan orang lain. Ayo! Lebih baik kita pulang saja!” Mahesa menarik tangan Nessie dan meminta wanita itu masuk ke dalam mobilnya.“Mahesa, biarkan aku bicara dulu dengan wanita itu. Aku belum puas bicara dengannya.” Nessie berteriak. Tapi Mahesa tak memperdulikan teriakannya.“Bawa saja mobilnya, Nessie biar pulang denganku,” kata M
Malam hari, bukannya tidur, Riana malah senyum-senyum sendiri sambil memandangi sebuah foto yang ia masukkan ke dalam bingkai pigura. Itu adalah foto Mahesa, dirinya dan Kenzie saat di atas panggung."Harusnya aku tidak boleh merasakan perasaan ini. Aku tidak boleh jatuh cinta pada Mahesa karena masing-masing dari kami sudah memiliki pasangan. Tuhan, kenapa aku harus memiliki perasaan terhadapnya yang tidak mungkin bisa kumiliki," ucap Riana dalam hati.Menggelengkan kepala, Riana lalu memutuskan untuk menaruh bingkai foto itu di atas nakas yang terletak di samping tempat tidur Kenzie. Riana tidak mau lagi menatapnya.Setiap kali dirinya melihat foto saat ia nyaris berciuman dengan Mahesa di atas panggung, debar di dalam dadanya makin menguat."Bahkan aku tidak pernah merasa perasaan seperti ini saat berada di samping Aram. Aram sedang ada di Jerman, aku harus menjaga hatiku untuknya. Sebisa mungkin aku harus membuat hatiku jatuh cinta pada Aram karena dialah yang akan menjadi suami
Setelah selesai, Kenzie pun berseru senang dan menutup buku tugasnya."Terima kasih Ma, terima kasih Pa, sudah membantuku menyelesaikan tugas dari ibu guru.""Sama-sama, sayang." Riana mengusap kepala Kenzie, tersenyum melihat putranya yang tak terasa sudah sebesar itu. "Sore nanti Mama masak nugget kesukaanku kan?" Kenzie bertanya pada Riana.Sementara Riana langsung menepuk jidat."Ya ampun, Mama lupa beli nugget kesukaan Kenzie. Maaf, sayang. Tadi pagi Mama pergi ke supermarket, harusnya Mama juga beli nugget itu, tapi sampai di sana Mama malah lupa." Kenzie mendesah kecewa.Sudah sejak kemarin ia berpesan pada Riana untuk di masakan nugget kesukaannya."Ya sudah, tidak apa-apa Ma. Lain kali saja. Mama kan lupa, tidak sengaja." "Nuggetnya beli di supermarket yang dekat dari sini kan? Kalau begitu, biar Papa saja yang belikan." Mahesa berkata.Membuat bola mata Kenzie berbinar senang."Serius, Pa?" Mahesa mengangguk, lalu mengusap pipi putranya. "Kau bereskan dulu semua bukumu
Setelah transfusi darah itu, keadaan Kenzie berangsur membaik. Hati Mahesa an Riana sama-sama mendesah lega karena anak semata wayang mereka kini telah sadarkan diri.“Kubilang juga apa. Kenzie itu anak hebat. Dia akan baik-baik saja,” kata Mahesa sambil duduk di samping ranjang Kenzie dan tersenyum pada bocah kecil itu yang saat ini sudah sadarkan diri.Riana mengangguk tersenyum. Kemudian menciumi tangan Kenzie sembari menggenggam tangan mungil itu.“Mama kok menangis?” Kenzie mengernyitkan alis melihat Riana yang mengusap pipinya yang basah.“Mamamu takut kau kenapa-kenapa. Dia sangat mengkhawatirkanmu,” jawab Mahesa.“Mama jangan menangis. ‘Kan sekarang aku sudah sembuh. Aku baik-baik saja Ma. Jangan khawatir,” ucap bocah itu dengan polosnya.Riana mengangguk. “Iya sayang. Mama terlalu takut saat terjadi hal buruk pada Kenzie. Makanya Mama menangis. Lain kali, Kenzie harus hati-hati ya. Jangan sampai kejadian seperti ini terulang lagi.” Kenzie menganggukan kepala. Bocah itu sudah