Berhari-hari kemudian, Aram sudah diperbolehkan untuk pulang ke rumahnya.Kenzie pun telah tahu soal apa yang menimpa Aram. Tentu saja bocah itu lagsung menangis setelah mengetahui bahwa Aram tak bisa berjalan lagi.“Tidak apa-apa, Om. Nanti kalau Om sudah terapi dan kaki Om sudah bisa jalan lagi, kita akan lomba lari.” Aram tersenyum mendengar Kenzie yang menghiburnya.Kini, mereka sedang berada di ruang keluarga yang ada di rumah Aram. Riana sibuk membantu memasak di rumah itu, kemudian menghidangkannya di atas meja makan.Setelahnya, Riana menghampiri Aram sambil memberikan secangkir teh hangat.“Hati-hati. Tehnya masih panas.”“Terima kasih, Riana.” Aram menerimanya sambil melempar senyum tipis.Riana mengangguk, tersenyum dan duduk di sofa yang ada di samping kursi roda yang Aram duduki.Perlahan Aram menyesap teh itu, kemudian ia tersenyum.“Apa pun yang dibuat oleh tanganmu selalu terasa enak,” komentar Aram. Riana tersenyum lagi. Sementara Kenzie berlari ke mobil Aram untuk
Kenzie tersenyum lebar saat mobil Mahesa berhenti di hadapannya.Mahesa menurunkan kaca mobilnya dan membalas senyum sang anak.“Sudah lama menunggu, Tuan kecil?” tanya Mahesa, bercanda.“Lumayan.”“Maaf. Tadi Papa bertemu klien dulu.”“Tidak apa-apa. Papa jadi mau ajak aku jalan-jalan ke taman kota, ‘kan?” tanya Kenzie, melebarkan senyumnya. Mahesa tertawa pelan saat bocah itu masih saja mengingat janji yang ia ucapkan.Ya! Kemarin saat Kenzi mengeluh bosan dan ingin jalan-jalan ke suatu tempat berdua saja dengan Mahesa, Mahesa pun menyanggupi dan berjanji akan mengajak bocah itu jalan-jalan sambil makan es krim di dekat air mancur.“Of course. Tidak mungkin Papa akan lupa pada janji Papa. Ayo cepat masuk ke mobil!” “Yeay! Oke Pa!” Kenzie berseru senang mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Membuat Mahesa terkekeh sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah anaknya.Mobil itu pun meluncur di jalan raya, terus melaju menuju tujuan mereka. Yaitu taman.Sesuai janjinya, Mahesa mem
Pagi ini Riana datang ke rumah Aram untuk mengantarkan masakan buatannya.Meskipun di rumah Aram ada beberapa pembantu yang bisa membuat hidangan apa pun, namun Riana tahu kalau Aram lebih menyukai masakannya.“Kau jadi berangkat ke Jerman, lusa?” tanya Riana pada Aram, sambil tangannya menuangkan makanan di piring.Aram sendiri duduk di kursi roda, namun posisinya menghadap meja makan.“Jerman?” ulang Aram. “Iya. Bukannya lusa adalah jadwalmu berangkat ke Jerman dengan asistenmu untuk melakukan terapi di sana?” Riana mengingatkan.Aram tersenyum hambar, kemudian mengangguk.“Benar. Aku akan berangkat lusa nanti.” Senyum di wajah Aram menyiratkan kepahitan.Sambil melahap makanannya, Aram melamun sendiri.“Bagaimana aku memberitahu Riana kalau sebenarnya kepergianku ke Jerman hanya akan membuahkan kesia-siaan. Semua terapi yang akan kulakukan nanti akan percuma karena kakiku lumpuh selamanya,” batin Aram bingung. “Kau harus semangat. Aku akan membantu membereskan barang-barangmu ke
Mahesa menatap Riana, dan Riana langsung kembali menggelengkan kepalanya dengan tegas.“Tetap tidak boleh, Kenzie. Papa Mahesa tidak boleh menginap di rumah kita. Sebaiknya biarkan saja dia menunggu hujannya agak reda,biar dia bisa pulang dan membawa mobilnya ke bengkel,” kata Riana yang kemudian membuat Kenzie kembali menghembuskan napas kecewa.“Mama tega sekali. Dia mau Papa pulang, padahal hujannya sangat deras di luar sana.” Kenzie memanyunkan bibir.“Sudahlah, Papa tidak apa-apa. Lagipula Papa memang sudah berniat akan pulang kok. Jadi, jangan cemas. Oke?” Kenzie mengangguk, kemudian Mahesa memeluknya.Riana menatap dua lelaki berbeda generasi itu yang saat ini sedang berpelukan. Hatinya sebenarnya merasa tidak tega juga pada Mahesa.Riana tahu sederas apa hujan di luar sana.Namun, ada janji pada Aram yang harus ia pegag teguh. Juga Mahesa bukankah suaminya, tidak akan baik rasanya jika lelaki itu menginap di rumahnya meski hanya satu malam.Sampai kemudian Mahesa mendapat telp
“Kita akan pergi ke mana? Kau belum memberitahuku ke mana kau akan membawaku, Mahesa?” tanya Riana pada Mahesa yang saat ini sedang sibuk mengemudikan mobilnya. Sembari matanya lurus menatap pada jalanan yang terhampar di depan sana.“Mahesa? Ke mana hilangnya panggilan ‘tuan’ seperti saat kau memanggilku ‘tuan’ di restoranku?” Mahesa menoleh, melempar senyum mengejek.Riana memutar bola mata.“Aku hanya memanggilmu ‘tuan’ saat kita sedang berada di area restoran. Tapi sekarang aku tidak sedang bekerja, jadi aku tidak perlu seformal itu.”“Wow. Aku senang dengan sikapmu yang berterus terang, Riana,” ejek Mahesa lagi.“Terserah kau saja. Kau belum menjawabku, kau mau mengajakku pergi ke mana?” Riana melipat kedua tangannya di depan dada.Sementara matanya menyipit pada Mahesa.Bukannya menjawab, Mahesa malah mengedikan bahu.“Kau akan tahu sendiri setelah kita sampai di tempat itu.”Alhasil, bibir Riana manyun lima senti karena lelaki di sampingnya masih saja merahasiakan ke mana dia a
Malam ini, Riana diantar pulang oleh Mahesa dikarenakan tidak ada satu pun angkutan umum yang lewat saat Riana sudah menunggu di pinggir jalan selama nyaris setengah jam.Dan kini, mobil Riana sampai di depan pelataran rumah wanita itu.“Terima kasih sudah mengantarku pulang,” ucap Riana sambil membuka sabuk pengaman yang membelit perutnya.“Terima kasih juga karena sudah menemaniku ke panti asuhan hari ini,” balas Mahesa, seraya melemparkan senyum manisnya pada Riana.Riana terdiam. Enggan membalas senyum itu. Sebab, entah mengapa jantungnya malah terus berdetak cepat tak karuan.Mereka berdua pun sama-sama turun dari mobil. Kening mereka berkerut melihat Kenzie yang keluar dari rumah dan berdiri di depan pintu sambil berpangku tangan.“Mama dan Papa habis darimana?” tanya bocah itu yang lantas menumbuhkan kernyitan di alis orang tuanya.“Darimana apanya? Tentu saja Mamamu baru pulang dari restoran tempat kerjanya,” jawab Mahesa.“Tapi saat aku akan pulang sekolah, aku mendengar ayah
Riana akan menolak, namun Kenzie malah menggoyangkan tangannya dan memohon.“Mama ikut naik juga ya! Aku mau dengan Mama. Mau ya, Ma,” pinta Kenzie.Wajah memohon bocah itu tentu saja membuat Riana tak tega melihatnya.Meski tidak ingin, akhirnya Riana pun menganggukan kepala sembari mengusap rambut Kenzie yang hitam legam.“Oke, Mama akan naik juga.”“Horee!” Kenzie berseru senang. Sementara Mahesa mengusap dadanya seraya menghembuskan napas lega.*** Tiba saatnya giliran mereka naik bianglala yang tingginya cukup membuat detak jantung Mahesa berdegup tak karuan itu. Mahesa dan Riana naik di kursi bianglala yang sama. Sementara Kenzie berada di tengah-tengah mereka. Ketiganya telah mengenakan sabuk pengaman agar tidak ada yang jatuh.“Kenapa wajah Papa pucat sekali? Bianglalanya ‘kan belum berputar.” Kenzie bertanya, menoleh ke arah wajah ayahnya yang tampak tegang dan pucat pasi.“Eh, siapa yang pucat? Papa biasa saja. Itu hanya perasaanmu.”“Serius Papa tidak akan turun? Nanti k
“Jika ingin menghabiskan waktu berdua dengan Kenzie, apakah ibunya juga harus ikut?” tanya Nessie sambil berpangku tangan dan kembali melirik sinis ke arah Riana.Riana hanya berdiri dan memasang wajah datar saat Nessie melangkah menghampirinya.“Oh, aku tahu. Riana pasti memanfaatkan kesempatan saat dia jauh dari Aram agar bisa berdekatan denganmu. Riana sendiri yang memaksa ikut denganmu, ‘kan?” tuduh Nessie. “Memang dasar wanita murahan,” cetus Nessie akhirnya.“Nessie, jaga bicaramu!” Mahesa kesal, mengacungkan telunjuknya di depan wajah Nessie.“Jika bukan murahan, lalu apa? Wanita penggoda?” “Nessie, cukup! Kau memang tidak bisa jika tidak berdebat dengan orang lain. Ayo! Lebih baik kita pulang saja!” Mahesa menarik tangan Nessie dan meminta wanita itu masuk ke dalam mobilnya.“Mahesa, biarkan aku bicara dulu dengan wanita itu. Aku belum puas bicara dengannya.” Nessie berteriak. Tapi Mahesa tak memperdulikan teriakannya.“Bawa saja mobilnya, Nessie biar pulang denganku,” kata M