"Ini sudah hari ke dua, bagaimana rasanya akan kembali bekerja?" Aksa membuka tanya di tengah perjalanan menuju ke Food'o Clock, restoran milik Arjuna yang merupakan tempat Evelyn mengambil kerja sampingan. Meski sedang mengemudi, namun sesekali pria itu kedapatan melirik ke arah wanita di sisinya. "Yah, cukup mendebarkan. Namun, aku begitu menikmatinya. Dahulu ketika di Surabaya, aku pun beberapa kali membantu Papa dan Mama di balik meja kasir." Jawaban itu teralun lancar pun disertai senyuman."Wah, kau cukup berpengalaman ternyata?" wajah si pria dibuat antusias, kekehan kecil meluncur sembari ia memutar kemudi berbentuk bundar."Tidak juga.""Karena kau sekarang sudah bekerja di Food'o Clock, aku jadi bingung harus mengajakmu ke mana untuk menepati janjiku menikmati es krim bersama?"Dan atas ucapan Aksa, Evelyn tertawa ringan. "Astaga! Kau masih saja memikirkan janji itu?""Janji adalah hutang, Eve. Sebelum hal itu terlaksana, aku tidak akan bisa begitu saja melupakannya." Namun,
Irama musik jazz yang tersaji seakan menambah kenikmatan sajian lezat di atas meja. Restoran masih begitu ramai meski jarum jam terus berputar mengantarkan malam yang semakin larut.Di salah satu meja, Kiara tampak menikmati steak daging sapi pesanannya dengan tenang. Meski begitu, atensi perempuan itu sesekali melirik ke arah Sang tunangan yang duduk berhadapan dengannya. Walaupun makanan yang mereka pesan telah tersaji rapi di hadapan, namun entah kenapa Damian seakan enggan untuk menyantapnya. Pria itu hanya menyesap wine sambil sesekali menatap sang penyanyi di atas panggung kecil di depan sana."Kau tidak makan?" Kiara pada akhirnya memberikan tanya setelah terlebih dahulu membasahi kerongkongannya dengan jus jeruk. Yang ditanya terlihat seakan tersentak. Tetapi, perlahan pria itu tersenyum manis. "Tentu saja aku akan makan, Sayang.""Lalu, kenapa dari tadi hanya diam?" sambil memotong steak di atas piring, wanita itu bertanya lagi.Dan embus napas beratlah yang kemudian terden
"Selamat sore, Eve ...."Wanita yang baru saja melayani pelanggan itu segera menoleh saat namanya disebut. Ketika dirinya mengetahui siapa pemilik suara berat itu, bibir tipis berlipstik merah muda itu mengurva senyum tipis dari tempatnya, di belakang meja kasir."Kau datang terlalu cepat, Aksa," ujar Evelyn seraya menepi guna mendekati posisi pria itu berdiri."Pekerjaan di kantor telah selesai lebih awal, makanya aku langsung saja ke sini. Aku tidak ingin membuatmu menunggu." Aksa turut membagi senyum dengan kedua tangan terselip di saku celana."Ya sudah. Lebih baik kau duduk dulu, aku akan berkemas, jam kerjaku sudah hampir selesai." "Tentu."Setelah mendapatkan persetujuan, wanita itu beranjak dari meja kasir menuju ke bagian dalam restoran. Sedangkan Aksa memilih untuk duduk dengan nyaman pada meja kosong tak jauh dari pintu keluar.Menit demi menit berlalu, pria itu memilih untuk memainkan ponselnya demi membunuh waktu. Namun, suara lembut yang membelai telinga telah sukses me
Langkahnya yang lebar terayun memasuki gedung tempat dirinya bekerja lebih dalam lagi. Tujuannya adalah lift yang berada di ujung sana, untuk mengantarkan dirinya menuju ruangan miliknya. Seperti biasanya, wajah tegas itu selalu sukses mencuri pandang beberapa orang di dekatnya.Tepat setelah sampai di lantai 3, pintu lift itu terbuka. Damian kembali mengambil langkah cukup santai menuju salah satu pintu. Ya, ia memutuskan untuk kembali bekerja hari ini, setelah berhari-hari absen tanpa keterangan."Tuan, akhirnya Anda datang ke kantor."Baru saja Damian memasuki ruangannya, ia disambut oleh seorang Office Boy yang sering kali melayani dirinya. Pria yang tampaknya lebih muda darinya itu terlihat sedang mengepel di dekat meja kerja."Apa yang terjadi selama aku tidak ada? Apakah ada masalah yang serius?" Damian bertanya tanpa basa basi, ia segera meneliti beberapa map di atas mejanya, berkas-berkas penting yang harus dirinya pelajari. Lalu, ia memilih untuk mengempaskan pantatnya di kur
"Terima kasih telah mengunjungi restoran kami." Evelyn berucap begitu setelah sepasang pengunjung restoran selesai melakukan pembayaran. Senyum sopan ia sematkan mengiringi langkah pasangan itu menuju ke pintu keluar.Tepat setelah pengunjung tadi berlalu, pintu yang sempat menutup itu kembali terbuka, ada sosok Damian yang muncul dari baliknya seraya menyapa dirinya dengan senyum cerah."Hai, Eve. Akhirnya kita bertemu lagi."Tentu kehadiran pria itu sukses membuat Evelyn begitu terkejut. Bahkan kedua mata indah itu sempat membeliak, pun jantungnya berderak-derak. Namun, wanita itu segera menguasai perasaannya, ia segera mengubah ekspresinya menjadi biasa saja."Damian? Tumben sekali kau berkunjung kemari. Ah, silakan memilih tempat duduk." Kedatangan seseorang ke restoran tentu untuk makan, bukan? Maka dari itu Evelyn segera menunjuk meja kosong di depan sana pada pria yang kini berdiri di hadapannya. Sebagai karyawan yang baik, ia tak lupa memberikan senyum sopan pada si calon pela
"Jangan berlari-larian, Sayang!" teguran itu teralun lembut dari mulut Evelyn saat melihat Luna berlarian dari meja satu ke meja lainnya. Meskipun tidak memiliki teman bermain, namun bocah itu tak kehilangan keceriaannya. Ia asyik bermain dengan sebuah boneka kucing kesayangannya.Saat jam masuk kantor begini restoran memang cukup sepi, sehingga Evelyn bisa cukup bersantai sembari mengawasi gadis kecilnya yang seakan tak bisa diam. Ah, Luna memang bocah kecil yang super aktif."Baik, Kak!" Luna menyahut dari meja yang ada di sebelah kanan seraya memamerkan senyuman lebar. Akibatnya, giginya yang mulai gigis di bagian depan terlihat dengan begitu jelas. Meski begitu, si bocah aktif itu justru tampak semakin menggemaskan."Kemarilah, biar kakak pangku." Evelyn tak kehilangan senyumannya sama sekali hari ini. Ia menepuk pahanya sendiri, memberikan isyarat agar Luna mendekat kemudian duduk di sana. Tentu saja Luna segera menuruti perintah. Masih dengan menggendong boneka kucing oranye di
"Kak, aku sudah selesai. Bolehkah aku membawa piring kotor ini ke tempat cuci?" piring yang telah kosong itu Luna angkat, dengan wajah berbinar ia menatap Evelyn yang duduk di hadapannya. Gadis kecil itu memang baru saja menghabiskan kentang goreng yang dihidangkan khusus untuk camilannya."Tentu. Tapi Luna harus berhati-hati, ya? Jalannya pelan-pelan saja. Jangan lupa cuci tanganmu." Si wanita dewasa memberikan nasihat dengan ucapan lembut. Piring ceper yang Luna gunakan terbuat dari keramik, maka dari itu ia benar-benar meminta si balita untuk berhati-hati."Baik, Kak!" langkah kecil itu mulai terayun, sangat pelan. Evelyn terus memperhatikan hingga sosok si kecil Luna memasuki pintu dapur di ujung ruangan.Dan di detik itulah pintu masuk restoran terbuka. Bunyi denting lonceng di atasnya membuat atensi Evelyn teralih, kemudian kedua mata indah itu membulat sempurna."Damian?"Evelyn benar-benar terkejut melihat kehadiran pria itu. Dadanya berderak-derak, bahkan rasanya seperti ia a
"Sepertinya kita harus berpisah di sini, Damian. Aksa sudah menunggumu." Bintang memelankan langkah kaki saat kedua matanya menangkap seorang pria berkulit putih di salah satu meja di sisi kiri. Obrolan ringannya bersama Damian pun turut berhenti.Damian mengikuti arah tatapan teman kantornya itu untuk memastikan posisi Aksa. Setelahnya, ia kembali menoleh pada pria yang berjalan beriringan dengannya. "Kau tidak ingin bergabung?""Lain kali saja." Bintang menjawab seraya memperhatikan sosok yang tak begitu jauh dari posisi mereka, seorang wanita muda yang juga bekerja di kantor mereka. Dan dengan begitu saja Damian paham dengan keadaan. Ia berakhir mengangguk-anggukkan kepala. "Ah, sudah ada yang menunggumu ternyata.""Yah, begitulah." Ucapan singkat Bintang merupakan kalimat terakhir sebelum mereka berpisah. Damian memutar langkah ke kiri, tanpa permisi mendudukkan diri di salah satu kursi. Aksa yang memang duduk membelakanginya sedikit tersentak karena si pria berdarah Jerman munc