“Ibu kenapa? Sakit kepala?” cecar putraku dengan raut cemas. Dia mendekat dan duduk di sampingku. Aku mengusap wajah sesaat dan menghembuskan napas dengan kasar. Raka baru saja mengikat Delon dengan kemeja tangan panjang. Mulut menantuku itu juga diikat dengan baju yang lain. “Pikiran Ibu yang pusing. Apa maksud Delon tadi, Nak? Delon pernah pacaran dengan istrimu?”“Gak usah dipikirin. Namanya juga lagi mabuk, Bu. Dia mungkin mengigau,” balas Raka. Dia terlihat biasa saja dengan ucapan adik iparnya.“Tapi Delon tadi lancar bicaranya. Rasanya dia tak mungkin berbohong.” Sungguh perkataan anak orang kaya itu barusan mengganjal pikiranku. Kalau awalnya Sri kenal dengan Delon atau punya hubungan khusus, kenapa dia tak pernah cerita? Kenapa menantuku itu membiarkan adik iparnya masuk ke kandang buaya?Aku menghela napas panjang. Memohon ampun pada Allah karena berburuk sangka pada perempuan yang menjadi istri dari anakku itu. Aku tak ingin menyakiti hati Raka dengan mencurigai istrinya.
Aku bagai terlempar ke masa kecil putriku, dimana bersorak girang dan bertepuk tangan saat Alina berhasil mengucapkan kata pertamanya. Ibu, kata itu yang dia ucapkan dengan baik pertama kalinya. Sekarang, aku melebihi bahagianya dulu saat putriku yang sudah dewasa dan bahkan memiliki anak mau memanggilku lagi. Rasanya tak ingin melepaskan pelukan pada tubuh ringkih itu dan mengecup keningnya berkali-kali. Aku ingin mengungkapkan kalau rasa sayangku padanya tak pernah berubah. Anak lelaki dan juga putriku sama saja. Tidak ada yang diistimewakan. Hanya saja sudah jadi kebiasaan kalau istri ikut suami. Jadi, kebersamaam dan komunikasi jelas saja berbeda dengan yang tinggal berdekatan.Tapi ini tak akan lama lagi, Nak. kita akan berkumpul setelah kondisimu memungkinkan naik bus satu malam. Kamu akan lanjut pengobatan di rumah sakit terdekat dari kampung kita, Nak.“Sayang, terima kasih telah mau memanggil ibu. Ini seperti kado terindah sepanjang hidup. Ibu harap, jangan pernah diamkan Ib
“Si*lan sekali nenek tua itu. Gara-gara dia anak Mama babak belur dihajar massa. Mau balas dendam, kita malah diusir,” gerutu Mama sambil berjalan keluar dari rumah sakit ini. Di sini banyak sekali orang yang menyebalkan. Tapi yang membuatku semakin kesal adalah dokter rese tadi. Apa hubungannya dengan istriku? Sepertinya, dia juga harus dikasih pelajaran.Aku semakin pusing dan kesal dengan perempuan di sampingku ini. Mama ternyata hanya pandai berorasi, tapi kenyataannya malah rencana gagal dan kini kami yang terusir. Alina dan ibunya sudah mirip seperti konglomerat, pakai bodyguard segala di rumah sakit. Mana badan lelaki itu bikin merinding. Sekali banting, bisa patah semua tulangku. Aku tak mau ambil resiko lagi.“Maaf, Pak, Bu. Biaya administrasi atas nama Pak Delon belum dibayar.”Seorang satpam mencegat kami di parkiran. “Gak bakalan kubayar. Pelayanan rumah sakit ini tidak profesional,” cetusku. Baru saja aku mau membuka pintu mobil, lelaki itu menahan tanganku.“Tolong koope
Aku bangga pada Papa. Dalam dunia bisnis, Papa juga sering mengandalkan otak cerdasnya. Wajar kalau perusahan Papa semakin maju. Dia selalu punya cara licik membuat pesaingnya mundur teratur. Sekarang, musuhku pun akan bertekuk lutut.“Tapi setelah semua ini beres, kamu sudah bisa move on dari wanita itu, kan? Gak ada gunanya lagi kamu menghabiskan masa muda untuk merutuk nasib gara-gara dia, sampai-sampai menyakiti orang lain yang tak bersalah.”Aku berdecak kesal. Kenapa bahas wanita idamanku sih? Namanya juga cinta sejati, harusnya dia menemaniku sepanjang usia. Move on itu mudah diucapkan, tapi sulit dilaksanakan.“Jawab, Delon! Papa ingin kamu memulai hidup normal tanpa dendam lagi. Buat apa ngarepin cinta orang lain yang jelas-jelas sudah menikah? Sri Mentari itu barang bekas dan sudah tidak bagus lagi.”“Cukup, Pa. Jangan menyamakan dia dengan barang.” Aku meninggikan suara di hadapan Papa saking kesalnya. Papa sudah mengejek wanita idamanku.“Papa bicara apa adanya, Delon. Mu
Balik lagi pov Ibu. -_- Semangat membaca -_-Entah apa yang terjadi dengan dokter Rian, setelah bicaranya yang ngelantur siang itu, dia tak mau lagi berbicara lama-lama denganku. Hanya seperlunya saja. Tapi dia tetap rutin memeriksa keadaan Alina. Aku yang merasa terkesan dihindari jadi segan mau mengajaknya bicara duluan. Aku yakin dia hanya bercanda, tapi kenapa dokter Rian jadi kelihatan canggung pada wanita tua ini?Ah, mungkin perasaanku saja kalau dokter muda itu sedang berusaha menghindar dariku. Tak mungkin juga dia ada niatan ijab qobul denganku. Astagfirulloh. Pikiran apa ini? Tak mungkinlah kalau sampai dokter Rian suka pada nenek tua yang masih bersuami ini. Gak selevel dan tak pantas untuk dibayangkan. Aku memukul-mukul pelan keningku agar bisa diajak bepikir jernih.Tadi malam, Raka yang menemani adiknya di rumah sakit dan sekarang gantian suamiku pergi ke rumah sakit untuk menjaga Alina dan Cici yang ada jadwal pemeriksaan kesehatan juga. Hanya ada aku dan putraku di si
Aku meninggalkan Raka di kosan dan berjalan menuju rumah sakit. Biarlah dia video call dengan keluarga kecilnya tanpa harus malu padaku. Namanya mereka masih mudah, lagi romantis-romantisnya. Sejak Delon mengatakan kalau alasannnya menyakiti putriku karena kecewa takl bisa bersatiu dengan Sri, putraku tetap bersikap biasa. Tidak uring-uringan sama sekali. Apa Raka memang tak ingin bahas tentang itu? Atau dia menunggu momen yang tepat setelah kemi pulang? Entahlah. Yang jelas aku bikut bahagia jika mereka masih akur.“Bu, akhirnya kamu datang juga.”Aku menautkan alis melihat suamiku berdiri di bawah pohon jambu air dekat gapura selamat datang ke rumah sakit ini. Sepertinya menungguku, padahal belum sampai satu jam duluan ke sini“Apa ada masalah dengan Alina atau bayinya, Pak?” pikiranku langsung ke sana.Bapak dari anak-anakku itu menggeleng dan menarik tanganku agar mendekat. Berteduh di bawah pohon yang sedang berbuah itu.“Bapak lihat kalau ada orang yang mirip papanya Delon kelu
“Kenapa wajahnya kelihatan sedih, Pak, Bu? Adek bayi juga kenapa digendong lagi tidur begini?”Aku menghapus sudut mata yang menghangat, berusaha menghilangkan jejak kesedihan di sana. Tersenyum tipis menatap dokter Rian yang berdiri di depan kami. Saking sibuknya pikiran berkelana, aku tak sadar kalau sudah ada lelaki tinggi putih itu di sini. Aku yakin dia mau menyapa duluan karena ada suamiku juga di sini. “Gini Nak Dokter, ....”Suamiku menjelaskan apa yang terjadi di dalam tadi. Dokter Rian terlihat serius mendengarkanya, lalu tersenyum dan meminta bayi dalam pangkuan suamiku.“Saya kira kamu akan jadi penyemangat buat ibumu, tapi rupanya yang terjadi adalah sebaliknya. Maaf kalau kamu harus terpisah dulu dengan ibumu, ya, Adek manis?” Dokter Rian bicara sambil becandain cucuku. Bayi itu menggerak-gerakkan tangannya sambil mengoceh, seolah mengerti kalau ada orang yang mengajaknya mengobrol. Coba saja Delon sebaik Rian, maka tak mungkin putriku menderita hingga hampir dijemput
Adakah di dunia ini saudara yang bisa diam saja jika adik perempuannya dikhianati serta disiksa dengan sadis? Delon, lelaki bermoral minus itu dengan sengaja membuat adikku agar meninggal perlahan, menikmati rasa sakit yang terus menggerogoti badan hingga dia tak bisa menegakkan punggungnya sendiri.Dan lebih bikin naik darah, adikku tak melakukan kesalahan apa-apa dan Delon melakukan itu untuk balas dendam padaku. Pecundang sekali. Aku yakin, dia tak mengarang cerita kalau alasannya karena cinta bertepuk sebelah tangan pada istriku, mengingat Sri pernah kuliah di kota ini. Jika tujuannya agar aku ikut sakit hati melihat kondisi Alina, ya, dia telah berhasil melakukannya.Tapi jika Sri memilih menerima cintaku, apa aku harus memaklumi alasannya? Tidak akan bisa. Sampai kapan pun tak akan bisa. Adikku yang tak tahu apa-apa harus menanggung akibat dari dendam suaminya.Aku sewa motor untuk untuk memudahkan mau kemana-mana. Rian menawarkan agar aku memakai mobilnya, tapi kutolak. Dia lebi