Saat Fikri hendak membalas ingin menghajar Safira, mata keduanya beradu pandang.“Kau....” ucap keduanya secara bersamaan. Keduanya saling kompak buang muka dengan kesal. Akhirnya Safira segera menaiki motornya dan meninggalkan Fikri sendirian. Namun saat Fikri hendak menaiki motornya, matanya terusik saat melihat sebuah kalung tergeletak tepat pada motor Safira, tadi. Fikri berjongkok dan meraih kalung tersebut, saat dia membuka mainan kaluang tersebut, Fikri sangat kaget saat melihat foto di balik mainan kalung tersebut.Fikri segera memasukkan kalung tersebut di dalam kantong celananya, segera tancap gas meninggalkan lokasi kejadian. Safira menghempaskan tubuhnya di ranjang kosnya, tubuhnya terasa lelah, seharian mengalami banyak masalah. Safira menghela napas panjang, saat hendak memejamkan mata, ketukan pintu mengejutkannya. Segera Safira turun dari ranjang dengan malas.“Dengan mbak Safira Ramadhani?” tanya seorang pria.“Iya....” jawab Safira mengeryitkan keningnya.“Ini ada pa
Safira diam di sepanjang perjalanan, kenangan masa kecil bersama Kaka nya memenuhi pikirannya. “Assalamualaikum....” ucap seorang bocah laki-laki yang berumur lima tahun, mengetuk pintu rumah Safira. Safira kecil bergegas membukakan pintu sebelum tidur ayah nya tergangu dan memarahi si pengetuk pintu. “Ada apa Ka?” tanya Safira saat sudah membukakan pintu. Bocah laki-laki yang berumur lima tahun tersebut hanya nyengir, dan meraih tangan Safira. “Kaka mau ngajak Cici main ke rumah Kaka....” jelasnya. “Maaf Ka, Cici nggak bisa main ke rumah Kaka.... Cici harus jualan kue, beresin rumah dan memasak untuk ayah nanti, saat sudah pulang....” jelas Safira merasa bersalah tidak bisa ikut bersama Kaka nya yang terlihat kecewa. Bocah lima tahun itu cemberut. “Nanti biar Kaka bantu Cici deh beresin rumah, dan masak untuk ayah... ayo Cici.... Kaka nggak punya teman di rumah.... Kaka hanya punya Cici.... ayo....” bocah lima tahun itu merengek pada Safira. Melihat sahabat nya yang terus memaksa
“Kita ke rumah Kaka aja yuk....” ajak bocah laki-laki tersebut. Safira hanya menganguk. Tak lama kemudian, sebuah motor menjemput keduanya. Mereka masuk ke dalam kamar Kaka dan bermain mobil-mobilan, kereta api, dan bermain bola. Safira hanya menurut saja memainkan apa yang di mainkan Kaka, walaupun yang dia mainkan tersebut, adalah mainan yang biasa di mainkan oleh anak lak-laki saja. Fikri merebahkan tubuhnya di ranjang rumah pribadinya. “Bu.... Fikri mau tanya boleh?” tanya Fikri yang masih berusia lima tahun kepada Surtinah asisten rumah tangganya. “Boleh... tuan mau tanya apa?” jawab Surtinah ramah mengusap gemas wajah chubby Fikri. “Biasanya mainan yang sering di mainin anak perempuan itu apa bu?” “Boneka, seperti mainan masak-masakan....” jawab Surtinah tersenyum. “Fikri mau beli semuanya bu.... ayo kita beli sekarang bu....” Fikri kecil menarik tangan Surtinah keluar dari kamarnya. “Ayo bu.... kita beli mainannya....” rengek Fikri. “Tuan kan laki-laki.... masa main, mai
Sesampainya di kos, Safira menghempaskan tubuhnya di ranjang. Matanya tajam menatap langit-langit kamar kos. Dia bangkit saat dirinya mengingat sesuatu dan berjongkok meraih box dari bawah ranjangnya. Dia tersenyum pilu saat melihat banyak mainan pemberian Kaka nya sewaktu masih kecil. “Aku rindu kamu Ka.... aku berharap, menjelang ajal ku tiba, hubungan kita membaik, walaupun hanya sebentar....” Safira menghela napas panjang, duduk di sisi ranjang memeluk box tersebut. Dering telepon mengusiknya, dan mengangkatnya dengan malas. "Ada misi untukmu.... Segera datang ke markas.... " jelas pak Haikal di sebrang telepon. "Baik pak.... Saya segera kesana.... " Safira segera bangkit, dan meletakkan box tersebut di atas ranjangnya. Sebelum keluar dari kos, Safira tersenyum memandangi box. "Aku keluar sebentar ya Ka.... " pamit Safira meninggalkan kos menaiki motornya. Safira duduk di kursi ruangan pak Haikal setelah di persilahkan duduk. "Misi mu adalah, kau harus mencari orang bernama F
“Assalamualaikum bu.... nama saya Safira Ramadhani saudara dari Arsakha Gibran Ar- Rafif.... saya bermaksud untuk bertemu dengan ibu, berniat untuk melamar putri bernama Saraswati Putri....” “Maaf, anak saya sudah saya jodoh kan dengan pria lain.... maaf...” ujar sang ibu di sebrang telepom. “Maaf bu sebelumnya.... saudara saya ini mencintai anak ibu dan anak ibu juga mencintainya.... jadi apa salahnya kita menyetujui saja lamaran ini.... biar kan mereka berdua yang menentukan masa menentukan masing-masing.. . bahagia. panjang bahagia. mencintai anak ibu.... dengan cara ini lah salah satu membuat anak ibu....” jelas Safira panjang lebar. “Tapi saya tidak ingin menyerahkan putri saya dengan pria seperti saudara anda...” jawab sang ibu dengan nada dingin. “Saya rasa saudara saya, pantas untuk anak ibu.... pertama yang harus ibu tahu, dia seorang akuntan. Gajinya perbulan mencapai Rp 12.257. 258 per bulan bu.... saya rasa cukup untuk membiayai kebutuhan anak ibu....” jawab Safira men
"Setidaknya kita bisa bersikap baik-baik saja di depan kedua orang tuamu. Ayo kita turun, makanan telah siap." Ujar Safira meriah kembali tangan Fikri. Lalu keduanya menuruni anak tangga."Kau sengaja ya pegang-pegang aku. Dasar modus, bilang saja kau mau cari perhatianku." Cerca Fikri kesal. Safira tidak mengubris membuat Fikri semakin kesal. Di meja makan, mereka lagi-lagi memasang senyum palsu dan sok-sok paling romantis mengalahkan anak ABG yang baru mengenal cinta. Namun di balik semua itu, lagi-lagi hanya kepalsuan belaka.Udara malam ini begitu mencekam, kedua sejoli itu hanya memilih diam membisu sambil sibuk bermain HP di tangannya. Namun sejenak kemudian rasa jenuh menghampiri keduanya. Keduanya di landa kebosanan terus bermain HP. Safira menuruni ranjang hendak keluar kamar."Kamu mau kemana? Lebih baik kau masukkan semua pakaianmu ke koper. Besok kau dan aku pindah." Titah Fikri tidak bisa di bantah. Safira berbalik menatap Fikri dengan penuh tanda tanya."Kau tunggu apa
Fikri memasuki kamar dan dilihatnya Safira mendengkur halus di tempat tidur."Hey, bangun..." Ujarnya menarik-narik ujung baju Safira. Safira mengeliat beralih posisi tidurnya."Bangun, katanya tadi mau masak. Ini kok malah tidur sih?." Kembali Fikri mengoyang-goyang tubuh Safira. Safira mengeliat merasa tergangu oleh Fikri. Perlahan wanita itu duduk, mengucek-kucek kedua matanya."Ayo bangun. Segera masak!!!." Perintah Fikri yang langsung di turuti oleh Safira. Segera Safira disibukkan kegiataan memasak di dapur."Cepat masaknya, jangan lelet." Safira menoleh kebelakang dan dilihatnya Fikri telah berdiri dibelakangnya. Safira hanya mendengus pelan, sambil tangannya sibuk mengaduk-aduk masakannya dikuali. Ketika hendak membawa makanan itu kemeja makan, tidak dilihatnya lagi Fikri berdiri tepat dibelakangnya dan ternyata Fikri sudah duduk manis dikursinya. Safira menata makanan di atas meja makan. Disusul mengambil piring di depan Fikri dan hendak mengisinya dengan nasi dan lauk pauk.
Ini adalah penjara baru bagiku, dimana dua sejoli tinggal namun tidak saling mengenal. Tidak saling menyapa, bersua, bahkan sama sekali tidak ada romansa antara suami istri yang diidam-idamkan oleh sepasang suami istri. Inilah atap tanpa tiang, rumah tangga tanpa kasih suami, hanyalah ibarat rumah tak bertiang. Bayangkan, rumah tanpa tiang. Maka tidak diragukan lagi rumah itu akan segera runtuh, jadi untuk apa adanya atap jika tidak ada tiang? Apakah sebuah rumah akan berdiri. Tidak akan. Mana mungkin, mustahil. Mustahil rumah tangga didirikan tanpa seorang istri, atap yang akan memayungi suami ketika lelah oleh kepenatannya, dan apakah rumah tangga akan berdiri tanpa suami? Tanpa sebuah tiang yang berdiri tegak mempertahankan, memperkokoh berdirinya sebuah rumah. Bayangkan saja salah satunya tidak ada. Adakah yang bisa dinikmati dari sebuah pernikahan? apa kenyamanan dan kebahagian yang bisa diambil dari sebuah pernikahan? Tidak ada. Berjuang sendiri menyakitkan sedangkan yang satuny