Nampak hidung Maura kembang kempis. Digaruknya kepala wanita itu yang sebenarnya tidak gatal. Ingin rasanya beralasan namun terlanjur tertangkap basah. Amelia memandang istri siri Ilham dengan tatapan tidak suka. Dilihatnya dari ujung rambut hingga ujung kepala."Ajari istrimu ini sopan santun!" Ilham mengalihkan pandangannya kepada Maura. Sedangkan wanita yang bergelar Ibu itu lantas pergi meninggalkan kedua manusia itu tanpa bicara."Kamu ini apa-apaan sih, Maura? Kamu malah bikin semua kacau tahu nggak?!" "Maaf, Mas. Aku kan cuma memastikan kamu mau memperjuangkan hubungan kita." Bibir Maura manyun sembari tangan mengusap perutnya yang sedikit menonjol. "Aku tahu! Kamu percaya kan kalau aku akan memperjuangkan semuanya! Jika saja waktu itu kamu tidak terburu-buru mengatakan pada Ayu. Semua ini tidak akan seperti ini!""Aku udah nggak tahan lagi, Mas. Jadi yang nomor dua. Kamu pulang ke rumah setelah sama Mbak Ayu. Ngurus aku setelah Mbak Ayu. Capek tahu nggak?! Lagian dia itu ud
"Kalau saja Mas Ilham bukan orang kaya, mana mau aku tidur di tempat beginian. Mana bau lagi." Maura menatap ke seluruh kamar. Kamar yang sempit dan sedikit apek. Tangannya terus saja bergerak mengibas-ngibas berharap bau apek yang menyeruak bisa hilang seketika.Bibir wanita berusia 32 tahun itu terlihat mencebik. Kemudian tangannya meraih bedak yang tadi sempat ia letakan di sampingnya. Ada beberapa alat make up disana. Bedak, lipstik, eyeliner dan juga teman-temannya. Satu persatu benda itu ia sematkan pada wajah. Membuat wanita berambut panjang itu terlihat menor. "Sudah cukup, untuk hari ini aku mau pergi jalan-jalan. Menjernihkan pikiran. Lama-lama bisa gila aku dirumah ini!" gumam Maura pelan. Dimasukkannya satu persatu alat kecantikannya ke dalam tempatnya. Lalu wanita itu beranjak dari duduknya.Tap … tap … bruk. Terdengar suara seseorang melangkah dari dekat kamar Maura. Lalu menutup pintu kamar cukup kuat. Dia yakin bahwa itu adalah Bian. Anak satu-satunya yang ia miliki.
"Bukan urusan kamu, Mbak. Aku mau pergi kek mau nggak kek. Memangnya penting?" sahut Maura bibirnya mencebik. Tangannya dilipat di depan dada."Eh, kamu itu keluar dengan pakaian seperti ini dengan sepatu seperti itu? Mama nggak akan pernah respek sama kamu! Dia akan semakin tidak menyukaimu!""Ma-maksud Mbak Ayu apa?""Pikir saja sendiri!" ucap Ayu sembari berlalu. Tangan Maura yang semua dilipat kini sejajar. "Gimana jadi pergi nggak?" tanya salah satu temannya. Maura diam dia menatap Ayu yang berjalan menyusul Rendy. " Jangan-jangan Mbak Ayu mau mempengaruhi Mama sama Mas Ilham lagi buat menceraikan aku? Ah, itu nggak boleh terjadi!" Maura bermonolog dalam hati. Kekhawatiran nya berlebih kala wanita itu masuk ke dalam rumah. "Gais, untuk hari ini aku nggak jadi pergi deh. Lain kali aja ya. Aku ada urusan!""Hu … dasar udah capek-capek datang kemari malah nggak jadi!""Sorry …." Kedua tangan Maura menangkup. Tidak lama kendaraan yang sempat berhenti cukup lama itu akhirnya melaju
"Ren …." panggilan Bian tidak digubris oleh Rendy. Dia yang ada terus berjalan melewati sahabatnya itu tepatnya mantan sahabat yang pernah dekat."Ren, tunggu!" Lagi-lagi Bian berteriak membuat Rendy yang hendak pergi ke dapur akhirnya berhenti juga. Remaja itu menatap Bian dengan tatapan yang sulit diartikan. Bian menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Bian berjalan mendekati Bian. Menepuk pundaknya hendak merangkul seperti biasa. Namun lagi-lagi lelaki itu menghindar."Ada apa?" tanya Rendy dengan ketus."Lo marah?""Kenapa mesti tanya! Lo sudah tahu jawabannya kan?" jawaban Rendy sedikit judes. Dia tidak lagi ingin berdekatan dengan Bian, yang kini bergelar menjadi saudara tiri."Eh, jangan begitu lah! Kita kan sekarang jadi saudara. Lebih baik kita baikan. Kita bisa pergi sekolah bareng. Ngerjain PR bareng. Kek dulu!""Tapi sekarang tidak seperti dulu, Bian.""Kenapa? Sama aja?""CK …." Rendy berdecak dia hendak pergi meninggalkan Bian. Suasana hatinya sedang kacau di s
"Sudah, Bian. Biarkan Rendy menjelaskan terlebih dahulu. Ayo, Nak. Katakan kepada Papa apa yang membuatmu Semarah itu pada Bian?!" Kini Ilham bertanya. Sedangkan Ayu yang duduk di kursi tengah memeluk lengan sang putra. Menatap sendu pada Rendy.Rendy tidak menjawab. Dia justru beranjak dari tempat dia duduk. Pergi begitu saja tanpa pamit!"Lihat, Mas. Anak kamu nggak ada sopan-sopannya, Blas. Ibunya tidak becus mengajarinya!" celetuk Maura membuat Ayu hendak menyusul Rendy berhenti. Lalu berjalan ke arah Maura."Jangan bicara seperti itu di rumahku!" Tatapan Ayu tajam ke arah Maura. Apa yang ia tahan selama ini meledak juga pada akhirnya. Jari telunjuk nya ia arahkan pada Maura. Dengan cepat wanita itu berdiri menyingkirkan jari telunjuk Ayu yang ada di hadapannya."Apa yang aku katakan memang benarkan, Mbak. Kamu itu nggak becus ngurus anak sama suami! Itu alasan kenapa Mas Ilham berpaling dari kamu!"PlakPlakDua tamparan melesat begitu saja. Ayu menahan amarahnya mati-matian kin
Amelia menatap tajam ke arah Maura lalu berpindah pada Ilham. Anak bungsunya menunduk, terkesan merasa bersalah. Sedangkan Ayu, dia duduk di sofa paling ujung. Bersama Nadia tangan mereka saling bertautan."Seperti ini istri siri mu yang kau banggakan Ilham?" tanya Amelia dengan suara lantang. Ayu sengaja meminta Rendy tidak keluar kamar. Dia tidak perlu mendengarkan sesuatu yang menambah luka."Maura hanya membela diri, Ma.""Membela diri katamu? Dengan bersikap kasar?" tanya Amelia kembali."Ma, Maura juga perempuan. Dia juga punya hati, aku yakin sebenarnya bukan seperti itu." Ilham lagi-lagi menimpali. Lelaki itu terkesan membela Maura meskipun pada kenyataannya sang istri muda bersikap barbar dengan menarik hijab yang dikenakan sang kakak ipar."Lantas ….""Sudahlah, Mas." Maura merespon."Maura, minta maaf sama Mbak Nadia. Itu Mbakku lho. Kakak iparmu!" pinta Ilham dengan nada sedikit berbisik. Berharap Maura mampu bersikap selayaknya orang bersalah dan menyesal. Meminta maaf. N
Jam menunjukan angka tujuh tepat. Setelah Ayu mengantar Rendy ke sekolah dia langsung menuju kantor. Meninggalkan Amelia di rumah bersama asisten rumah tangga yang sekarang menjadi setiap hari datang ke rumah. "Mbok, kamu tolong bereskan kamar belakang itu! Semua barang milik wanita itu kamu buang saja!""Baik, Nyonya." Wanita paruh baya yang sudah membantu Ayu selama ini mengangguk lantas hendak pergi menuju kamar belakang. Namun lagi-lagi, langkahnya terhenti kala sang majikan kembali berucap."Jangan sampai ada yang tertinggal!"Wanita itu kembali mengangguk, lalu menatap ke arah sang majikan memastikan tidak ada lagi perintah.Tangan tua yang sudah keriput itu perlahan tapi pasti memasukan semua pakaian dan juga beberapa benda milik Maura ke dalam sebuah koper yang berada di sisi ranjang. Memasukkannya sembari mata terus saja menatap sekeliling."Ealah, Ibu Ayu itu kurang apa coba? Sudah baik, cantik, bisa merawat diri, anak dan juga suami. Eh, malah suaminya masih main serong ka
Ayu terkejut bukan kepalang. Dilihatnya sosok Nita bersama seorang laki-laki. "Nita? Ada apa?" tanya Ayu yang tidak tahu perihal kedatangan sang sahabat. Padahal jika wanita itu hendak bertemu Ayu, wanita itu memberitahu sebelumnya. Namun tidak hari ini."Maaf, ganggu.""Kamu kok tahu kalau aku kerja?""Tadi aku sempat ke rumah. Ketemu mama mertua kamu. Dia bilang kamu kerja di kantor. Memangnya suami kamu dipecat ya dari perusahaan sendiri? Kenapa kamu yang kerja? Oh, maaf. Kenalkan ini teman aku namanya Rudi. Dia seorang pengacara." "Halo, selamat pagi.""Pagi, silahkan duduk." Ayu tersenyum lalu mengulurkan tangan untuk bersalaman. Mereka bertiga duduk di sofa yang sudah disediakan. Pandangan Ayu kini tertuju pada Nita. Entah mengapa sahabatnya itu membawakan seorang pengacara."Ini apa ya, Nit? Kok kamu bawa-bawa pengacara segala," tanya Ayu kebingungan."Oh, Rudi tho. Dia ini kebetulan lagi ada acara di restoran depan. Tadi sebenarnya kita nggak janjian ya, Rud. Aku cuma bawa d